Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Pusat Bahasa
PADA rubrik surat pembaca Tempo (edisi 17-23 Oktober 2005), Sdr. Bachrul Hakim mengeluhkan terjadinya ketidakkonsistenan dalam pembentukan kata yang dasarnya berupa kata bersuku tunggal. Sehubungan dengan itu, kami menanggapi sebagai berikut.
Hingga saat ini memang masih terjadi ketidakkonsistenan dalam penulisan bentukan kata yang dasarnya berupa kata bersuku tunggal. Namun, hal itu bukan disebabkan oleh kaidahnya yang tidak konsisten, melainkan disebabkan oleh pengguna bahasa yang kurang saksama dalam memahami dan menerapkan kaidah.
Seperti yang tertera dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (1993:120), awalan meng- atau yang lazim disebut awalan me- akan berubah menjadi menge- jika ditambahkan pada kata dasar yang bersuku tunggal, seperti blok, bom, bor, cek, pak, rem, cat, tes, pel, dan sah.
Dengan demikian, kata-kata yang bersuku tunggal itu jika ditambah awalan me- bentukannya menjadi mengeblok, mengebom, mengebor, mengecek, mengepak, mengerem, mengecat, mengetes, mengepel, dan mengerem.
Demikian pula halnya jika kata-kata bersuku tunggal itu ditambah dengan awalan peng- atau yang lazim disebut awalan pe-. Munculnya tambahan bunyi [e] pada bentukan kata itu awalnya adalah untuk memperlancar pengucapan, tetapi kemudian ditambahkan pada kaidah sehingga menjadi bagian dari kaidah pembentukan kata.
Berbeda dengan itu, awalan di- tidak mengalami perubahan apa pun jika ditambahkan pada kata dasar yang bersuku tunggal. Dengan demikian, jika kata-kata bersuku tunggal tersebut ditambah dengan awalan di-, bentukannya menjadi diblok, dibom, dibor, dicek, dipak, direm, dicat, dites, dipel, dan disah(kan), bukan dieblok, diebom, diebor, diecek, diepak, dierem, diecat, dietes, dan diesah(kan).
Sementara itu, kata blokir dan ricek bukan merupakan kata yang bersuku tunggal, melainkan kata yang terdiri atas dua suku kata. Oleh karena itu, kedua kata tersebut tidak terkena kaidah pembentukan kata yang dasarnya bersuku tunggal.
Dengan demikian, persoalannya bukan karena kata-kata tersebut berasal dari bahasa asing, meskipun tidak dapat diingkari bahwa kata-kata bersuku tunggal itu umumnya memang berasal dari bahasa asing, bukan kosakata asli bahasa Indonesia. Seperti kita ketahui, kosakata asli bahasa Indonesia umumnya terdiri atas dua suku kata.
Hal lain yang perlu menjadi bahan kajian adalah kata-kata bersuku tunggal yang huruf awalnya berupa gugus konsonan, seperti [st/sk] pada kata stop, stok, dan skors. Kata-kata seperti itu sampai dengan saat ini jumlahnya masih sangat terbatas sehingga belum memungkinkan ditarik kaidah. Apakah (jika mendapat awalan me-) kata-kata itu semacam itu layak diperlakukan sama seperti halnya kata bersuku tunggal lain yang huruf awalnya bukan gugus konsonan, ataukah diperlakukan berbeda, seperti yang saat ini digunakan, yakni dibentuk menjadi menstop, menstok, menskors, kita lihat perkembangannya.
MUSTAKIM Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa, Depdiknas
Jusuf Kalla CEO Republik?
TEMPO edisi 24-30 Oktober 2005 halaman 58 berjudul Gerak Trengginas Sang CEO. Istilah CEO digunakan oleh Aksa Mahmud bagi JK, sedangkan SBY disebutkan sebagai chairmannya.
Menurut hemat saya pelabelan CEO untuk JK dan chairman untuk SBY tidaklah tepat. CEO Republik Indonesia adalah SBY. Memang tidak dapat disangkal JK bukanlah wakil presiden ban serep. Tepat sekali istilah trengginas yang digunakan oleh redaktur Tempo untuk melukiskan kegesitan JK sebagai anggota top management team Republik kita. Setahu kita belum pernah ada seorang wapres segesit JK.
Meski demikian, menobatkannya sebagai CEO Republik tidaklah tepat sama sekali. Mengingat kegesitan sang Wapres, mungkin istilah yang lebih tepat untuk wapres kita adalah COO (chief operating officer). Nanti, kalau beliau menjadi presiden, baru tepat istilah CEO untuk JK. Sekarang belum.
Para penasihat JK hendaknya lebih cermat dalam menggunakan istilah. Kalau tidak, tidak dapat dihindari kesan judul sampul Tempo ”SBY-JK: duet atau Duel”.
Semoga kita semua lebih arif dalam bersama-sama memanage NKRI yang kelihatan makin fragile.
DR HADI SATYAGRAHA Petamburan, Jakarta
Eksekusi Pengebom Bali, untuk Siapa?
Di DALAM majalah dan surat kabar, beberapa kalangan tampaknya menyudutkan Bali dalam hal eksekusi pengebom Bali I. Saya akui perekonomian Bali terpuruk karena bom. Banyak pekerja wisata menganggur dan memang kami sangat mengecam pengebom itu. Rakyat Bali percaya terhadap hukum karma phala. Jadi kalaupun pengebom itu dibawa ke tempat lain, kami percaya Tuhan akan memberi hukuman kepada orang-orang yang bersalah.
Akan tetapi, mengapa di antara keterpurukan dan pengecaman itu justru pemerintah dan orang-orang kalangan atas menganggap bahwa Bali saja yang berkepentingan terhadap eksekusi itu? Bukankah kalau demikian, Bali hanya seperti cicing berung?
Wahai rakyat Bali yang sederhana, bukalah hati dan kebijaksanaan kita. Serahkan segalanya kepada hukum yang berlaku, termasuk hukum karma phala Tuhan.
LUH ARIK SARIADI Tukadmungga, Buleleng – Bali
Tunjangan DPR
TUNJANGAN anggota DPR yang dinaikkan Rp 10 juta di tengah-tengah situasi sulit perekonomian dan kesusahan orang ramai adalah suatu pelecehan terhadap akal sehat masyarakat banyak. Entah komentar apa lagi yang pantas dialamatkan kepada mereka yang berusaha bersenang-senang di atas kesusahan orang lain—sampai ada yang pingsan dan meninggal gara-gara antre untuk mendapatkan dana kompensasi BBM yang Rp 100 ribu per bulan itu.
Barangkali memang ada benarnya lirik lagu Iwan Fals dalam album Manusia Setengah Dewa yang berjudul Asyik Nggak Asyik. Dunia politik, kata Iwan, memang dunia penuh intrik, colong sana colong sini atau colong-colongan, dan cubit sana cubit sini. Rakyat pun jadi suporter, kasih semangat jagoannya, walau tahu jagoannya ngibul, walau tahu dapur tak ngebul. Dunia politik, dunia bintang, dunia pesta-pora, para binatang berjoget dengan asyik.
Pada titik inilah sindiran lirik lagu Iwan Fals yang sering menyuarakan aspirasi rakyat bawah terasa relevan untuk kita dengar. Ini akan jadi pertimbangan ketika kita akan mengambil keputusan pada Pemilu 2009, yakni tidak memilih wakil rakyat yang terbukti punya track record buruk dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Lagaknya saja mereka itu bermoral. Empati dan simpati tidak mereka tunjukkan ketika kita sedang dalam kesusahan.
MOCH. SOLEH Ciomas, Kreteg, Bogor
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
PEMERINTAH mencatat, hingga 24 Oktober 2005 pukul 12.39 WIB, sebanyak Rp 2,3 triliun dana bantuan langsung tunai (BLT) telah disalurkan kepada 7.733.943 keluarga miskin dari total target sekitar 15,4 juta keluarga miskin.
Di sejumlah daerah, kericuhan dan aksi protes mewarnai penyaluran dan tidak sedikit perangkat desa terlibat dalam penyimpangan ataupun pemalsuan surat keterangan diri. Semua itu kemudian memunculkan kecurigaan yang berakhir pada pertengkaran dan perkelahian antara masyarakat dan perangkat desa atau petugas pendata. Bahkan ada tindakan anarkistis terhadap ketua rukun tetangga, yang harus tewas di tangan warganya sendiri.
Pemerintah harus mengambil langkah cepat atau kebijakan yang tepat agar ketimpangan ataupun dampak negatif yang ditimbulkan tidak berlanjut. Terus terang, pola BLT sangat tidak mendidik masyarakat untuk mandiri. Sebaliknya, pola ini mengajari masyarakat menjadi peminta. Selain itu, tindakan hukum terhadap pelaku penyimpangan bukan solusi untuk menekan penyimpangan yang terjadi. Yang ada itu justru akan menambah beban pekerjaan institusi peradilan.
Jadi, saya nilai tepat jika pemerintah punya ide baru dalam penyaluran, yaitu dilakukan dalam bentuk kegiatan yang bersifat pemberdayaan, yakni pemberian modal buat usaha kecil dan menengah untuk pengembangan usaha. Orang bijak sering mengatakan, akan lebih tepat memberikan kail ketimbang memberikan ikan, agar orang berusaha mencari ikan dengan kailnya.
YUDIMAN SYARIFUDDIN Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Dana Kompensasi (1)
DANA kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak Rp 100 ribu per bulan sudah mengambil korban jiwa dan menimbulkan setumpuk masalah baru. Tumpukan masalah itu antara lain dugaan penyelewengan distribusi dana bantuan dan keresahan sosial dari warga yang merasa berhak mendapat bantuan tapi tidak masuk daftar pemerintah.
Belum lagi masalah yang melanda rakyat hampir miskin. Kehidupan mereka menjadi semakin sulit karena dampak kenaikan harga BBM yang dua kali lipat. Mereka tidak berhak mendapat bantuan dan mereka rentan jatuh ke kategori rakyat miskin.
Pemberian bantuan ini secara tidak langsung memperlihatkan, pemerintah menyampaikan pesan bahwa rakyat miskin di Indonesia hanya bisa meminta belas kasihan. Mereka bisa dihidupi dengan Rp 100 ribu per bulan.
Apakah ide ”memberi kail” seperti memberi pelatihan usaha dan modal tanpa bunga, atau pupuk murah untuk petani, dianggap kurang baik? Apakah pepatah ”jangan memberi ikan, tapi berilah kail saat membantu orang” sudah perlu direvisi saat ini?
ANDOKO DARTA Jakarta Timur
Dana Kompensasi (2)
SECARA umum boleh kita katakan bahwa penyaluran dana program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan relatif terkendali. Tidak banyak masalah yang terjadi. Artinya, sudah diterima dan dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar keluarga miskin. Berbeda dengan program itu, penyaluran yang dilakukan melalui bantuan langsung tunai (BLT) ternyata menyimpan sejuta permasalahan.
Dalam kaitan itu, saya ingin memberikan solusi yang kiranya dapat berguna, terutama bagi pengambil kebijakan. Pertama, perlu ditingkatkan kerja sama di antara instansi terkait, bukan sebaliknya, saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan. Hal ini penting agar semua permasalahan yang berpotensi mengancam dan mengganggu suksesnya pelaksanaan PKPS-BBM dapat segera diminimalisasi.
Kedua, untuk mengatasi keterbatasan dana operasional staf di lapangan, dan mengantisipasi efektivitas dan efisiensi pencairan dana BLT oleh masyarakat miskin di wilayah pedalaman, diharapkan adanya kontribusi APBD untuk membiayai petugas penyalur langsung mendatangi masyarakat di pedalaman.
Ketiga, untuk meningkatkan sumber daya manusia dan meminimalisasi terjadinya penyimpangan, terutama masyarakat desa yang mengelola dana infrastruktur, diperlukan pelatihan (transfer teknologi serta pengetahuan teknis dan administrasi).
Keempat, perlu adanya sanksi hukum yang tegas terhadap pihak yang terbukti melakukan penyimpangan data, penggelapan, dan penyalahgunaan dana PKPS-BBM. Kelima, perlu segera dibentuk posko-posko pengaduan dan pengawasan, agar implementasi PKPS-BBM dapat tercapai secara tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat jumlah.
Selain masih banyak permasalahan dalam implementasinya, sikap pro-kontra masih mewarnai program ini. Namun, yang jelas dan pasti sekarang ini sebagian besar keluarga miskin sudah dapat menikmati sekolah dan kesehatan gratis serta perbaikan dan pembangunan infrastruktur pedesaan untuk lingkungannya. Artinya, program tersebut sudah dapat meringankan beban keluarga miskin.
YUNITA SUBARDONO Jalan KH Zainul Arifin B1/20B Jakarta 11140
Forum Papua tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP)
SEHUBUNGAN dengan perkembangan yang berlangsung di Papua akhir-akhir ini, kami atas nama Forum Papua ingin menyampaikan beberapa pertimbangan kebijakan berkenaan dengan proses pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang saat ini tengah dilangsungkan. Pertimbangan-pertimbangan ini didasarkan pada observasi kami di lapangan beberapa waktu yang lalu saat proses pemilihan keanggotaan MRP berlangsung.
Pertama, terlihat adanya kesungguhan dan niat baik dari masyarakat Papua untuk mendukung proses pembentukan MRP secara lancar, aman, dan damai. Dalam kesan kami, masyarakat Papua tampak meyakini bahwa MRP merupakan tempat di mana representasi dari kelompok-kelompok dan gagasan-gagasan tentang Papua dapat dibicarakan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, proses ini perlu mendapat apresiasi dan dukungan dari semua pihak. Pemerintah, khususnya, mempunyai peran untuk memfasilitasi proses ini dengan seksama dan memadai.
Kedua, diakui bahwa terdapat kendala-kendala dalam melancarkan proses pembentukan MRP ini. Salah satu dari kendala itu adalah komunikasi dan transportasi. Kasus yang terjadi dengan terlambatnya proses pemilihan di distrik Kaimana, Fakfak, misalnya, disebabkan, terutama, oleh tidak tersedianya sarana transportasi yang memadai. Oleh karena itu, Forum Papua menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan fasilitas yang memadai dalam mengatasi kendala-kendala (teknis tetapi penting) semacam ini.
Ketiga, dengan berbagai kendala itu, mungkin sekali proses pembentukan MRP tidak akan dapat memenuhi jadwal yang telah ditetapkan (oleh pemerintah). Tetapi, mengingat dan mempertimbangkan bahwa proses ini telah diterima masyarakat Papua sebagai proses yang wajar dan alami sesuai dengan keinginan masyarakat, akan terlalu sayang jika proses ini pada akhirnya gagal dan akhirnya gagal dan hasilnya ditolak masyarakat hanya karena harus memenuhi tenggat dari jadwal waktu yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, kami ingin menyarankan agar pemerintah dapat dan bersedia memberi toleransi waktu bagi proses pembentukan MRP yang diterima dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Keempat, pertimbangan nomor ketiga di atas juga menjadi penting bagi bukan saja pemerintah pusat tetapi juga masyarakat internasional. Bagi pemerintah pusat, dengan memberikan toleransi waktu untuk penyelesaian proses pembentukan MRP secara wajar dan alami, akan membuktikan bahwa pemerintah memberi kepercayaan penuh kepada masyarakat Papua untuk melangsungkan proses itu sendiri.
Kepercayaan seperti ini dengan sendirinya akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada kesungguhan pemerintah pusat mendukung proses itu. Dengan begitu, kesalingpercayaan akan tumbuh di antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua. Bagi masyarakat internasional, proses pembentukan MRP yang wajar dan alami sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua akan menghentikan niat dan kepentingan mereka mencampuri usaha-usaha penyelesaian masalah Papua. Dan, ini juga berarti menumbuhkan kepercayaan masyarakat internasional atas kesungguhan pemerintah pusat dalam memberikan fasilitas dan mendukung proses-proses penyelesaian masalah Papua secara adil dan damai.
ALBERT HASIBUAN Ketua Forum Papua
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo