Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Berkomik Di Jalur Digital

Era digital membuka peluang bagi komikus Indonesia masuk ke industri komik dunia.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Doni Kurniawan Hadiwijaya, ilustrator komik yang kini tinggal di Jakarta, biasa menerima order pekerjaan dari institusi atau perorangan di pelbagai belahan dunia. Pria 30 tahun ini tidak terlalu mau tahu, siapa nama agen yang tinggal di Hong Kong yang terakhir memberinya order. Yang lebih dia perhatikan adalah spesifikasi kerja yang ditawarkan kepadanya, tenggat dan sistem pembayarannya. Cara kerja seperti itu sudah dilakukannya dalam dua tahun belakangan ini. Dan Doni mengaku tetap nyaman dengan cara bisnis seperti ini.

Sejak akrab dengan Internet, Doni memajang gambar-gambar komik karyanya di pasar virtual. Hingga pertengahan 2003, seseorang dari Hong Kong memintanya menggambar untuk komik empat seri, Black Eyed Susan. Dari komik yang bercerita tentang pengalaman Susan di Planet Mars itulah gambar Doni mulai dikenal pasar komik global.

Rezeki berikutnya datang tak lama kemudian. Pada akhir 2003, Doni mendapat pesanan membuat komik Teksarkana, sebuah novel grafis terbitan Mad Press, Amerika Serikat. Komik sekitar 150-an halaman itu bertutur tentang situasi AS di masa mendatang, yang dibagi menjadi tiga daerah dan dikuasai oleh etnis yang berbeda. Komik tadi cukup dikenal di Indonesia, khususnya bagi pencinta komik modern. Dan kini ia sedang mengerjakan seri berikutnya, Teksarkana II.

Doni bukan satu-satunya yang mendapat rezeki melalui jalur maya. Djoko Santiko, 23 tahun, kini juga sedang mengerjakan pesanan mewarnai komik Dragonlance yang diterbitkan Devils Due Production, Amerika Serikat. Pekerjaan mewarnai komik sembilan seri yang ceritanya bergaya The Lord of the Rings itu didapatkan melalui ajang pameran virtual karya seni, www.deviantart.com. Modusnya mirip dengan Doni, yaitu ada seorang agen yang melirik karya Sani—demikian Djoko biasa dipanggil—lalu dibuatlah semacam kontrak kerja.

Dia, Sani tadi, membocorkan keberhasilannya itu kepada temannya, Arif Prianto. Laki-laki 26 tahun yang biasa dipanggil Ayip ini pun kemudian mengikuti jejak bisnis Sani. Dengan menampilkan karya-karya di deviantart.com pada awal 2005, artinya Ayip telah menyatakan siap masuk ke pusaran pasar virtual. Dan nyatanya dia langsung mendapat beberapa pesanan mewarnai secara berkala hingga saat ini.

Mulanya dia bekerja untuk penerbit komik Meksiko. Lalu Law Dog Comics, penerbit komik AS, memintanya mewarnai komik King Arthur. Sekarang, pewarna komik Dua Warna ini sedang mengerjakan proyek penerbit AS untuk empat seri komik, The Burning Man.

Doni, Sani, dan Ayip merupakan contoh ilustrator komik yang mulai mencicipi madu kemudahan digital. Gambar Doni bisa dibayar US$ 10-15 per lembar (Rp 100 ribu-150 ribu). Sedangkan pewarnaan Sani dan Ayip bisa dibayar US$ 30-90 per lembar. Jadi, bisa dihitung dengan gampang pendapatan mereka, dari berapa lembar komik dan berapa seri yang mereka kerjakan. Masih ditambah lagi dengan bayaran hak cipta. "Saya rasanya bisa hidup dari komik," kata Doni mantap.

Berkat perangkat digital, perubahan besar telah terjadi di dunia komik Indonesia sejak masa 1970-an, ketika R.A. Kosasih, Wid N.S., dan Jan Mintaraga berjaya. Kini adalah zamannya membuat komik dengan komputer pribadi, perangkat lunak, pemindai canggih.

Tapi, apakah itu akan mengubur kuas, tinta Cina, pensil, dan proses manual lainnya? Itu yang akan dicoba dijawab dalam "Pekan Komik dan Animasi Nasional Ke-5" bertema Digital Freedom di Bandung minggu ini.

Bina Bektiati


Dari Tinta Cina Ke Tinta Maya

Perkembangan teknologi cetak komik berjalan seiring dengan teknologi cetak dan komputer pribadi. Industri komik yang awalnya dikerjakan menggunakan kuas, kini umum ditemui dikerjakan dengan celurut.

Sebelum 1970 Komik-komik Indonesia mulai dikenal sejak 1930 ketika pemerintahan Hindia Belanda mulai menerbitkan koran. Komik berkembang dan sangat dipengaruhi kondisi politik Indonesia.

1970-an Dalam dekade ini lompatan teknologi komputer mempengaruhi teknologi cetak yang kemudian berkembang menjadi proses desktop publishing. Mesin-mesin cetak offset juga berkembang pesat. Komik-komik berwarna bermunculan.

Pada masa ini komik Indonesia lama mencapai puncaknya. Cerita-cerita silat dan roman remaja berkembang luas. Nama-nama seperti R.A. Kosasih, Wid N.S., dan Jan Mintaraga menjadi ikon komik.

1980-an Pada 1980 komik yang dikerjakan dengan proses digital mulai dikenal luas. Proses digital dimulai dengan memindai komik, kemudian diolah dalam komputer. Proses ini termasuk lettering dan coloring.

Dominasi komik asing di Indonesia dimulai. Komik-komik impor terjemahan macam Tintin, Asterix, dan Kungfu Boy, serta Tiger Wong masuk pasar Indonesia.

1990-an Desktop publishing menjamur, akibat harga komputer pribadi kian murah. Proses pewarnaan yang sebelumnya dikerjakan dengan cara konvensional mulai dikerjakan dengan proses digital. Bahkan pada akhir 1990-an proses penintaan yang biasanya dilakukan dengan kuas telah dapat disimulasikan dalam komputer dengan menggunakan stylus pen.

2000-an Berkembangnya teknologi internet di akhir 1990-an membuat distribusi secara digital berkembang pesat. Cetak jarak jauh bukan merupakan barang mewah lagi. Komik-komik pun didistribusikan secara digital.

Komik digital yang diciptakan langsung menggunakan perangkat lunak komputer, berkembang. Yang menambahkan teknologi multimedia pun mulai bermunculan. Perusahaan-perusahan komik mapan memberi contoh digital komik-komiknya di internet. Gerakan komik online dimulai.

Komik-komik Indonesia secara umum diolah secara digital. Baik hanya proses penerbitannya maupun sampai proses lettering dan colloring. Sebut saja novel grafis Selamat Pagi Urbaz dan Komik Dua Warna.

Komik buatan Jepang, manga, laris. Muncul tandingannya, yaitu komik-komik yang menggunakan jalur indie, salah satunya Daging Tumbuh dan Komikaze. Akhir 1990-an komik Ophir berhasil menembus jalur distribusi Gramedia.

F.M.R. Sitompul

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus