Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berita Tempo Plus

Ketika Guru Ditukar Televisi

Program wajib siaran pendidikan bagi siswa kelas 3 SMP sudah dimulai. Ada sekolah yang sulit mengikutinya karena sejumlah hambatan.

28 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Ketika Guru Ditukar Televisi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sambil membentangkan koran, Adnan Ismail menatap televisi di sudut ruang kerjanya. Layar gelas berukuran 14 inci itu tengah menayangkan siaran pelajaran bahasa Indonesia bagi siswa SMP. Prog-ram pada Rabu pagi, dua pekan lalu, itu dikemas dalam bentuk dialog. Ada juga drama. Sesekali tampil pembawa acara perempuan. Kemudian muncul gambar materi yang sedang dibahas. Sebuah program yang cukup menarik. Tak monoton layaknya pelajaran di kelas.

Tayangan yang ditonton Adnan, Kepala SMP Negeri 7 Utan Kayu, Jakar-ta Timur itu, merupakan program pendidik-an yang dipancarkan TVRI. Disiarkan sejak 17 Juli lalu setiap Senin sampai Kamis, dua jam di pagi hari dan diulang so-renya, program itu dimaksudkan untuk membantu siswa SMP kelas 3 di daerah yang mengalami krisis guru.

Pemrakarsa siaran adalah Pusat Teknologi dan Komunikasi Departemen Pendidikan Na-sional yang menyiarkan melalui stasiun di Ciputat, Banten. ”Siaran itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan standar hasil kelulusan ujian nasional,” kata Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo saat meluncurkan program itu, Juli lalu.

Program senilai Rp 213 miliar ini rencananya bakal berlangsung setahun. Tiap sekolah akan mendapat bantuan dua buah televisi berukuran 30 inci. Materi pelajaran yang disiarkan meliputi matematika, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang merupakan mata pelajaran ujian nasional. Ini memang bukan hal baru di dunia pendidikan. Program serupa pernah diterapkan sejumlah negara seperti Thailand, Cina, Amerika Serikat, Jepang, Kosta Rika, dan Meksiko.

Sekarang Indonesia mencoba dengan memanfaatkan TVRI, dengan jaringan penyiaran paling luas, sebagai mitra kerja Pusat Teknologi dan Komunikasi. Selain tiga mata pelajaran yang disiarkan, ada tambahan mata pelajaran lain. Tapi, menurut Direktur Pusat Teknologi, Lilik Gani, pelajaran tambahan itu ha-nya bisa dinikmati melalui antena parabola. ”Setidaknya mereka bisa meng-atasi ke-tertinggalannya dan mendapat pendi-dikan yang lebih bermutu,” kata Lilik.

Materi siaran diselenggarakan bersama oleh Badan Standardisasi Nasional Pendidikan, Pusat Kurikulum, Pusat Penilaian Pendidikan, Direktorat SMP, dan Majelis Guru Mata Pelajaran. Kemudian bahan berbentuk modul itu diperiksa tim ahli dari berbagai perguruan tinggi. ”Baru kemudian diserahkan kepada tim kreatif yang mengemas materi itu menjadi lebih friendly,” ujar Lilik.

Sosialisasi untuk program ini, menurut Lilik, sudah dilakukan di sejumlah daerah, antara lain beberapa provinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Daerah yang luput cuma Papua, lantaran di sana masih dalam proses penyediaan televisi.

Kendati materinya menarik, gembar-gembornya seru dan programnya sudah berjalan sebulan, toh sejumlah SMP di daerah mengaku tak mengetahui ada tayangan itu. Banyak pula yang belum memperoleh televisi. ”Kami hanya mendengar rencana itu dari media massa; hanya sepotong-sepotong,” kata Gondo Haryono, Koordinator Musyawarah Kerja Kepala Sekolah Se-Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Beberapa kantor dinas pendidikan pun ternyata banyak yang belum menerima surat edaran Direktur Jende-ral Pendidikan Dasar dan Menengah me-ngenai siaran pendidikan ini. Padahal, konon, surat telah dikirim 5 Juli lalu. ”Kami belum mengetahui adanya siar-an pendidikan itu,” kata Trijono, Kepala Subdinas Bina Program Dinas Pendidik-an Solo, Jawa Tengah.

Bahkan di Jakarta sekalipun sejumlah sekolah mengaku belum tahu ada-nya program itu. Contohnya SMP 154 di kawasan Pengadegan, Jakarta Selatan, yang jaraknya cuma sepelemparan batu dari perumahan anggota DPR. Helmi, sang kepala sekolah, cuma menggeleng ketika Tempo menanyakan program tersebut.

Ada pula daerah yang bingung menjalankan program itu lantaran siaran TVRI di wilayahnya sulit ditangkap. Ambil contoh Wonogiri yang sudah menerima 272 unit televisi. ”Ini bisa mubazir karena banyak daerah di sini yang tidak terjangkau siaran TVRI,” kata Bambang Eko Sarwono, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Hambatan lain datang akibat jam ta-yang yang bentrok dengan kegiatan bela-jar siswa di kelas. Soalnya, ketika siaran pendidikan ditayangkan, para siswa sedang sibuk belajar di kelas. Begitu pula dengan para guru. ”Waktunya tidak tepat. Sekolah tidak mungkin mengubah jadwal dengan menyuruh semua muridnya menonton TV,” Adnan mengeluh.

Perbedaan waktu antara wilayah Indonesia barat, tengah, dan timur pun ikut menjadi kendala. Ketika TVRI mena-yangkan acara tersebut pukul 07.00, di Kalimantan jarum jam telah menunjuk angka 08.00, dan di Maluku pukul 09.00. Saat itu para siswa dan guru di sana sudah sibuk dengan kegiatan belajar-meng-ajar di kelas.

Keluhan lain muncul dari Adnan menyangkut jumlah siswa dan televisi yang tak sebanding. Saat ini di SMP 7 hanya ada lima televisi untuk 320 siswa. Untuk mengakali kekurangan itu, ia bisa saja mengumpulkan siswa untuk menonton lewat proyektor. Namun, cara ini dianggap tak efektif karena butuh ruang kelas besar dan membuat siswa jadi sulit berkonsentrasi. ”Padahal, masih ada pelajaran lain yang tak kalah penting yang harus dikejar siswa,” ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan itu, Kepala Subdinas Pendidikan Lanjutan Menengah Dinas Pendidikan Nasional, Kabupaten Kediri, Sugiharto, berpikir untuk melaksanakan moving class. Siswa dikumpulkan dalam satu ruang, kemudian menonton bersama. Tapi, muncul soal baru karena sekolah mesti mengubah jam pelajaran lantaran tiap kelas jam pelajarannya tidak sama.

Kiat lain dengan merekam tayangan TVRI kemudian menyetel di kelas secara bergiliran. Bisa pula para siswa diwajibkan menonton siaran ulangan pukul 14.15 WIB dan membuat resume. Repotnya, menonton TV di rumah pada waktu seperti itu bisa memercikkan ”perang” perebutan saluran TV dengan adik, kakak, atau anggota keluarga yang lain.

Para siswa pun belum tentu setuju dengan pilihan itu. Soalnya, boleh jadi, mereka sudah punya jadwal ke-giatan lain. Tia, siswa SMP Negeri 1 Solo, Jawa Tengah, misalnya, mengaku tak bisa mengikuti siaran pendidikan karena jadwalnya bentrok dengan jam pelajaran sekolah, les sekolah maupun kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan itu wajib diikuti karena sekolahnya mene-rapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004.

Kurikulum itu, antara lain, mengatur siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler hingga sore hari. Di luar itu Tia masih harus mengikuti les di sekolah. ”Kalau kegiatan-kegiatan itu dipindahkan ke malam hari, mungkin saya bisa mengikuti siaran pendidikan,” ujarnya berandai-andai.

Adi, siswa SMP Negeri 1 Wonogiri, Ja-wa Tengah, lebih bersikap tegas. Ia memilih mengikuti les tambahan di sebuah lembaga pendidikan ketimbang menonton siaran pendidikan ulangan. Apalagi, meski sudah dibuat interaktif, tetap dibutuhkan guru untuk menjelaskan -siaran itu. ”Bagus kalau guru meng-ikuti siaran itu. Kalau tidak? Nambahin beban saja akhirnya,” katanya.

Kepala SMP Negeri 12 Surabaya, Abdul Gani, mengambil jalan pintas untuk mengatasi kerumitan itu. Ia meng-abaikan sama sekali tayangan TVRI. Se-bagai gantinya ia memutar cakram video berisi sejumlah mata pelajaran produksi Pusat Teknologi dan Komunikasi, kemudian membahasnya di dalam kelas bersama siswa. ”Dari berbagai dis-kusi dan pertemuan dengan para kepala sekolah SMP di Surabaya, mereka juga tak ada yang memanfaatkan tayangan televisi itu,” ujarnya.

Merintis sesuatu yang baru di Indonesia yang luas ini, memang, butuh waktu dan perjuangan.

Widiarsi Agustina, Sunariah, Sunudyantoro (Surabaya), Imron Rosyid (Wonogiri), dan Dwijo U. Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus