Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bantahan Ilham Bintang
Dengan ini, saya ingin meluruskan berita Tempo dengan judul ”PB NU Tetap Mengharamkan Infotainment” yang terasa betul mengacaukan banyak hal.
Berita itu termuat di dalam rubrik Peristiwa, edisi 21-27 Agustus 2006. Tanggapan saya sebagai berikut:
- Saya belum pernah memberi keterang-an pers menanggapi hasil keputusan Bathsul Masail NU sebelum wartawan Tempo menghubungi saya hari Jumat, 18 Agustus 2006. Lalu dalam berita itu ditulis be-gini, ”Pernyataan ini menanggapi re-aksi pemimpin acara televisi Cek & Ricek RCTI, Ilham Bintang, yang mengatakan PB NU membatalkan pengharaman info-tainment.”
- Yang paling parah, pada paragraf ber-ikut-nya Tempo menulis begini: ”Ilham Bintang mengaku cuma menegaskan bahwa acara infotainment tidak diharamkan PB NU. Dia bersama PWI mengadakan keterangan selepas acara di PB NU untuk menjelaskan bahwa fatwa PB NU sebatas acaranya.” Apa yang ditulis Tempo itu faktanya tak pernah ada. Saya tidak pernah menghadiri acara di PB NU dan tidak pernah pula bersama PWI mengadakan kete-rangan pers. Ketika wacana infotainment merebak di tengah masyarakat, meski saya Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, saya hanya membatasi diri berbicara sebagai pekerja infotainment. Yang berbicara atas nama PWI adalah Sekjen PWI Pusat Wina Armada dan Hans Miller sebagai Ketua Departemen Wartawan Infotainment PWI Pusat. Saya menduga kemungkinan kekacauan wartawan Tempo mengidentifikasi terjadi di sini.
- Fakta sebenarnya, seperti dikutip di banyak media, dan juga saya dengar sen-diri dari Ketua PB NU, Bapak Achmad Bagdja, dan Sekretaris Bathsul Masail, Bapak Drs Arwani Faisal, hasil sidang pembahasan Bathsul Masail PB NU 15 dan 16 Agustus sebagai berikut: bahwa sidang itu tidak membahas secara spesifik tayang-an infotainment. Yang dibahas adalah hukum memberitakan keburukan orang lain di media mana pun. ”Itulah yang haram hukumnya dilakukan di media cetak, -ra-dio televisi, dan sebagainya,” kata Achmad- Bagdja. Untuk meluruskan kesimpang-siuran berita selama ini, Arwani Faisal menambahkan, ”Jangan pernah sekali-kali menganggap NU mengharamkan infotainment” (lihat tayangan C&R di RCTI, Sabtu 19 Agustus)
- Ketika wartawan Tempo menelepon sa-ya, keputusan itulah yang saya respons. Karena saya khawatir percakapan melalui telepon bisa menimbulkan induksi, maka tanggapan itu saya susulkan via SMS. Inilah isinya: ”Alhamdulillah. Hasil sidang Bathsul Masail NU, lembaga yang diberi kewenangan mengkaji masalah hukum Islam, tanggal 15 & 16 Agustus lalu di Jakarta, secara resmi memutuskan infotainment tidak haram. Terima kasih kepada ulama NU yang mempercayai infotainment bekerja menurut prinsip kerja profesional di bidang pers. Oleh sebab itu pekerja infotainment harus selalu menaati UU Pers, UU Penyiaran, dan Kode Etik Jurnalistik.”
- Sebagai sesama wartawan, saya sedih karena Tempo yang selama ini saya horma-ti mengabaikan aspek akurasi dalam peliputan. Akibatnya, kesan yang muncul jus-tru Tempo-lah yang amat bernafsu mematikan kreasi teman-teman wartawan infotainment.
- Sekian surat saya, mudah mudahan de-ngan kejadian ini semua infotainment bukan cuma bertambah kuat, tetapi juga bertambah baik. Sesuai dengan yang di-cita-citakan semula, dan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
Ilham Bintang Pemimpin Redaksi Cek & Ricek
Klarifikasi Berita Kapten Batara
Selaku keluarga Kapten Inf. Ba-tara Alex Bulo, kami ingin mengklarifikasi be-rita Gaya Koboi Kapten Kaya, seperti dimuat Tempo edisi 14-20 Agustus.
Pertama, mobil bernomor polisi B 1501 RI telah kami jual pada 5 Juli 2006. Kedua, Saudara Dadang memberikan pengakuan kepada pengacara dan keluarga kami bahwa saat kejadian pada 21 Juli 2006, pukul 21.00 WIB, Saudara Eko (sopir), Dede (pe-num-pang), dan Dadang sendiri (penum-pang-) dalam keadaan mabuk berat. Sebe-lum kejadian, mereka baru saja minum mi-numan keras di daerah Dadap, hal yang su-dah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari.
Sebab itu, kami menyesalkan tindak-an dan keterangan Polisi Militer tentang perkara tersebut kepada wartawan. Hal itu sudah menyalahi asas praduga tak bersalah. Wassalam.
Rio Alex Mewakili keluarga Kapten Inf. Batara Alex Bulo
Soal Hukuman buat Tibo
Kejaksaan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, 9 Agustus lalu telah menyerahkan surat pemberitahuan eksekusi kepada keluarga terpidana mati Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Surat itu menyebutkan, Tibo dan kawan-kawannya akan dieksekusi pada Sabtu, 12 Agustus lalu, sekitar pukul 00.15 waktu Indonesia Tengah (Wita).
Pada dasarnya keseluruhan proses hukum kasus itu sudah tuntas. Dari pelaksanaan pengadilan, upaya hukum, sampai peninjauan kembali dan penggunaan hak grasi. Pelaksanaan eksekusi itu merupa-kan sebuah kepastian hukum. Masyarakat tidak bisa mendesak penundaan pelaksana-annya dengan isu pelanggaran hak asasi manusia.
Pro dan kontra eksekusi mati itu masa-lah hukum dan tidak ada sangkut-pautnya dengan isu pelanggaran hak asasi. Terpidana mati yang tidak terima dengan eksekusi bisa mengajukan upaya hukum. Perundang-undangan telah mengatur, upa-ya hukum bisa dilakukan melalui permohonan peninjauan kembali perkara dan grasi. Semua itu telah dilalui Tibo dkk.
Isu hak asasi manusia sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Maka, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?
Dalam praktek sehari-hari, kita sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan hak asasi manusia. Repotnya, kesadaran umum soal hak asasi dan kesadaran menghormati hak asasi orang lain di kalangan kita belum berkembang secara sehat.
Bagaimanapun, hukum harus tetap di-tegakkan kendati langit runtuh.
Kiswoyo Gunawan Jalan Raya Ciomas 24, Bogor, Jawa Barat
Jogya NetPAc Mengecewakan
Kinerja panitia penyelenggara J-ogya NetPac Film Festival 2006 (JAFF 2006) sungguh mengecewakan penikmat film se-perti saya yang sengaja terbang ke Yogyakarta untuk menikmati acara itu. Meski sudah digembar-gemborkan ke sejumlah media, spanduk dan poster di se-luruh Kota Yogyakarta, ternyata tidak tersedia cukup informasi, terutama jadwal dan daftar film yang akan diputar.
Pada 31 Juli, seminggu sebelum pem-bukaan acara itu, saya mendatangi salah satu tiket boks JAFF. Di situ ternyata si penjual tiket membawa setumpuk ti-ket, tanpa selembar informasi pun me-ngenai jadwal, daftar, dan sinopsis film yang akan diputar. Tiket yang disediakan hanya ber-isi informasi soal tanggal, jam, dan tempat pemutaran film, tanpa mencantumkan judul film yang akan diputar. Ini aneh. Membeli tiket seperti ini sama artinya membeli ”kucing dalam karung”.
Saya langsung protes. Petugas penjual tiket meminta saya meninggalkan nomor telepon. Namun, sampai surat ini dikirim-kan, 7 Agustus lalu, belum ada satu pun panitia yang menghubungi saya. Menghubungi nomor sekretariat JAFF, yang saya dapati selalu nada sibuk.
Saya memutuskan mencari sendiri informasi melalui Internet dan me-nemukan semua jadwal, daftar, dan informasi di website resmi JAFF. Dengan berbekal jadwal itu, saya mendatangi tempat pemutaran film pada pembukaan acara itu. Saya berharap bisa membeli tiket Opera Jawa sehingga datang beberapa jam sebelumnya karena takut kehabisan tiket.
Di gedung tersebut, panitia menyampaikan pemutaran film pembukaan hanya untuk undangan. Setelah menanyai beberapa orang panitia, saya disarankan ke bela-kang. Di sana ternyata hanya ada gudang yang ditunggui petugas bioskop. Petugas itu menyuruh saya membeli tiket di loket. Tapi petugas di loket mengatakan, ia tidak menjual tiket JAFF baik untuk hari ini maupun hari selanjutnya.
Tak berputus putus asa, saya tetap bertanya ke sejumlah panitia. Namun pada akhirnya saya tetap tak diperbolehkan- men-dapatkan undangan untuk film pem-bukaan itu. Dan sayang sekali, tidak di-jelaskan dalam brosur, flyer, leaflet, website dan di mana pun bahwa pembukaan itu untuk para undangan.
Begitu miskinnya informasi yang bisa disediakan panitia penyelenggara festival film semenarik ini, sehingga amat menyu-sahkan para penonton yang notabene penikmat film dan berkeinginan mengapre-siasi film bermutu yang praktis tidak per-nah diputar di bioskop maupun di televisi.
Dibanding festival film lainnya seper-ti Jiffest di Jakarta, misalnya, kinerja- JAFF terlihat buruk. Dengan panitia yang sebagian besar relawan muda/mahasiswa, Jif-fest bisa memberikan informasi dan men-jual tiket dengan sangat memadai, jauh-jauh hari sebelum festival dibuka. Tidak ada alasan bagi JAFF untuk me-ngatakan bahwa kekurangan ini karena festival tersebut adalah pengalaman pertama; begitu pula dengan alasan bahwa sebagian panitianya adalah mahasiswa.
Apa boleh buat, saya terpaksa menelan kekecewaan itu dalam-dalam. Malam itu juga saya memutuskan kembali ke Jakarta dan membatalkan niat saya menikmati festival film Asia itu. Saya hanya bisa berdoa, semoga festival film yang diselenggarakan dengan cara tidak profesional itu adalah yang terakhir.
Rama Astraatmaja Kompleks PWI Blok J-143, Jakarta
Separatisme di Papua
Pernyataan Gubernur Papua, Bar-na-bas Suebu, pada pidato pelantikan diri-nya, Juli lalu, menarik diulas. Barnabas mengatakan, jalan terbaik menghambat separatisme di Papua adalah dengan meningkatkan kesejahteraan, memberantas kebodohan dan keterbelakangan di Pa-pua, sehingga rakyat Papua hidup sejajar de-ngan saudara-saudaranya di wilayah lain Indonesia. Menurut Barnabas, teriakan separatisme itu tak hanya di Papua, tapi juga di daerah lain. Rakyat melakukan itu karena merasa hidup mereka tidak lagi aman, adil, dan sejahtera.
Benarkah gerakan separatis Papua se-mata-mata karena alasan kesejahtera-an? Adakah jaminan jika Papua keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, problema kesejahteraan pasti teratasi? Menurut saya, gerakan separatis erat kaitannya dengan soal keberadaan sumber ener-gi di perut bumi ibu pertiwi ini. Banyak negara lain yang ”berkepentingan” dengan republik ini untuk mendapatkan dan memanfaatkan sumber energi tersebut.
Singkatnya, gerakan separatis muncul karena campur tangan asing yang mengincar potensi sumber daya alam di wilayah itu. Buktinya, daerah-daerah lain yang minus akan sumber energi tidak pernah punya masalah dengan separatisme, padahal problema kesejahteraannya sama dan sebangun dengan Papua.
Namun, jika Gubernur Papua berkeya-kinan separatisme di Papua berkaitan de-ngan soal kesejahteraan dan keadilan, maka menjadi tugas dan tanggung jawab beliau untuk merancang langkah konkret mening-katkan kesejahteraan di dae-rahnya, dan men-ciptakan keadilan di Papua.
Apalagi tahun ini Papua mendapat dana otonomi khusus triliunan rupiah. Dana itu harus digunakan dengan cermat bagi rakyat Papua yang masih banyak bermukim di kampung-kampung terpencil di wilayah pegunungan. Korupsi juga harus tuntas diberantas karena di sanalah sumber ketidakadilan.
Gerry Setiawan Condet, Jakarta Timur
Agresi Militer Israel
Aksi brutal Israel dan Amerika yang menyebabkan ribuan warga sipil Libanon menjadi korban memang harus dikutuk dunia. Namun, kematian penduduk sipil termasuk anak-anak dan wanita yang tak bersalah itu juga akibat dari kecerobohan Hizbullah/HAMAS dan akibat pernyataan Presiden Iran Ahmadinejad.
Israel adalah bangsa yang licin dan pintar. Ketika Israel mengumpankan dua prajurit rendahannya, seharusnya umpan itu tak perlu dicaplok. Sebab, begitu dicaplok, Israel pasti akan menjadikannya sebagai alasan untuk menggempur Hizbullah. Kecerobohan seperti inilah yang menyebabkan penduduk sipil di Libanon mati sia-sia, infrastruktur hancur, waktu dan tenaga serta harta umat Islam di seluruh dunia tercurah dan terkuras untuk perang yang tidak seimbang ini.
Bagi Israel, untuk menghabiskan Hizbullah dalam bilangan hari bukanlah perkara sulit. Begitu juga untuk meluluh-lantakkan Libanon dalam bilangan hari. Mereka punya senjata pamungkas. Gencatan senjata yang terjadi pertengahan Agustus lalu sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai kemenangan dan kehebatan Hizbullah.
Sebagaimana Hamas di Palestina, Ahmadinejad ketika baru menang pemilu di Iran mengatakan Israel seharusnya dihapus dari peta dunia. Pernyataan seperti inilah yang membuat Israel siap perang. Padahal, tanpa gembar-gembor, justru Israel-lah yang setiap tahun terus berusaha menghapus Palestina dari peta dunia.
Dengan alasan pre-emptive dan self-defense, mereka menggempur Hizbullah di Lebanon. Israel tahu, ketika Hizbullah digempur, pastilah Iran akan mensuplai senjata untuk mendukung Hizbullah. Israel juga ingin mengetahui sudah sejauh mana proyek nuklir Iran berjalan.
Pernyataan Ahmadinejad tentang pro-yek nuklir Iran sudah pasti dijadikan alas-an bagi Israel untuk mencuranginya. Memerangi Libanon hanyalah awal cerita, kelak Israel dan AS akan sampai pada tahap menganeksasi Iran, sebagaimana telah dilakukan AS terhadap Irak.
Tontowy Djauhari Hamzah Tebet Timur Dalam VI-A nomor 9 Jakarta Selatan
Undang-Undang Pemerintahan Aceh
DPR telah mengesahkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Meskipun demikian, banyak reaksi bermunculan setelah RUU itu disahkan.
Beberapa komponen masyarakat Aceh berniat melakukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Konstitusi begitu undang-undang itu disahkan. Namun, Aceh Monitoring Mission (AMM) justru menyambut baik pengesahan UU itu. Menurut Pieter Feith, Ketua AMM, undang-undang itu secara prinsipiil sudah sesuai dengan nota kesepahaman Helsinki.
Dalam UU Pemerintahan Aceh, banyak pasal yang justru tidak ada dalam MoU Helsinki, tapi diakomodasi dalam un-dang-undang tersebut. Misalnya, dana tambahan yang tidak termuat dalam MoU. Da-lam undang-undang itu juga terdapat klau-sul tambahan dalam upaya Aceh dapat me-ngejar ketertinggalan dari daerah lainnya.
Komponen Masyarakat Sipil Aceh dan GAM, yang berniat melakukan uji materiil, agaknya perlu mempelajari UU Peme-rintahan Aceh secara lebih mendalam sebelum menyerahkannya kepada Aceh Monitoring Mission (AMM). Mereka se-baik-nya jangan langsung menolak atau me-nilai kekurang-an undang-undang itu. Se-baik-nya undang-undang ini dilaksanakan -da-hulu agar dapat diketahui kekurangannya. Ba-gaimana minta evaluasi jika undang-un-dang itu belum diimplementasikan. Masih ter-buka kemungkinan untuk me-revisi UU PA.
Perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam membutuhkan kebersamaan dan ketulusan semua pihak. Undang-Un-dang Pemerintahan Aceh itu bukan tujuan -ak-hir, melainkan sarana untuk mewujudkan perdamaian sejati di Aceh.
T. Fauzan Azizi Jalan Veteran 20, Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo