Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreksi dari Angkatan Udara
SELAKU Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara, saya mengucapkan terima kasih atas berita yang dimuat Tempo edisi 23-29 Januari 2006 berjudul Kini Giliran Sang Penerbang, pada halaman 34. Namun, atas pemberitaan tersebut, saya perlu memberikan klarifikasi sebagai berikut:
- Pada alinea kelima terdapat kalimat yang berbunyi, ”... dan sama-sama pula pernah menerima anugerah Adhi Mahayasa ..." Kalimat ini perlu diluruskan dan diadakan ralat karena Marsekal TNI Djoko Suyanto lulusan Akabri Bagian Udara tahun 1973 bukan sebagai penerima anugerah Adhi Mahayasa. Tetapi beliau sebagai lulusan terbaik dari Sekolah Penerbang Angkatan ke-20 Tahun 1975.
- Wartawan Tempo yang menghubungi saya melalui telepon, yang meminta komentar tentang Marsekal TNI Djoko Suyanto selaku Kepala Staf Angkatan Udara, menjanjikan untuk mempublikasi hasil pembicaraan kelak bertepatan dengan waktu pelantikan beliau menjadi Panglima TNI (apabila telah memperoleh persetujuan dari DPR RI). Sehingga, pemunculan berita yang berisi pendapat saya tentang Kasau sebenarnya tidak sesuai dengan kesepakatan. Tetapi, karena substansinya menyangkut hal yang tidak prinsip, maka hal itu dapat kami terima dan pahami.
Marsekal Pertama Sagom Tamboen SIP Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara
*) Terima kasih atas koreksi Anda—Red
Pelayanan KB di Tempat Pengungsian
BERKENAAN dengan artikel Sjamsul Kahar, berjudul ”Standar PBB” pada Tempo edisi khusus setahun tsunami, halaman 102-103, alinea 16-18, kami memberikan penjelasan seputar KB pasca-tsunami sebagai berikut:
- BKKBN melalui bantuan United Nations Population Funds (UNFPA) telah menyalurkan seluruh kebutuhan alat dan obat kontrasepsi dalam tempo yang cepat pada masa tanggap darurat, yaitu pil 1.423.168 cycle, implant 184.000 set, suntik 604.672 vial termasuk auto disable syringe. Sampai saat ini persediaan alat dan obat kontrasepsi untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih mencukupi. Sedangkan untuk re-establishment pelayanannya dibantu oleh STARH-USAID.
- Alat dan obat kontrasepsi tersebut saat itu juga telah disalurkan melalui seluruh potensi pelayanan kesehatan yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), antara lain melalui LSM luar negeri (CARE, dll), sarana pelayanan rumah sakit, puskesmas pembantu, puskesmas satelit, tempat-tempat pelayanan di tenda-tenda pengungsian.
- Dalam penyaluran alat dan kontrasepsi tersebut, BKKBN bekerja sama dengan Tim Tanggap Darurat Tsunami NAD termasuk dengan TNI dan Polri yang membantu dalam penyaluran dan pelayanan kesehatan dan KB.
- Perihal tempat untuk hubungan suami-istri, pernah digagas untuk menyediakan tenda khusus, namun tidak terealisasi karena berbagai pertimbangan, seperti hal tersebut sangat pribadi dan faktor etika. Menurut pengalaman LSM di masa lalu, saat masih terjadi konflik, tenda khusus sejenis tidak banyak manfaatnya, suami-istri lebih suka melakukannya di tempat lain. Untuk itu, saat ini BKKBN sedang menyiapkan kelambu warna hitam/gelap. Hal ini dimaksudkan agar hubungan suami-istri terlindungi dari pandangan anggota keluarga lain, juga sebagai pelindung dari gigitan nyamuk.
- Mengenai adanya para pengungsi yang hamil, kami melihat hal ini sangat manusiawi. Meskipun demikian, BKKBN tetap menganjurkan para keluarga pengungsi agar menunda kehamilannya sampai mereka memperoleh rumah yang layak huni. Dalam hal ini BKKBN memfasilitasi dengan menyediakan alat dan obat kontrasepsi secara cuma-cuma.
DRS IPIN HUSNI, MPA Kasubdit Humas BKKBN
Tempo dan Lia Eden
SEMUA pembaca Tempo Insya Allah paham bahwa salah satu persyaratan karya jurnalistik adalah berimbang, cover both sides. Bahkan dalam memuat kolom sekalipun. Apa yang terjadi pada edisi 9-15 Januari 2006, Tempo menurunkan tiga kolom sekaligus tentang Lia Eden dengan nada yang kurang-lebih seirama: Danarto, Ulil, dan GM dalam Catatan Pinggir.
Kalau dibilang Tempo sengaja, rasanya kecil kemungkinannya mengingat reputasi orang-orang Tempo yang sangat menghargai perbedaan pendapat dalam rangka pengkayaan wawasan mencari kebenaran. Yang jadi soal: dengan sengaja atau tidak menggiring opini pembaca kepada satu pendapat, sementara disadari atau tidak pembaca Tempo sangat beragam pendapatnya, menunjukkan sikap ambivalensi yang mencederai integritas Tempo sendiri. Saya yakin Tempo tidak kekurangan narasumber untuk menulis tema apa pun dari berbagai perspektif. Yang enak dibaca dan perlu kan sederhana: berikan pilihan, biarkan kami yang memilih sendiri.
Tapi, ngomong-ngomong Mas Danarto, Mas Ulil, dan Bung GM: bukankah Lia Eden sebetulnya tidak memerlukan bantuan apa pun dari kita sesama manusia yang lemah? Lha wong dia sudah dibantu atau menjelma menjadi Sang Jibril…. Kesimpulan saya yang awam: kalau memang benar Lia Eden adalah Sang Jibril, apa susahnya menyirep seluruh penjaga tahanan di Polda lalu berlenggang menuju Masjid Istiqlal kantor MUI menemui KH Makruf Amin terus tunjukkan mukjizat yang lebih seru daripada yang dimiliki nabi-nabi sebelumnya agar MUI semakin kebingungan? Ingat kisah Nabi Muhammad SAW menyirep para algojo kelompok Abu Jahal yang akan membunuh beliau.
Kalau Lia Eden bisa begitu, saya yakin pengikutnya semakin banyak. Dan bila sebaliknya, pasti terkena pasal penistaan agama.
HERY KUSTANTO Villa Melati Mas Blok SR 18, Tangerang
Bacalah 'Dialog dengan Jin Muslim'
SAYA tertarik menyimak ”kisah” Jaksa Agung Muda Hendarman, Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena pada suatu malam di kamar tidurnya ulat-ulat belatung sebesar korek api menari dan menggeliat di tangan dan tubuh Jaksa Agung Muda itu. Ulat belatung itu biasanya suka merubung bangkai manusia maupun binatang. Di atas plafon kamarnya, Hendarman melihat ribuan ulat belatung itu bergelayutan di atas kepalanya dan siap ”menetes” ke kasurnya.
Pagi harinya Hendarman memanggil para pengawalnya, memerintahkan memeriksa kamar tidur dan plafon di atasnya. Seorang pengawal naik ke atas plafon, kalau-kalau ada bangkai tikus yang memancing ulat belatung. Ternyata plafon kamar tidurnya bersih, bahkan plafon yang terbuat dari tripleks itu tak berlubang sedikit pun. Demikian ditulis Tempo dalam Santet: Tak Mengeluh Dihadang Teluh. Hendarman sadar, dia telah diteluh/disantet, yang sebelumnya juga pernah dialaminya.
Membaca laporan Tempo, 16 Januari 2006, menurut hemat saya, para jaksa, para hakim, para penegak hukum lainnya, bahkan para wartawan sekalipun yang gigih membongkar kasus korupsi dewasa ini, sebaiknya membaca buku tentang santet ini, yaitu buku Dialog dengan Jin Muslim yang ditulis oleh Muhammad Isa Dawud, seorang wartawan kawakan dari Mesir, yang juga seorang dai dan dipercaya sebagai direktur umum sebuah surat kabar harian di Saudi, Mekah al-Mukarramah. Dia pun anggota Persatuan Wartawan Mesir dan Organisasi Persuratkabaran Internasional (PIO).
Buku tersebut menguraikan dengan gamblang tentang alam jin, dunia jin yang tampak dan tersembunyi, tentang kehidupan jin: Bagaimana Jin dan Setan Hidup, Jenis-jenis Jin, Sihir, Tukang Sihir, dan Penyusupan Jin ke dalam Diri Manusia, dan bab terakhir: Perlindungan Diri dari Gangguan Jin dan Setan.
Saran untuk membaca buku ini bukan sebagai promosi terhadap buku tersebut, melainkan benar-benar perlu diketahui oleh masyarakat luas, apalagi oleh para aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, maupun para wartawan yang sedang getol membongkar kasus korupsi yang merajalela dewasa ini, karena para cukong tidak tanggung-tanggung mempergunakan jin/setan untuk menyantet korbannya.
H SLAMAT S.M. Bandar Lampung
Hati-hati Pengacara Gadungan
SEKITAR April 2005, saya berkenalan dengan orang yang mengaku pengacara di Polda Metro Jaya ketika saya sedang mengurus tanah saya yang diduduki oleh orang lain. Orang tersebut bernama P.L. Mangontan, SH, yang beralamat di Gedung Bangun Cipta Lt. VI Jalan Gatot Subroto 54, Jakarta Pusat. Dia menanyakan kasus saya dan setelah saya ceritakan dia pun menawarkan diri untuk membantu pengurusannya hingga selesai.
Karena saya percaya dan memang dalam keadaan bingung, saya senang ada orang yang mau membantu dan menjanjikan bahwa tanah tersebut akan saya peroleh kembali. Saya terima tawarannya untuk datang ke rumah saya membicarakan kasus saya dan melihat dokumen-dokumen yang saya miliki.
Dia kemudian datang dan meyakinkan saya bahwa kasus saya berat sekali dan berjanji mengurusnya hingga tanah tersebut dapat saya peroleh kembali dengan jangka waktu 6 bulan. Karena saya yakin sekali, saya bersedia menyerahkan sejumlah uang untuk biaya pengurusannya.
Dia kemudian datang lagi berkali-kali ke rumah saya melaporkan perkembangan pengurusannya dan setiap kali datang, karena dia sangat meyakinkan, saya selalu memberi tambahan uang yang dimintanya sehingga mencapai Rp 50 juta.
Kemudian, setelah hampir enam bulan, dia tidak muncul lagi. Saya mencoba menelepon ke nomor telepon genggam yang diberikannya dan sejak itu nomor telepon genggam tersebut tidak dapat dihubungi lagi, padahal selama ini selalu aktif dan kami selalu berhubungan via nomor telepon genggam tersebut. Merasa penasaran, saya ke kantornya dan alangkah kagetnya sewaktu saya mendapat jawaban bahwa mereka tidak kenal dan tidak pernah ada kantor pengacara di sana.
Merasa tertipu dan tidak berdaya, akhirnya saya memutuskan melaporkan orang tersebut ke Polres Metro Jakarta Pusat atas saran dari teman-teman saya. Ternyata, dari keterangan petugas di Polres Metro Jakarta Pusat, orang tersebut adalah buron polisi/Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat karena tindak pidana lain dan telah masuk DPO (daftar pencarian orang) dan bukan seorang pengacara. Saya hampir pingsan mendengarnya dan dinasihati agar lebih hati-hati terhadap penipuan dan, bila orang tersebut tertangkap, saya akan diberi tahu.
Saya mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap orang ini yang ternyata penipu ulung. Ciri-ciri orang ini adalah berwarna kulit gelap, agak tinggi, rambut agak ikal, dan bermata juling. Dan sesuai dengan anjuran petugas di Polres Jakarta Pusat, diimbau masyarakat yang mengenal orang ini agar dapat melaporkan keberadaannya ke Polres Jakarta Pusat.
MARINA Jalan Cempaka Baru RT/RW: 013/02 Jakarta Pusat
Bahaya Formalin Dilebih-lebihkan
SEKARANG ini baik konsumen maupun nelayan dan pengusaha kecil seperti penjual bakso, tahu, dan mi basah menderita akibat merebaknya isu bahaya formalin. Para pakar yang memberi informasi kepada masyarakat justru membuat konsumen lebih resah karena khawatir bahwa makanan yang mungkin pernah mereka makan dan mengandung formalin itu dalam jangka panjang akan menimbulkan penyakit yang serius.
Para pakar itu memberi informasi bahaya formalin yang murni dalam substansi sesuai dengan textbook, padahal yang dihadapi masyarakat sekarang adalah dampak makanan yang diawetkan dengan formalin.
Menurut pendapat saya, kalau makanan yang berformalin itu dicuci dengan baik dan benar sebelum dimasak, formalin yang menempel pada makanan itu sudah bukan formalin lagi. Zat yang baru terbentuk itu sudah berupa senyawa resin yang tidak larut dalam air dan tidak bisa dicerna oleh badan manusia. Senyawa kimia itu akan keluar dari badan bersama kotoran/feses.
Sekarang banyak dilakukan penyitaan ikan, ikan asin, bakso, dan tahu karena dianggap berbahaya, padahal peraturan pemerintah sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan itu belum diundangkan. Pasal 12 juncto Pasal 10 dan Pasal 11 undang-undang itu secara eksplisit akan menetapkan bahan apa yang diizinkan dan bahan apa yang dilarang untuk ditambahkan pada makanan. Sebagai konsekuensi dari belum keluarnya PP tersebut, pengusaha yang mengawetkan bahan pangan dengan formalin itu tidak bisa dituduh ”menyalahgunakan formalin” melainkan ”menggunakan formalin secara salah”.
Untuk meyakinkan konsumen bahwa bahan pangan itu tidak berformalin, saya anjurkan agar para mahasiswa farmasi turun ke lapangan untuk memberi demonstrasi bagaimana caranya mendeteksi ada-tidaknya formalin.
Ada sementara orang yang menyebutkan negeri kita ”negeri formalin”. Perlu kita catat bahwa di Amerika setengah abad yang lalu formalin pernah disalahgunakan untuk mengawetkan susu sapi.
DRS SUNARTO P Jalan Patiunus No. 8, Jakarta
Waspadai Ambisi Malaysia
SABTU, 14 Januari 2006, kita dikejutkan dengan berita bahwa Malaysia menyerobot lagi satu pulau milik Indonesia dan mengusir pejabat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dari Pulau Gosong. Padahal, pada 12-13 Januari 2006 di Bukittinggi, berlangsung pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi yang menghasilkan kesepakatan yang salah satunya mengenai pengelolaan bersama wilayah-wilayah perbatasan demi kemakmuran kedua negara.
Pemerintah harus mengambil sikap atas peristiwa ini. Jangan mau terjebak oleh kelicikan Malaysia ataupun patuh terhadap butir-butir kesepakatan yang sebenarnya hanya ”manis” untuk Malaysia tapi ”pahit” untuk rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia jangan lagi mau dipecundangi ataupun didorong untuk melakukan perundingan dan pengelolaan bersama atas setiap wilayah yang diklaim Malaysia.
Terlalu naif kalau kesepakatan yang membodohi pihak Indonesia itu dilakukan. Kita yang punya pulau, tapi kita pula yang mengajak berunding untuk mengelolanya secara bersama. Sama sekali tidak masuk nalar kalau keinginan gila itu menjadi acuan dalam perundingan dengan Malaysia.
Setelah berhasil mengajak Indonesia berunding soal Blok Ambalat, kini Malaysia mencoba kembali untuk Pulau Gosong, yang memiliki luas 1.410 mil persegi dengan kedalaman kaki 8-10 meter. Padahal pulau itu milik Indonesia, dan Malaysia nyata-nyata telah mengingkari peta terbitan 1905, Westkust Kalimantan, Blad I, Hoek Datoe Bajong (Nabij Sambas River) Met Zuid Natoena Ellanden. Di dalam peta berskala 1 : 200 ribu itu, Pulau Gosong terlihat jelas berbentuk titik besar yang menjadi bagian wilayah Indonesia.
Kalau diyakini Pulau Gosong itu milik Indonesia, jangan mau melakukan kompromi, perundingan, dan semacamnya dengan Malaysia. Cukup lepasnya Sipadan dan Ligitan menjadi pengalaman berharga akibat lemahnya diplomasi Indonesia dan lebih kuatnya dukungan politik negara-negara Persemakmuran terhadap Malaysia.
Jadi, ke depan, kita harus waspada terhadap ambisi teritorial Malaysia yang ingin memperluas wilayahnya dengan menyerobot pulau-pulau Indonesia yang tidak terurus dan tidak berpenghuni.
JAMALUDDIN ABUBAKAR Jalan Pengadegan Timur 3, Jakarta
Pemberdayaan Kurban
ADA kejadian yang luar biasa saat pembagian daging kurban di Masjid Istiqlal, Jakarta. Penerima daging kurban yang notabene kaum miskin berdesak-desakan dan tak sedikit yang pingsan hanya untuk mendapat daging kurban. Tak jarang mereka menjualnya kembali hanya untuk mendapatkan uang guna mencukupi kebutuhan sehari-hari di tengah impitan ekonomi yang sulit.
Dari kejadian di atas, sebaiknya dipikirkan kembali konsep kurban. Saya kira substansi dari ibadah kurban untuk meningkatkan rasa solidaritas sesama manusia. Di situlah semangat untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan.
Maka, perlu pemberdayaan kurban dengan mendata penerima kurban, apakah tahun ini masih minta daging lagi. Jika masih minta, jangan diberi, tapi berikan kambing untuk diternakkan. Lalu diawasi dan diminta agar tahun depan berkurban. Jika pemberdayaan kurban ini berjalan, kejadian berdesak-desakan hanya untuk mendapatkan daging kurban tak terulang kembali.
ACHSIN EL-QUDSY Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo