Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soleh, begitu ia biasa dipanggil, mesti berganti-ganti kendaraan umum. Pertama, ia harus naik angkutan kota (angkot) dari ujung kampungnya sampai Stasiun Priok, lalu ganti naik bus cepat-terbatas (patas) ke Matraman, dan setelah itu beralih naik bemo sampai ke dekat kantornya. Kalau dihitung-hitung, setiap hari Soleh harus menyediakan Rp 3.200 untuk ongkos transpor dari rumah ke kantor pulang-pergi.
Jumlah ini sebentar lagi niscaya akan melonjak berlipat-lipat seandainya pemerintah jadi menaikkan ongkos angkutan umum. Soalnya, Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) telah mengusulkan agar pemerintah menyetujui kenaikan tarif angkutan mulai 10 April mendatang. Kenaikan tersebut bervariasi. Tarif bus kota, misalnya, naik 233,3 persen dari Rp 300 menjadi Rp 1.000, bus patas dari Rp 700 menjadi Rp 1.550 (121,43 persen), dan bus sedang (mikrolet) naik dari Rp 500 ke Rp 1.200 (140 persen). Sedangkan pemerintah mengusulkan agar kenaikan tarif angkutan umum hanya 49-72 persen.
Alasan kenaikan itu bermacam-macam, misalnya sudah empat tahun tarif tidak naik. Ongkos pemeliharaan dan operasi kendaraan juga meninggi. Belum lagi, mulai April depan, ada rencana kenaikan harga bahan bakar minyak.
Jika pemerintah menolak usul itu, Organda mengancam akan menyetop semua operasi angkutan umum. Tentu saja itu sebuah pilihan yang sulit. Gaji Soleh sebagai pesuruh kantor masih tetap seperti bulan-bulan sebelumnya. Begitu juga warga masyarakat lain yang gaji atau pendapatannya belum naik. Haruskah mereka berjalan kaki setiap kali berangkat kerja jika tak mampu membayar ongkos angkutan?
Rasanya sulit. Jajak pendapat TEMPO memperlihatkan, mayoritas responden adalah mereka yang memanfaatkan angkutan umum setiap hari. Ironisnya, walau mayoritas dari mereka menganggap pelayanan sarana transportasi publik yang ada sangat tidak memadai, mereka terpaksa mengambil pilihan tersebut. Betapapun sengsaranya naik angkutan umum, betapapun jauhnya jarak yang harus ditempuh, publik akan tetap memilih kendaraan umum.
Karena itulah mayoritas responden tidak setuju dengan rencana kenaikan tarif angkutan umum. Mereka berharap tarif tak naik karena situasi ekonomi tidak memungkinkan. Lagi pula, buat apa naik kalau kualitas pelayanannya sama saja? Responden beranggapan sebaiknya pemerintah mengeluarkan subsidi bagi angkutan umum sehingga ongkosnya tak perlu naik.
Responden berpendapat, pemerintah semestinya bukan menaikkan tarif angkutan, melainkan menghapus pungutan liar di jalanan. Sebab, pungutan yang membebani pengusaha angkutan ini dituding ikut memicu ekonomi biaya tinggi.
Pendapat ini disetujui oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih. Selain itu, dia menganggap usul Organda tidak masuk akal lantaran terlalu tinggi. Di mata YLKI, boleh saja tarif angkutan naik, tapi tidak sebesar yang diusulkan Organda, paling 20-30 persen.
Indah menduga tarif setinggi itu merupakan "akal-akalan" Organda ketika menghitung ongkos produksi yang diajukan ke pemerintah daerah. "Mereka pasti memasukkan harga bus baru sebagai komponen ongkos produksi meskipun kenyataannya mereka masih memakai bus-bus lama," kata Indah. "Akal-akalan" inientah disengaja entah tidakmenurut Indah, membuat kenaikan tarif angkutan setinggi yang diusulkan itu jadi masuk akal. Walhasil, YLKI menolak keras kenaikan setinggi itu.
Wicaksono
Seberapa sering Anda memanfaatkan angkutan kota? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Setiap hari | 42%Minimal saru kali dalam seminggu | 33% | Maksimal tiga kali dalam sebulan | 15% | Tidak pernah | 9% | | Bagaimana kualitas pelayanan angkutan kota Jakarta menurut Anda? | Baik | 16% | Kurang baik | 65% | Buruk | 18% | | Apakah Anda setuju dengan kenaikan tarif angkutan seperti yang diusulkan Organda? | Ya | 86% | Tidak | 7% | Tidak tahu | 7% | | Bagi yang menjawab ya, alasan Anda? | Pengusaha angkutan dapatmeningkatkan kualitas pelayanan | 65% | Kondisi kendaraan membaik | 57% | Memang sudah waktunya naik | 46% | Pemerintah dapat menghemat subsidi | 22% | Tarif yang sekarang terlalu murah | 11% | Keuntungan pengusaha angkutan bisa meningkat | 8% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Bagi yang menjawab tidak, alasan Anda? | Situasi ekonomi tidak memungkinkan | 79% | Buat apa naik kalau kualitas pelayanannya sama saja | 58% | Pemerintah mestinya memberikan subsidi angkutan umum | 36% | Bukan tarif yang dinaikkan, melainkan pungutan liar di jalanan yang dihapuskan | 35% | Tarif yang sekarang sudah mahal | 33% | Sopir dan kondektur bisa kehilangan penumpang | 21% | Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban | | Jika tarif angkutan umum naik, apakah Anda akan mengurangi aktivitas bepergian? Ya | 14% | Tidak | 45% | Ragu-ragu | 20% | | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 506 responden di lima wilayah DKI pada 17-19 Juli 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode random bertingkat (multi-stages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan wawancara melalui telepon.
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
*
Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban
Lihat Benefit Lainnya