Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETAHUN terakhir, ada tambahan ”menu” bagi para tamu yang bertandang ke lantai 18 gedung Plaza Bappindo di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta. Selain penganan kecil, kini tampak ”rokok koboi” Marlboro dan Long Beach terselip di antara belasan merek rokok lokal—A Mild, Dji Sam Soe, Sampoerna Hijau, dan Panamas.
Perubahan terjadi sejak PT Philip Morris Indonesia, produsen Marlboro dan Long Beach, membeli 98 persen saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk., Maret tahun lalu. Berkat akuisisi itu, kedua rokok putih ini pun kini bersanding mesra dengan belasan merek rokok keluaran Sampoerna dalam sebuah kotak kayu, yang biasa disajikan buat para tamu. Termasuk ketika Tempo mewawancarai Presiden Direktur Sampoerna, Martin King, di kantornya Selasa pekan lalu.
Namun, lain di kotak, lain di pabrik. Dua jenis rokok itu hingga kini masih diproduksi oleh pabrik di dua lokasi berbeda: A Mild di Surabaya, Marlboro di Malang, Jawa Timur. Padahal, dari segi pemasaran, Marlboro sejak awal tahun lalu sudah ditangani langsung oleh Panamas, anak usaha Sampoerna.
Dari segi biaya, ini tidak efisien. Itu sebabnya, menginjak tahun kedua kekuasa-an Philip Morris di Sampoerna, raksasa rokok asal Amerika Serikat ini berniat- menyatukan lini usaha produksi dan pemasaran kedua perusahan. Harap-an-nya: pendapatan usaha Sampoerna bisa gemuk. ”Kami ingin lisensi Marlbo-ro dipegang Sampoerna, begitu pula sebaliknya,” kata King.
Kalkulasi Philip Morris: sinergi usaha ini dapat menguntungkan kedua pihak-. Pangsa pasar rokok putih produksi- Philip- Morris sekitar delapan persen bakal membesar bila ditopang Sampoer-na. Sebaliknya, 22 persen pangsa pasar rokok kretek produksi Sampoerna bakal kian gemuk bila menggunakan jaringan pemasaran Philip Morris ke luar negeri.
Direktur audit retail perusahaan riset- AC Nielsen Indonesia, Bramantyoko- Sas-mito, menilai langkah ini tepat untuk- meningkatkan kapasitas produksi- dan pendapatan perusahaan. Alasannya-, produksi sigaret putih buatan mesin yang digarap Philip Morris biayanya lebih efisien dibandingkan dengan si-ga-ret kretek tangan dan mesin milik Sam-poerna. ”Kelebihan ini yang ingin di-te-rap-kan di Sampoerna,” kata Braman-tyo-ko.
Jika berhasil, pangsa pasar Sampoerna bakal lebih besar. ”Peta rokok bakal berubah.” Sampoerna bakal terdongkrak menjadi pemain utama rokok di Indonesia. Jika ini terjadi, impian Pre-siden Philip Morris International, Matteo Pellegrini, saat membeli saham Sampoerna dari Putera Sampoerna setahun silam bisa jadi kenyataan. ”Target utama kami mengambil alih posisi Gudang Garam, jadi perusahaan rokok nomor satu di Indonesia,” kata Pellegrini, yang juga Presiden Komisaris Sampoerna.
Tapi merengkuh mimpi tentu bukan perkara enteng. Hingga kini, Gudang Garam masih kukuh menempati urutan teratas dengan pangsa pasar sekitar 30 persen. Apalagi, rencana sinergi usaha Sampoerna dengan Philip Morris pun tak pernah bisa memperoleh persetujuan pemegang saham lainnya—selain Philip- Morris, dua persen saham Sampoerna berada di tangan investor publik.
Dari dua kali Rapat Umum Pemegang Saham Sampoerna yang digelar pada Januari dan Februari lalu, peserta rapat tak pernah mencapai kuorum. ”Yang datang kurang dari 10 persen,” kata Kepala Komunikasi Perusahaan Sampoer-na, Niken Rachmad. Padahal, rapat baru bisa mengambil keputusan bila pemegang saham publik yang hadir lebih dari 50 persen.
Untuk memecah kebuntuan, Sampoer-na berharap Badan Pengawas Pasar Mo-dal mau menurunkan batasan persya-ratan kuorum rapat, agar sinergi usaha tersebut dapat segera dilangsungkan. Tapi Bapepam tampaknya belum memberi lampu hijau. Otoritas pasar modal ini masih akan melihat berapa jumlah pemegang saham Sampoerna yang masih aktif.
Menurut sumber Tempo di pasar mo-dal, tidak terpenuhinya kuorum diakibatkan sebagian besar pemegang saham sudah tak peduli dengan Sampoerna. ”Sahamnya di pasar terlalu kecil dan kebanyakan pemiliknya di luar negeri,” ujarnya.
Sebagai jalan keluar, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah, memberi saran, ”Kalau tidak mau se-perti ini terus, sahamnya di publik harus ditambah.”
Yura Syahrul, Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo