Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMPLOP cokelat itu tergeletak dalam loker surat milik Azis Sjamsuddin di lantai 10 gedung Nusantara III Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya berkas acara pe-meriksaan pengusaha Henry Pribadi soal kasus penipuan pengusaha Pra-jogo Pangestu atas penjualan PT Chandra Asri.
Kiriman misterius tersebut datang be-berapa hari sebelum rapat dengar pendapat Komisi Hukum di parlemen dengan Kepala Badan Reserse dan Kri-minal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Makbul P-admanegara, 21 Juni lalu. ”Tak ada identitas pengirimnya,” kata Azis Sjamsuddin, anggota komisi dari Fraksi Partai Golkar, kepada Tempo pekan lalu
Sebelumnya, Azis juga menemukan dua lembar keterangan pers berkop surat Lucas SH & Partner di dalam lo-ker yang sama. Isinya desakan Lucas, peng-acara Henry Pribadi, agar polisi segera mengusut jatuhnya BAP kliennya ke tangan Prajogo dan anggota Dewan.
Ternyata BAP Henry memang telah tersebar di kalangan anggota Dewan sebelum mereka bertemu dengan Makbul dan jajaran kepolisian. Di saat itu Makbul mengungkap pula beredarnya berkas Henry ke tangan Prajogo dan anggota Dewan. Klop. Sejumlah anggota komisi pun tergelitik. Mereka merespons dengan mendesak Makbul segera mengusut beredarnya BAP itu.
Azis Sjamsuddin pun heran. Dia menduga BAP itu dikirim Lucas sebelum lembaran keterangan pers datang. Azis bahkan sempat mengontak nomor telepon genggam Lucas, yang tertera dalam keterangan pers. Lucas membenarkan soal keterangan pers itu, tapi soal BAP dijawab secara berputar-putar.
Menurut Azis, sebagai pelapor kasus penipuan Prajogo, Henry Pribadi diuntungkan bila perkara ini membesar. Bagaimana dengan Prajogo? Sikapnya akan sebaliknya. ”Sebagai terlapor pasti menginginkan perkara cepat selesai,” kata bekas pengacara ini.
Prajogo dilaporkan Henry ke Mabes Polri pada 23 Maret lalu. Dia dituduh melakukan penipuan dalam hal peng-alihan 17.361.250 lembar saham milik-nya di PT Chandra Asri kepada Prajogo pada 20 Oktober 1998. Waktu itu, saham itu dijual Rp 1.000 dengan kompensasi seluruh utang dan kewajiban Henry beralih ke Prajogo. Total utang yang mesti ditanggung Prajogo Rp 5,4 triliun.
Enam tahun berlalu, ternyata per-usahaan selamat. Bahkan Temasek Hol-dings Singapura membeli 50,45 persen saham Chandra Asri dari US$ 700 juta, 3 Februari lalu. ”Tiba-tiba datang Henry Pribadi,” kata Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum Prajogo Pangestu. Setelah penjualan saham ke Temasek, Henry menghitung ada kelebihan restrukturisasi utang di Chandra Asri US$ 120 juta. Inilah yang dimintanya.
Sumber Tempo di DPR menerima pe-san pendek telepon genggam dari se-orang perwira polisi sebelum pertemuan dengan Makbul. Perwira itu mengingatkan agar dia berhati-hati mengangkat perkara Henry dan Prajogo. Katanya, ada jaringan Henry di DPR yang dibawa seorang jenderal untuk menekan Prajogo lewat parlemen.
Marselina Simatupang dari Lucas SH & Partner membantah telah menyebarkan BAP kasus Prajogo dan ke-terangan pers di parlemen. ”Jangan-kan meng-edarkan, kami saja tidak pernah mendapatkan BAP itu sampai se-karang,” katanya. Menurut Marselina, ke-terangan pers memang dikeluarkan kantornya pada Kamis 8 Juni 2006 di gedung World Trade Centre, Jakarta, tapi dia mengaku tidak tahu-menahu mengapa keterangan itu bisa beredar di Senayan.
Benny Kabur Harman, anggota Fraksi Partai Demokrat, justru melihat adanya manuver Prajogo untuk berlindung dari tekanan Henry. Alasannya, tersangka khawatir polisi memanfaatkan kasus ini untuk menggaet duit darinya. ”Ini ce-rita di mana polisi memanfaatkan konflik mereka untuk menangguk keun-tungan,” kata dia.
Menanggapi itu, Makbul Padmanegara menegaskan, ”Kami selalu berlaku p-ro-fesional.” Menurut dia, Kepala Polri Jen-deral Sutanto sudah memerintahkan ke-pada Divisi Profesi dan Pengamanan un-tuk menyelidiki dugaan keterlibatan aparat penyidik dalam kasus bocornya BAP.
Komisi Hukum di parlemen rupa-nya tertarik pada kasus ini. Para pimpinan komisi bahkan membentuk tim khusus Rapat Dengar Pendapat Umum. Tim yang dipimpin Al Muzamil Yusuf dari Frak-si Partai Keadilan Sejahtera ini bertu-juan meminta keterangan Henry dan Prajogo.
Prajogo mangkir dua kali ketika dipanggil Dewan. Pada panggilan
kedua, Selasa pekan lalu, Prajogo cu-ma diwakili pengacaranya, Hotman Pa-ris Hutapea. Komisi menolak. ”Kami tetap memanggil ketiga kali. Kalau tidak datang, ya kami panggil paksa,” kata Akil Mochtar, Wakil Ketua Komisi Hukum.
Pemanggilan itu pun mengundang pro-kontra. Anhar Nasution dari Fraksi Bintang Reformasi menganggap komisi di parlemen berwenang memanggil Henry dan Prajogo. Soalnya kasus itu terkait dengan pengemplangan duit milik negara oleh Prajogo melalui penjual-an saham Chandra Asri. ”Kalau benar, kami minta aparat hukum segera me-nye-lesaikannya. Jangan ada surat perintah penghentian penyidikan,” kata Anhar.
Gayus Lumbuun dari Fraksi PDI Per-juangan berpendapat sebaliknya. ”-Ko-misi ini bukan penegak pengadil-an, tapi untuk mengawasi sistem,” kata Ga-yus. Menurut dia, pembentukan tim khusus juga menyalahi Tata Tertib DPR karena tidak melewati rapat p-leno. ”Ko-misi telah keblinger, merespons masalah yang ditunggangi kepentingan untuk menekan Prajogo,” ujarnya lagi.
Eduardus Karel Dewanto dan Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo