Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemelut Dapenbun
Membaca tulisan pada rubrik opini- hing-ga investigasi majalah Tempo edisi 17–23 April 2006, dengan bahasa sederhana-, tulisan itu saya rangkum dengan sebutan kemelut Dana Pensiun Perkebunan (Dapen-bun). Sungguh tulisan menarik dan membuka mata pensiunan perkebunan yang ter-gabung dalam wadah Persatuan Purnakaryawan Perkebunan RI (P3RI).
Sebagai pensiunan PTPN IX, saya berharap Tempo tetap meneruskan investigasi itu pada internal Dapenbum, terutama siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya kemelut itu, apakah pendiri, mitra pendiri, dewan pengawas, atau direksi Dapenbun. Apakah mereka merasa dirugikan adanya kemelut ini?
Selain itu, investigasi juga dilakukan pa-da- pihak eksternal Dapenbun, terutama se-berapa jauh mitra swasta (The Hok Bing) merugikan Dapenbun. Tulisan Tempo akan sangat membantu pensiunan untuk menelusuri ini sampai tuntas. Sebab, perlu clearance sejak awal kerja sama dengan mitra swasta, siapa saja dari Dapenbun yang ikut meratifikasi semua akta legal formal atas investasi di Kemayoran yang ujungnya menjadi kemelut ini.
Pada saatnya, yang paling dirugikan ada-lah pensiunan perkebunan, karena ke-kayaan Dapenbun dan funding level-nya me-nurun sehingga mengakibatkan pada 2006 kesulitan untuk merealisasi kenaikan- manfaat pensiun (ada kemungkinan pen-siun- tidak naik). Sangat menyedihkan bagi pensiunan perkebunan yang hanya mene-rima Rp 150 ribu sampai Rp 1,9 juta per bulan dari Dapenbun.
Ada kecenderungan pejabat yang berwenang tidak cepat bertindak tegas dalam me-ngatasi masalah ini. Seperti lempar tang-gung jawab kepada pihak eksternal saja. Saya yakin, dalam menangani kemelut ini digunakan- uang pensiunan miliaran rupiah untuk urus-an lawyer, negosiator. Sangat ironis, pen-siun terendah menerima Rp 150 ribu, sedangkan miliaran rupiah dikeluarkan be-gitu saja tanpa ada penyelesaian de-ngan mitra swasta. Ulah siapa yang menguras pensiunan perkebunan, silakan Tempo membantu dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
Iko Sumardiko Pensiunan PTPN IX tahun 2000 Jl. Sinar Bakti 352 Semarang
Soal Kepemilikan Saham Bank Agro
Sehubungan berita Tempo edisi 17–23 April 2006 pada rubrik Investigasi yang berjudul ”Akal Busyukus di Kemayoran” di halaman 62, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi, terutama pada kolom ke-2 alinea ke-3; di situ ditulis,” Bukannya merogoh kocek, Bing malah membayar dengan aset Dapenus, yakni saham di PT Bank Agro, PT Jasa Tania dan PT Surya Senia. Itu terjadi pada 8 Desember 2005...” dan keterangan foto gedung Bank Agro di halaman 62, menurut kami tidak tepat.
Sesuai dengan catatan PT Kustodian Sen-tral Efek Indonesia dan Surat Dana Pensiun Perkebunan kepada Bank Agro bahwa telah terjadi pengalihan saham Bank Agro dari PT Dapenbun Nusantara kepada Dana Pensiunan Perkebunan (Dapenbun) pada tanggal 13 Juli 2005, bukan 8 Desember 2005. Dengan demikian, sejak tanggal 13 Juli 2005, PT Dapenbun Nusantara bukan lagi sebagai pemegang saham PT Bank Agroniaga Tbk (Bank Agro).
Adapun pemegang saham Bank Agro sejak tanggal 13 Juli 2005 adalah Dana Pensiun Perkebunan sebesar 96 persen atau senilai Rp 225,5 miliar, PT Jamsostek (Persero) sebesar 2,13 persen atau Rp 5 miliar, Yayasan Sarana Wana Jaya sebesar 1,28 per-sen atau Rp 3 miliar, dan masyarakat sebesar 0,59 persen atau Rp 1,4 miliar. Total nominal saham adalah Rp 234,9 miliar. Demikian klarifikasi ini disampaikan agar para pemegang saham, nasabah, dan relasi bisnis dapat maklum adanya.
Hirawan Nur Kustono Corporate Secretary PT Bank Agroniaga Tbk.
Dikecewakan RS Pondok Indah
Pada 20 November 2005, sekitar pukul 15.00 WIB, anak kami yang pertama (putri) lahir dengan persalinan normal di Rumah Sakit Pondok Indah. Pada 21 Novem-ber 2005, lebih-kurang pukul 08.00–09.00 WIB, Dokter Achmad Mediana Sp.OG yang me-na-ngani persalinan istri saya mengatakan bah-wa putri kami mengalami patah bahu ki-rinya. Hasil rontgen pukul 10.09 WIB me-mang benar, bahu kiri dinyatakan patah (cla-vicula sinistra). Aneh bin ajaib, sam-pai se-karang tidak satu pun dokter di rumah sa-kit tersebut yang dapat menjelaskan kapan, di mana, dan kenapa sampai ter-jadinya patah bahu kiri anak kami tersebut.
Seharusnya, sebagai dokter yang ahli di bidangnya, tentu mengerti tindakan apa- yang harus dilakukan sehingga proses- kelahiran anak kami bisa berjalan baik dan sela-mat. Dan tentu, proses kelahiran yang menyebabkan patah bahu kiri anak kami seharusnya tidak akan terjadi apabila- pihak dokter bisa mengerjakan dengan baik. Bukan sebalik-nya, yang seolah-olah menya-lahkan istri dan anak kami, misalnya karena jalan lahir yang sempit dan anak kami yang terlalu besar, 3,980 kg.
Di mana tanggung jawab rumah sakit dan dokter tersebut kepada kami? Beginikah pelayanan sua-tu rumah sakit ternama yang menyelesaikan permasalahan hanya de-ngan mengirimkan suster selama 3 hari, da-tang tiap pagi ke rumah (24–26 November 2005) untuk memandikan anak kami. Juga dengan menggratiskan (1 kali biaya dokter Prayogo dan pemeriksaan darah di laboratorium) pada tanggal 25 November sewaktu mengontrol putri kami.
Mungkin terlalu prematur jika kami me-ngatakan proses kelahiran ini suatu kela-laian dari dokter tersebut. Kami yakin, dok-ter tersebut masih mempu-nyai nurani yang dengan ”hati-hati” menyam-paikan berita ini pada istri kami agar kami tidak shock mendengar berita buruk itu.
Melalui kontak pembaca ini, kami hanya- bisa mengucapkan terima kasih pada Manajemen RS Pondok Indah dan dokter tersebut atas proses kelahiran patah tulang bahu anak kami. Kami bertekad tidak akan kembali ke Rumah Sakit Pondok Indah untuk persalinan.
Yan E.M. Siahaan Jl. Usman Dehir, Limo, Depok
Nasionalisme Investor Lokal
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungannya ke kawasan Industri Cikarang, Jawa Barat, baru-baru ini sa-ngat prihatin dengan kurangnya investasi- yang ditanamkan pengusaha Indonesia di dalam negeri. Kebanyakan pengusaha kita pascakrisis mengalihkan usaha ke lu-ar negeri. Dalam teori ekonomi, tak ada yang salah dengan aliran kapital itu. Namun, menurut SBY, alangkah indahnya jika para investor lokal memiliki kepedulian untuk membangkitkan perekonomian negerinya.
SBY menggarisbawahi: investasi di da-lam negeri merupakan tanggung jawab mo-ral para pengusaha tersebut. Mereka se-lama krisis ekonomi telah menikmati ban-tuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah. Sampai dengan hari ini, kemampu-an pengembalian BLBI hanya mencapai 30 persen. Sisanya merupakan biaya krisis. Karenanya, sudah seharusnya para peng-usaha tersebut, setidaknya, menunjukkan kepedulian pada pembangunan ekonomi Indonesia agar cepat keluar dari krisis.
Selain itu, para pengusaha dan bangsa- Indonesia umumnya harus memulai mewa-canakan pentingnya budaya unggul. Buda-ya unggul dicirikan dengan semangat ting-gi, kerja keras dan berpikir positif. Banyak tantangan riil yang akan kita hadapi di hari-hari ke depan. Sebentar- lagi harga minyak dunia akan mencapai- US$ 70 per barel. Jika kita pesimistis, tak akan ada jalan menutupi kekurangan APBN kita, sebab APBN disusun dengan asumsi harga minyak sekitar US$ 58 per barrel.
Bagi bangsa yang optimistis, tantangan melonjaknya harga minyak dunia akan meng-hasilkan kreativitas dan penemuan ba-ru. Sumber energi alternatif merupa-kan suatu yang patut dikembangkan, meng-ingat di negeri ini banyak sekali cadangan sumber energi dimaksud. Karenanya, di sini-lah peran para investor diharapkan sehingga keberadaan mereka punya arti dan bangsa.
Rieke Kartina Jl. Pintu Besar Utara, Jakarta Barat
SBY dan Dunia Pendidikan
Sudah sekian kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke sekolah-sekolah. Bahkan Presiden juga mempersilakan anak-anak TK Al-Azhar masuk ruang kerjanya. Sebuah tindakan yang belum banyak mendapatkan perhatian pada masa sebelumnya.
Ini membuktikan ada perhatian serius dari Presiden SBY terhadap dunia pendidikan. Bahkan SBY sempat kecewa ketika mengunjungi Sekolah Dasar di Kelurahan Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu, melihat kondisi ruangan yang memprihatinkan. Kekecewaan tersebut didasarkan pada pandangan SBY yang begitu optimistis bahwa Sekolah Dasar merupakan fondasi yang akan membentuk watak dan kepribadian seseorang.
Sekolah yang kotor dan tidak nyaman akan membentuk anak menjadi tidak disiplin. SBY sebagaimana dikatakan guru SD-nya, di Purwoasri, saat kunjungan ke Pacitan, Jawa Timur, sejak SD, SBY dikenal sebagai murid yang rapi pakaiannya.
Perhatian dan kekecewaan SBY seharusnya tidak terjadi apabila pejabat terkait seperti Diknas peduli dan memperhatikan program kerjanya. Terlalu banyak agenda apabila seorang Presiden SBY harus mengurus hal-hal yang semestinya diurus bawahannya. Karena itu pula, para pejabat seharusnya melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke daerah-daerah sehingga bisa mengetahui kondisi riil di lapangan.
Anisa Shakira Faza Wisma Mas, Pondok Cabe, Tangerang
Dikecewakan Aliansi Jurnalis Independen
Sabtu siang, 15 April 2006 lalu, saya bergegas menuju Hotel Cemara di kawasan Jakarta Pusat. Hari itu saya terpaksa meninggalkan acara pelatihan calon karya-wan di Divisi Pemberitaan Trans TV yang saya mestinya hadir sebagai pemberi materi. Ada tugas menggantikan Pak Ishadi S.K., Direktur Utama Trans TV, sebagai panelis dalam diskusi panel ”Media dan Tubuh Perempuan” yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Namun, alangkah terkejutnya ketika- sa-ya tiba di meja panitia yang ada di lantai 5 Hotel Cemara. Panitia menga-ta-kan, sesi yang semestinya diisi Pak Ishadi sudah digantikan pembicara lain, seorang mantan pemred sebuah stasiun televisi swas-ta.
Saya lalu bertanya kepada panitia, me-ngapa nama Pak Ishadi diganti? Padahal, pa-da Kamis sore (13/4) saya diminta Pak Ishadi menggantikan beliau. Nama saya pun- sudah disampaikan sekretaris Pak Ishadi kepada panitia diskusi panel pada Kamis malam. Namun, dua anggota pani-tia itu beralasan penggantian nama dila-kukan karena mereka belum mendapatkan kepastian dari Pak Ishadi.
Tentu saja saya bingung. Kenapa saya yang diminta menggantikan Pak Ishadi ti-dak diberi kabar. Menurut dalih kedua orang panitia itu, saya sudah dihubungi via pesan pendek (SMS). Herannya, saya sama sekali tidak pernah menerima pesan pendek pemberitahuan kalau saya tak dibu-tuhkan lagi dalam diskusi panel tersebut.
Tentu, saya merasa amat dikecewakan de-ngan perlakuan AJI tersebut. Bukan kare-na saya gagal tampil menjadi panelis dalam diskusi panel itu, melainkan karena sikap tidak etis dan tidak profesionalnya panitia dari AJI. Bukankah para panitia diskusi panel bisa menelepon saya un-tuk menyampaikan penggantian nama panelis.- Parah-nya lagi, tak satu pun kata maaf terucap dari panitia diskusi panel kepada saya yang telah bersusah payah menyiapkan tulisan untuk materi diskusi.
Teguh S. Usis Kepala Research, Creative, & Development News, Trans TV Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo