Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Tim Terpadu Kasus Buyat
Saya sangat antusias membaca berita tentang putusan Pengadilan Negeri Manado menyangkut perkara dugaan pencemaran di Teluk Buyat, seperti ditulis Tempo edisi 6 Mei 2007. Cuma, ada bagian yang kurang tepat pada tulisan tersebut. Tempo menulis, ”Sementara itu, untuk memastikan ada-tidaknya pencemaran di Buyat, sejumlah penelitian pun dilakukan. Dari enam tim yang mengacak-acak Buyat, semua menyimpulkan perairan itu tercemar logam berat. Belakangan, Kementerian Lingkungan Hidup juga membentuk tim terpadu. Hanya, suara tim ini tidak kompak. Suara resmi tim menyatakan Buyat aman, tapi beberapa anggotanya justru menyatakan ada pencemaran.”
Bagian tulisan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Yang pertama menyangkut ”suara resmi tim” dan yang kedua menyangkut hasil penelitian Tim Terpadu dibanding penelitian yang lain. Tim Terpadu menyimpulkan bahwa Teluk Buyat tercemar dan lingkungan di wilayah tersebut (laut dan darat) berisiko tinggi bagi kesehatan masyarakat. Laporan Tim Terpadu pada November 2004 tersebut telah disampaikan kepada Tim Pengarah, Presiden RI, dan kemudian dipresentasikan kepada DPR RI.
Tim Terpadu terdiri atas sejumlah peneliti universitas dan lembaga penelitian, wakil departemen terkait, asosiasi profesi, serta lembaga swadaya masyarakat. Juga ada wakil PT Newmont Minahasa Raya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Pemda Sulawesi Utara, dan Universitas Sam Ratulangi. Dalam perjalanannya, empat lembaga yang disebut terakhir itu tidak menerima hasil kesimpulan Tim Terpadu ini dengan pertimbangannya masing-masing.
Tim Terpadu melakukan penelitian aspek lingkungan di perairan dan di darat. Parameter lingkungan yang diteliti lebih luas dibanding penelitian lain. Tim menemukan Teluk Buyat tercemar berdasarkan hasil analisis parameter sedimen laut, indeks keragaman organisme plankton dan hewan dasar laut (benthos), serta korelasi antara keduanya. Jika mengacu pada standar Magosh 1999 dalam ASEAN Marine Quality Criteria tahun 2004, dengan kandungan arsen dan merkuri sebesar itu, perairan Teluk Buyat masuk kategori tercemar.
Tim Terpadu kemudian menemukan bahwa indeks keragaman (biodiversitas) organisme benthos dan plankton di lokasi pembuangan tailing di Teluk Buyat rendah. Dari besaran indeks tersebut, perairan Teluk Buyat dikategorikan tercemar. Parameter biologis merupakan indikator nyata menyangkut dampak dari suatu aktivitas manusia.
Penelitian lain tidak melakukan analisis pada aspek ini. Laporan pemantauan lingkungan tiga bulanan yang dilakukan PT Newmont Minahasa Raya juga tidak menampilkan aspek ini. Hampir semua perusahaan tambang yang ada di negeri ini tidak pernah melaporkan kondisi keragaman organisme (biodiversitas) di lingkungan tambangnya. Untuk parameter lain, misalnya pada kualitas air laut dan sungai, Tim Terpadu dan penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak bertentangan.
Dalam kasus Buyat berulang kali terjadi salah kaprah menilai hasil suatu penelitian. Satu penelitian diperbandingkan dengan penelitian lain yang berbeda dalam hal aspek dan parameter yang diteliti. Kasus Buyat mencakup aspek yang beragam, dari lingkungan di laut, masalah air minum yang tercemar logam arsen, sampai soal kepatuhan dan perizinan.
Perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Manado hanya menyangkut parameter kualitas air, kandungan logam berat pada tailing, serta perizinan untuk pembuangan limbah tailing. Aspek lingkungan lain, sebagaimana diteliti oleh Tim Terpadu, tidak menjadi bagian dari perkara di pengadilan tersebut. Mungkin saja ada pengadilan yang lain untuk aspek yang ditemukan oleh Tim Terpadu ini.
Mudah-mudahan tanggapan ini dapat menjelaskan secara tepat kasus lingkungan yang menjadi sorotan masyarakat selama dua tahun terakhir. Harapan kami, Tempo selalu cermat dan semakin berbobot.
P. RAJA SIREGAR Mantan anggota Tim Terpadu/Periset Walhi Jakarta
Waspadai Provokasi Melalui Agama
Beberapa waktu lalu, sejumlah tokoh lintas agama mengadakan pertemuan di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta. Hadir dalam acara itu Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia—yang juga Uskup Agung Gereja Katolik Indonesia—Kardinal Julius Rijadi Darmaatmadja, dan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt Andreas Anangguru Yewangoe.
Tujuan diadakannya pertemuan ini adalah mengajak seluruh umat kembali mewaspadai provokasi pihak tertentu yang ingin membenturkan umat di dalam pertikaian. Ajakan ini dilatarbelakangi oleh munculnya kembali sejumlah kasus penistaan agama yang berpotensi memicu ketegangan antarumat beragama. Beruntung, kasus-kasus tersebut belum mengarah pada tindak kekerasan, berkat kesigapan tokoh agama dan aparat keamanan.
Kasus yang terjadi belakangan adalah penistaan agama di Jawa Timur, yaitu di Batu, Malang, dan penerbitan Al-Quran yang disisipi Injil di Jombang. Para pelaku penistaan tersebut telah ditangani pihak berwajib, dan lembaga-lembaga agama telah menegaskan bahwa perbuatan mereka murni dilakukan secara pribadi dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan lembaga agama tertentu.
Perbuatan tersebut merupakan perbuatan kriminal. Kesalahan harus dilokalisasi pada pelaku sehingga tidak ditimpakan pada umat. Provokasi semacam itu mungkin tidak akan pernah berhenti karena memang ada pihak yang melakukannya dengan sengaja. Karena itu, yang perlu dibangun adalah kekebalan umat terhadap provokasi—sesuatu yang saat ini masih sangat rentan.
Selain itu, untuk menghindarkan terjadinya pergesekan antarumat, perlu dikembangkan sikap moderasi di dalam beragama, yaitu suatu sikap yang menjunjung tinggi keyakinan sendiri sekaligus toleran kepada umat lain. Pikiran moderasi ini menjadi modal untuk mewujudkan persatuan sejati, bukan basa-basi atau persatuan yang bohong-bohongan.
FATHYA M.P. Warung Buncit Raya 145 Jakarta Selatan
Hukum Berat Aparat Narkoba
Saya acungi jempol aparat karena kepolisian mulai tegas dalam memberantas pengguna dan pengedar narkoba, terutama yang melibatkan aparat kepolisian. Ketegasan itu terlihat saat Kepala Kepolisian Sektor Cisarua, Bogor, Ajun Komisaris Jumantoro, yang kedapatan menyimpan narkoba di rumah dinasnya, ditangkap, dipenjarakan, lalu dipecat. Kepolisian Wilayah Bogor tampaknya makin tegas dalam menindak anggotanya yang terlibat narkoba. Setelah pemecatan Jumantoro, seorang anggota polisi lain juga dalam proses pemecatan karena kedapatan membawa narkoba.
Di tempat terpisah, Komandan Polisi Militer Kodam III/Siliwangi Kolonel CPM Hary Sukamto, dalam kunjungan kerjanya ke Detasemen Pom III/3 Siliwangi, Cirebon, dan sub-sub Denpomnya, menegaskan tidak menoleransi prajurit TNI yang terlibat narkoba dan minuman keras. Hal itu ditegaskannya karena ada dugaan banyak personel Angkatan Darat yang terlibat minum minuman keras.
Aparat yang terlibat narkoba memang harus dihukum berat dan dipecat dari tugasnya. Sebab, mereka seharusnya menjadi pelindung, pengayom, dan pengaman, tapi malah melakukan tindak kriminal. Ibaratnya, pagar makan tanaman. Hukum berat saja biar kapok, jera, dan tak ada lagi aparat yang main-main dengan narkoba.
CUT ANGGI Vila Ciomas Indah, Ciomas, Bogor Email: [email protected]
Ujian Dimajukan, Siswa Menganggur
Saya sebagai orang tua siswa sekolah dasar di Kota Surabaya dibuat bingung dengan gonta-gantinya kebijakan pendidikan di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan yang mencla-mencle tersebut adalah dimajukannya jadwal ujian akhir sekolah (disebut juga ujian daerah) untuk siswa SD. Tahun ini, ujian siswa kelas VI SD, khususnya di Surabaya, Jawa Timur, dimajukan jadi 7-10 Mei 2007. Tahun lalu, ujian akhir siswa SD dilakukan pada 9 Juni.
Menurut informasi yang saya terima, dimajukannya jadwal ujian tahun ini merupakan kebijakan Menteri Pendidikan Nasional untuk menghindari demo Hari Buruh Internasional (1 Mei). Padahal demonstrasi peringatan hari buruh sama sekali tidak mengganggu aktivitas belajar siswa.
Dengan dimajukannya jadwal ujian tersebut, sebagai orang tua, saya sangat dirugikan. Pasalnya, sejak ujian sekolah selesai pada 10 Mei 2007, praktis tidak ada kegiatan belajar di sekolah. Anak saya tetap saja disuruh masuk sekolah, tapi dipulangkan lebih awal karena tidak ada kegiatan belajar. Sedangkan pengumuman kelulusan siswa SD baru akan dilakukan akhir Juni nanti. Jadi, selama satu setengah bulan, anak saya hanya menganggur menunggu kelulusan. Kebijakan dimajukannya jadwal ujian bagi siswa SD tersebut jelas hanya merugikan siswa dan masyarakat.
ZED ABIDIEN Griya Babatan Mukti N-49 Wiyung, Surabaya
Perlukah Amendemen UUD 1945?
Rencana amendemen kelima UUD 1945 untuk memperluas kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dinilai oleh beberapa pihak sangat membahayakan keutuhan negara. Pakar hukum tata negara J.E. Sahetapy menyatakan tuntutan amendemen kelima UUD 1945 oleh DPD, selain berpotensi mengarahkan Indonesia menjadi negara federal, akan menyuburkan korupsi di daerah.
Konsep negara federal akan mengingatkan kita pada cara Gubernur Jenderal Belanda Van Mook memecah belah Indonesia dalam negara boneka. Selain itu, penguatan kewenangan DPD tidaklah terlalu penting mengingat gejala penguatan perwakilan daerah justru melahirkan pemimpin korup di daerah.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok menyatakan desakan amendemen UUD 1945 yang dimotori DPD merupakan gerakan yang buru-buru dan tanpa filosofi yang jelas. Cara yang dilakukan DPD merupakan cara-cara pragmatis dan tanpa filosofi demi kepentingan pribadi sesaat.
Karena itu, amendemen UUD 1945 belum tepat dilakukan saat ini. Apalagi, hingga saat ini, UUD 1945 hasil amandemen I-IV belum dilaksanakan sepenuhnya. Apabila ada pihak yang mendesak untuk segera mengamendemen UUD 1945 untuk kelima kalinya, itu pasti bersifat politis dan kemungkinan ada agenda politik tertentu.
NAWANG WULANG Jalan Agung Raya, Lenteng Agung Jakarta Selatan Email: [email protected]
Stop Kampanye Hitam terhadap Indonesia
Di beberapa berita belum lama ini, berkali-kali terjadi bentuk kampanye hitam terhadap Indonesia yang dilakukan kelompok prokemerdekaan Papua Barat melalui iklan televisi di Australia. Mereka mengusung wacana tudingan pelanggaran hak asasi manusia oleh TNI di Irian Jaya pada masa lalu. Kampanye melalui iklan televisi itu disokong pengusaha Australia, Ian Malrose, serta melibatkan Clemens Runawery dan Hugh Lunn. Secara terus-menerus, kampanye itu ditayangkan stasiun TV Channel 10 sepanjang hari.
Kampanye hitam para pendukung pemisahan Irian Jaya—yang sekarang bernama Provinsi Papua dan Papua Barat—dari Indonesia di Australia semakin gencar setelah Jakarta dan Canberra menandatangani Perjanjian Keamanan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, 13 November 2006.
Selain itu, Maret lalu, Proyek Papua Barat Pusat Kajian Perdamaian dan Konflik Universitas Sydney menerbitkan laporan bertajuk Blundering In: The Australia-Indonesia Security Agreement and the Humanitarian Crisis in West Papua. Laporan yang disusun antara lain oleh Prof G. Peter King dan Dr Jim Elmslie—yang dinilai sejumlah kalangan di Tanah Air sebagai akademisi partisan dan sangat prokemerdekaan Papua—itu pada intinya mempersoalkan artikel 2.3 dalam perjanjian Australia-Indonesia. Dalam pandangan mereka, hal itu dapat menghambat apa yang mereka sebut hak demokrasi rakyat Australia untuk menyuarakan dukungannya kepada kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Kampanye hitam tersebut sangat tidak baik bagi kelangsungan hidup bernegara dan berdampingan dengan negara tetangga, maka perlu kiranya dihentikan dengan segera.
CHRISTOPER SIMANJUNTAK Taman Cilandak, Lebak Bulus Jakarta Selatan
Malaysia Lecehkan Indonesia
Sebagai negara tetangga serumpun, penduduk Malaysia telah banyak melakukan pelecehan terhadap Indonesia. Bahkan mereka merendahkan Indonesia dengan menyebut masyarakat Indonesia ”Indon”, yang artinya buruh atau kuli. Relakah kita disebut bangsa kuli?
Saya sangat setuju dan mendukung langkah pemerintah melalui Departemen Luar Negeri yang secara resmi menyampaikan protes kepada Duta Besar Malaysia mengenai penggunaan kata ”Indon” untuk menyebut bangsa/rakyat Indonesia. Tren kata ”Indon” yang digunakan oleh media massa Malaysia dinilai tidak sesuai dengan etika jurnalistik, tidak seimbang, dan merendahkan citra Indonesia.
Pengamat media Indonesia-Malaysia, Nasrullah Alifauzi, yang juga bekerja sebagai anggota staf penerangan Kedutaan Besar RI, menyatakan media massa di Malaysia kerap menggunakan kata ”Indon” serta menilai sejumlah pekerja jurnalistik Malaysia tidak memberikan pemberitaan yang seimbang dan proporsional. Pemberitaan tersebut, antara lain, bertajuk ”Mafia Indon Mengganas”, ”Indon Cemar KL”, ”Gateway for Indon Criminals”, dan ”Indon Curi Air Penduduk”.
Pelecehan Malaysia terhadap bangsa Indonesia tidak hanya dengan sebutan ”Indon”, tapi juga sudah mulai merongrong kedaulatan wilayah RI. Misalnya diambilnya Pulau Sipadan dan Ligitan, kasus Ambalat, bergesernya patok perbatasan di Kalimantan, serta dibukanya jalur penyelundupan melalui Malaysia untuk memasok senjata dan narkoba ke Aceh. Mari bangkit untuk melawan pelecehan yang dilakukan Malaysia.
DINI KINANTHI Jalan Raya Lenteng Agung, Gang 100 Jakarta Selatan Email: [email protected]
Prihatin Kasus Meruya
Kasus tanah Meruya Selatan, Jakarta Barat, adalah cermin silang-sengkarut hukum di negeri ini. Aneh bin ajaib. Di saat tanah seluas 78 hektare sedang dalam perkara antara PT Porta Nigra dan tiga warga di Pengadilan Jakarta Barat, justru BPN mengeluarkan sertifikat tanah untuk pihak lain. Gawatnya, tiba-tiba Gubernur DKI Sutiyoso ingin jadi pahlawan, siap tampil untuk warga. Terang saja ini bukan pendidikan hukum yang baik untuk sebuah negeri yang masih menjunjung tinggi hukum.
Di sisi lain, warga pemilik tanah yang mendapatkan sertifikat itu tentu saja adalah pembeli beritikad baik. Mereka memperoleh tanah menurut prosedur, mengeluarkan sejumlah uang, dan ada notarisnya. BPN pun mengeluarkan sertifikatnya. Bahkan sebagian sudah menjadi agunan bank, sehingga pastilah surat tanah itu sah karena bank tidak akan memberi pinjaman atas sertifikat bodong.
Selain itu, bagi Mahkamah Agung, bagaimana bisa mengeluarkan putusan atas sebuah kasus yang kekurangan pihak? Porta tak menyertakan warga dalam gugatannya. Artinya, warga pemilik tanah yang tak disinggung dalam gugatan tiba-tiba harus kehilangan haknya. Apa pun kebijakan yang ditempuh, hendaknya janganlah merugikan warga yang tak berdosa di sana. Pemerintah DKI dan BPN harus bijak dan ikut bertanggung jawab.
Effendi N. Warga Cinere
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo