Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan PT Coca-Cola Indonesia
HALAMAN sampul muka Tempo edisi 1-7 Agustus 2005 (judul sampul: TEROR! Kapan Saja Di Mana Saja) memuat ilustrasi yang sangat mirip kontur botol Coca-Cola yang diisi ”dinamit” dan seolah siap meledak--meskipun tidak tertulis merek di dalamnya. Gambar ini ditampilkan juga di halaman 23 (rubrik Opini).
Kami menerima banyak pertanyaan dan komentar dari pelanggan maupun konsumen kami mengenai penggunaan ilustrasi kontur botol Coca-Cola pada Tempo di edisi 1-7 Agustus 2005, yang pada intinya menanyakan mengapa Tempo harus menggunakan ilustrasi yang sangat mengingatkan akan merek dan produk Coca-Cola untuk menggambarkan bahwa teror itu bisa terjadi di mana pun dan kapan pun.
Kami menghargai kebebasan berkreasi, namun penggunaan ilustrasi kontur botol Coca-Cola itu berpotensi menimbulkan interpretasi yang negatif terhadap image produk kami. Karena itu, kami merasa keberatan atas penggunaan ilustrasi kontur botol ”Coca-Cola” dalam Tempo edisi 1-7 Agustus 2005.
Kami percaya, sebagai majalah yang terkemuka dan mempunyai reputasi yang baik dalam dunia jurnalistik, majalah Tempo akan menyikapi keberatan ini dengan bijaksana.
ARIF MUJAHIDIN Media Relations Manager PT Coca-Cola Indonesia Jakarta
—Terima kasih atas masukan Anda. Kami mohon maaf jika karya tersebut bisa menimbulkan image negatif pada sebagian masyarakat. Pada dasarnya, kami tidak mempunyai pretensi buruk terhadap produk perusahaan Anda dalam proses pembuatan karya sampul muka tersebut. Kami sekedar menggunakannya sebagai ikon globalisasi dan modernisasi yang sukses, seperti pernah digunakan pelukis terkenal Andy Warhol.—Red.
Amidhan Soal Ahmadiyah
”SEKARANG tugas pemerintah segera membubarkan aliran yang sesat itu,” ujar Amidhan. Demikian tercetak pada halaman 36, Tempo edisi 25-31 Juli 2005, di bawah judul Simalakama Ahmadiyah. Saya sama sekali tidak mengucapkan kata-kata itu. Saya baru saja tahu dan membacanya.
Saya tidak senang dan protes atas wartawan yang suka memelintir dan memformulasi kalimat orang lain menurut pendapatnya sendiri. Masalah agama dan aliran sangat sensitif. Mungkin wartawannya waktu itu Sdr. Setiyardi. Saya sudah lupa. Padahal, ketika itu saya hanya menjelaskan tentang fatwa MUI yang dikeluarkan pada Munas II MUI, 25 Mei-1 Juni 1980. Pada butir ke-2 fatwa tersebut, dinyatakan bahwa dalam menghadapi Ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama Indonesia selalu berhubungan dengan pemerintah. Menurut fatwa yang ditandatangani oleh Ketua Umum Prof Buya Hamka, Sekretaris Umum Drs H Kafrawi Ridwan MA, dan Ketua Dewan Pertimbangan Alamsyah Ratu Prawiranegara tersebut, eksekusinya, dilarang atau tidaknya diserahkan kepada pemerintah. MUI hanya mensosialisasi kepada umatnya untuk tidak masuk ke aliran Ahmadiyah Qadiany, dan mereka yang sudah telanjur agar kembali kepada ajaran yang benar.
Yang penting, sekarang pemerintah mencegah tindak kekerasan karena MUI juga sama sekali tidak mentoleransi adanya tindakan kekerasan itu. Demikian penjelasan saya kepada banyak wartawan, termasuk wartawan Tempo.
MIDHAN Ketua MUI
—Terima kasih atas penjelasannya. Kutipan itu kami peroleh dari penjelasan Anda. Dalam wawancara, Anda juga mengatakan fatwa MUI menegaskan bahwa MUI akan ”berhubungan” dengan pemerintah dalam soal Ahmadiyah. Ini pula yang menyebabkan kewenangan untuk membubarkan aliran Ahmadiyah berada di bawah otoritas pemerintah, bukan MUI. —Red
Komentar PLN atas Investigasi Tempo
MANAJEMEN PLN mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan atas kepedulian Tempo memberikan kontrol publik dalam pengelolaan BUMN, khususnya PLN, yang pada saat ini ingin menjadi perusahaan yang lebih transparan. Namun, diharapkan bahwa pemberitaan yang ada dapat dijelaskan sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mempersepsikan obyek pemberitaan secara jernih, obyektif, dan menyeluruh.
Dalam pemberitaan Tempo edisi 25-31 Juli 2005, pada rubrik Investigasi, yang mengupas masalah pekerjaan aplikasi CISRISI yang dilaksanakan oleh PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang, kami ingin menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Kami prihatin bahwa dokumen setebal 63 halaman berupa intisari hasil pemeriksaan Satuan Pengawas Internal (SPI) PLN yang dirujuk pada pemberitaan tersebut adalah Dokumen Kerja Perusahaan, yang bersifat ”rahasia” dan dipergunakan dalam hubungan internal, yang seyogianya dapat diperlakukan sesuai dengan klasifikasinya.
- Perlu diketahui pula bahwa SPI adalah organ perusahaan yang dibentuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan di dalam pelaksanaan kebijakan-kebijakan manajemen dan bertindak berdasarkan instruksi manajemen. Pada saat ini, peran SPI tersebut lebih digalakkan lagi sesuai dengan implementasi good corporate governance di PLN.
- Temuan-temuan pada dokumen tersebut, yang merupakan hasil kerja keras, jujur, dan komprehensif, adalah masukan kepada Manajemen Atas untuk digunakan sebagai referensi dalam memberikan arah perbaikan atau mengeliminasi kinerja negatif. Ruang gerak dokumen tersebut hanya pada tataran Manajemen Atas PLN.
- Kalau dokumen yang kami maksudkan itu berada di tangan pihak yang tidak berhak, PLN akan melakukan langkah-langkah internal untuk menghindari hal tersebut terjadi lagi karena kami percaya bahwa derajat dan kualifikasi dokumen tersebut adalah rahasia, sehingga keberadaan dokumen tersebut di luar tataran Manajemen Atas kami anggap merupakan suatu kejadian di luar prosedur baku kami dalam mengelola dokumen sebagaimana mestinya.
Demikian kami sampaikan sebagai informasi, dan atas kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
HARRY JAYA PAHLAWAN PH Sekretaris Perusahaan PT PLN (Persero), Jakarta
—Terima kasih atas penjelasan Anda. Kami menghargai keterbukaan direksi PLN terhadap kontrol dari masyarakat.—Red
Kenaikan Tarif Jalan Tol
HAMPIR di seluruh ruas jalan bebas hambatan yang ada saat ini, kecuali investasi jalan tol yang baru, banyak terdapat hambatan alias macet terus. Uang yang dikeluarkan oleh pengguna jalan tol tidak sesuai dengan pelayanan yang diberikan. Alasan kenaikan, di antaranya, adanya kenaikan biaya pemeliharaan dan sudah dua tahun belum ada kenaikan/penyesuaian dengan inflasi.
Seandainya frekuensi pengguna jalan tol tidak sebesar sekarang, jalan tol tidak akan macet (misal, 50 persen saja). Pertanyaannya, apakah biaya pemeliharaannya menjadi cukup dan tidak perlu adanya kenaikan kecuali penyesuaian inflasi saja, dan pengguna jalan tol tidak dipusingkan dengan kemacetan, atau, sebaliknya, pengelola tol malah akan menaikkan tarif tol jauh lebih besar dari sekarang mengingat pemasukan berkurang?
Bukankah pengelola jalan tol secara bisnis sebetulnya ingin menaikkan tarif jalan tol setinggi mungkin, mengingat permintaan yang begitu tinggi dan pengguna jalan tol tidak punya pilihan lain?
ISMET Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo