Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perdamaian yang Gagal

17 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski pasalnya biasa, mengenai penipuan, perkara ini jadi sorot-an publik karena melibatkan dua konglomerat: Henry Pribadi dan Prajogo Pangestu.

Henry melaporkan Prajogo ke Markas Besar Polri pada 23 Maret lalu. Dia menuduh Prajogo telah menipunya saat membeli saham miliknya di PT Chandra Asri pada 1998.

Menurut sumber Tempo, kedua kong-lomerat telah memainkan kekuatan masing-masing di kepolisian. Henry me-makai seorang pejabat kepolisian untuk menekan Prajogo, tapi si terlapor juga memiliki kolega berbintang di kepolisian. Beradulah dua kekuatan ini.

Untuk menyelesaikan kasus itu, Prajogo pernah ”diundang” ke sebuah ruang yang biasa dijadikan t-empat h-iburan di Hotel Borobudur, awal April lalu. Menurut seorang sumber Tempo, pengusaha yang cukup berpengaruh di kepolisian menjadi penengah dan m-emimpin pertemuan ini.

Di depan sejumlah perwira me-nengah, si pengusaha menganjurkan agar Pra-jogo berdamai saja. Ini berarti dia harus membayar sejumlah uang kepada Henry sebagai kompensasi penjualan sahamnya di Chandra Asri. ”Daripada berlarut-larut, mahal, dan tak ketahuan juntrungannya,” katanya.

Prajogo menolak. ”Saya mau digelar sa-ja perkaranya biar jelas. Kalau mau damai, ya bikin saja SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) polisi,” kata Prajogo. Si pengusaha yang menjadi pe-nengah menyahut, ”Wah jangan pakai cara itu, bisa memberatkan (dia menyebutkan nama seorang pejabat penting kepolisian). Mending damai sajalah. Ta-pi kalau tak mau, ya terserah.”

Suasana hening. Pertemuan berlangsung satu jam. Tiba-tiba, di layar tele-vi-si ada berita Direktur Utama Per-usaha-an Listrik Negara Eddy Widiono masuk bui. ”Kami bisa saja menahan Anda se-perti dia,” kata seorang perwira polisi yang hadir dalam pertemuan ini. Prajogo diam saja.

Pertemuan berakhir tanpa keputusan. ”Pak Prajogo, anggap saja pertemuan ini tak pernah terjadi,” kata seorang perwira polisi. Prajogo menjawabnya de-ngan anggukan. Sampai sekarang pertemuan ini ditutup rapat-rapat. Prajogo sendiri tak bersedia mengungkapnya.

Sebulan kemudian, polisi menetap-kan Prajogo sebagai tersangka peni-puan. Menurut Hotman, pemerik-saan itu justru atas keinginan Prajogo. ”Untuk membuktikan siapa yang bohong,” katanya. Kemudian Pra-jogo balik mengadukan Henry dengan tu-duhan pencemaran nama baik. Tapi polisi belum menetapkan Henry se-bagai tersangka.

Kendati saling lapor, pertemuan an-tara Henry dan Prajogo kembali terjadi pada 22 Mei lalu. Kali ini berlangsung di Mabes Polri, dipimpin Inspektur Jenderal Gorries Mere, Wa-kil Kepala Bareskrim Mabes Polri. Gorries didampingi Inspektur Peng-awasan Umum Mabes Polri Komisaris Jenderal Didi Wijayadi. Seusai pertemuan, pihak yang berseteru tak mau bicara. ”Yang jelas, pertemuan itu tak mempengaruhi hukum,” kata Briga-dir Jenderal Anton Bachrul Alam, ju-ru bicara Mabes Polri.

Nurlis E. Meuko, Wahyu Muryadi, Fanny Febiana dan Erwin Dariyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus