Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kongres untuk Mega

Kongres PDI Perjuangan usai. Megawati melakukan kompromi dalam penyusunan pengurus partai. Untuk waktu yang lama, kepemimpinan partai akan tetap terpusat di dirinya.

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGIATAN di Ruang Pancawati itu tak terlihat istimewa. Ratusan orang berkumpul di aula Hotel Patra Jasa, Semarang, yang biasa disewakan untuk perhelatan perkawinan itu. Mereka asyik mendengarkan Megawati Sukarnoputri membacakan susunan pengurus dewan pimpinan pusat (DPP) di akhir acara Kongres I Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sabtu pekan lalu. Sang Ketua Umum PDI-P yang baru terpilih lagi tersebut mengenakan setelah hitam-hitam dengan wajah yang sedikit letih tapi berwibawa. Sesekali ada celetukan atau bunyi gemuruh ketika sebuah nama disebut. Tapi selebihnya adalah kalem, mungkin juga semacam kepatuhan.

Padahal, hari itu, sebuah peristiwa penting terjadi. Inilah untuk pertama kalinya kongres dilaksanakan setelah partai berlambang banteng gemuk ini meraih suara terbanyak pada pemilu lalu. Susunan pengurus pusat partai akan menentukan besar-kecilnya PDI-P di masa depan: mungkinkah ia mengulang suksesnya dalam Pemilu 2004 nanti sebagai pemenang pemilu atau akankah ia terlindas partai lain yang rajin merapatkan barisan?

Kepatuhan pada sang Ketua Umum, itulah mungkin kata kuncinya. Karena itu, peserta kongres pun masih mengandalkan Mega untuk memimpin perebutan suara rakyat pada Pemilu 2004 nanti. Sejak awal kongres, dukungan pada Mega memang sudah tak tertahankan. Dalam sidang komisi organisasi dan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART), Jumat sore, Mega bahkan dikukuhkan sebagai formatur tunggal. Artinya, dialah yang dipercayai menentukan hitam-putih pengurus pusat partai. Di sesi itu, ia mendapat dukungan 133 suara, sedangkan 89 sisanya tidak menginginkan formatur tunggal.

Nah, dalam penyusunan pengurus pusat partai itulah Mega bergerak. Susunan dewan pimpinan yang diumumkannya menjungkirbalikkan spekulasi banyak orang tentang format pengurus partai. Sejumlah nama yang semula disebut-sebut bakal mendampingi Mega di kursi sekretaris jenderal (sekjen), seperti Bondan Gunawan, Eros Djarot, atau Dimyati Hartono, hilang dari daftar.

Tapi Mega bukan berkehendak menyingkirkan mereka. Seorang sumber yang dekat dengan Eros mengatakan, pada Jumat malam Mega setidaknya tiga kali mengontak bekas pemimpin redaksi tabloid Detik itu untuk duduk di kursi sekjen. Pertimbangannya, Eros punya kemampuan manajerial dan ide-ide yang bagus. Sudah banyak diketahui umum bahwa Eros adalah orang yang kerap mengonsep pidato politik Megawati.

Kontak pertama dilakukan sekitar pukul 10 malam. Waktu itu, Eros, yang masih berada di Hotel Dibyo Puri, Semarang, mengaku masih pikir-pikir. Soalnya, dalam daftar pengurus partai itu, ia masih menemukan sejumlah orang Taufik Kiemas—seteru politiknya yang juga suami Mega—seperti Mangara Siahaan dan Roy B.B. Janis. Dua jam kemudian, ketika Mega kembali menelepon, ia tetap menolak meski Mega telah merombak beberapa nama. Telepon ketiga berdering menjelang subuh. Mega mendesak, tapi Eros bersikukuh dengan alasan yang sama. "Terima kasih, Mbak. Kalau masih itu susunannya, saya lebih baik di luar saja," kata Eros, seperti dikutip seorang sumber.

Kubu Taufik menguasai DPP? Begitulah banyak orang percaya. Orang seperti Roy, Mangara, atau Noviantika Nasution yang duduk posisi penting pengurus pusat PDI-P selama ini memang dikenal dekat dengan Taufik. "Saya menjadi tidak habis pikir kenapa tokoh sekarismatis Mega menerapkan komposisi kepengurusan yang seperti sekarang," kata Eros.

Beberapa pengurus lainnya berkesimpulan Taufik Kiemas punya peran yang tak kecil dalam menyusun daftar malam itu. Hilangnya nama Bondan Gunawan, yang beberapa hari sebelumnya sempat muncul, diyakini juga karena usul Taufik.

Tapi alasan di balik terjungkalnya Bondan tampaknya bukan hanya faktor Taufik. Berita bahwa dirinya merupakan titipan Abdurrahman Wahid juga membuat Sekretaris Pengendalian Pemerintahan dalam kabinet Abdurrahman ini jadi kurang populer. Bondan sendiri tak menyangkal bahwa dirinya memang "ditimbang-timbang" Presiden sebagai orang yang punya pemikiran Sukarnois yang bagus untuk "ditaruh" di PDI-P. Dalam pertemuan dengan sesepuh PDI, Roeslan Abdoelgani, Abdurrahman jelas mengatakan bahwa orang seperti Bondan mestinya "tak disia-siakan".

Karena soal titipan Presiden inilah sedari awal Bondan langsung dihadang. Meski didukung sebagian cabang di Jawa Tengah, bekas aktivis Forum Demokrasi itu akhirnya terjungkal. Puncaknya ya hilangnya nama Bondan dalam susunan pengurus DPP itu tadi. Mega sendiri kabarnya tidak terlalu berkeberatan terhadap Bondan. Cuma, karena sebagian besar publik PDI-P menolak, ya, Mega nurut.

Pengurus Pusat PDI Perjuangan Hasil Kongres I Semarang
Ketua Umum: Megawati Sukarnoputri

Ketua: Lukas Karel Degay, Kwik Kian Gie, I Gusti Ngurah Sara, Theo Sjafei, Imam Mudjiat, Roy B.B. Janis, Arifin Panigoro, Gunawan Wirosarojo

Sekretaris Jenderal: Sutjipto

Wakil Sekjen: Mangara Siahaan, Pramono Anung Wibowo, Jacobus, Anita Singadipane

Bendahara Umum: Noviantika Nasution

Wakil Bendahara: Lukman, Rita Hendro

Lalu, jika Taufik sangat berperan dalam penyusunan pengurus pusat partai, mengapa Roy B.B. Janis (calon kuat pengisi posisi sekjen dari kubu Taufik) "cuma" duduk sebagai salah satu ketua—posisi yang kalah strategis dibandingkan dengan sekjen? Tidak jelas. Yang pasti, Mega sendiri tampaknya mengambil sikap kompromi. Roy masuk, tapi tidak dalam posisi orang nomor dua—posisi yang akan banyak menggantikan Mega di partai karena kesibukannya sebagai wakil presiden.

Untuk posisi itu, Mega justru menempatkan Sutjipto. Ketua Fraksi PDI-P di MPR itu memang berkesan lebih netral dalam percaturan politik di tubuh banteng. Basisnya hanya satu: menjadi orang yang loyal terhadap Mega. Dalam rapat komisi organisasi dan AD/ART kongres untuk menentukan bentuk formatur, Tjipto adalah salah seorang peserta yang keras mendukung formatur tunggal—meski untuk itu ia sempat disoraki peserta kongres lainnya.

Siapakah Sutjipto? Lelaki setengah baya ini memang telah lama "ikut" Mega, sejak zaman "enggak enak". Di masa kepemimpinan kembar Dewan Pimpinan Daerah PDI Jawa Timur pro-Soerjadi dan pro-Mega dulu, Sutjipto adalah tokoh yang bertempur dengan Latief Pudjosakti dari kubu Soerjadi. Dalam posisi marginal—karena PDI-nya tidak diakui pemerintah—ia memang hidup tidak enak. Teror politik adalah santapan biasa baginya.

Karena sejarah kedekatannya dengan Mega dan netralitasnya dalam politik internal PDI-P, Sutjipto barangkali bisa diharapkan untuk menengahi perseteruan politik di tubuh banteng—meski juga tidak ada jaminan akan berhasil. Selain itu, untuk mengharapkan Sutjipto membawa pencerahan baru di partai ini, warga PDI-P tampaknya masih perlu menunggu.

Buat perjuangan PDI-P ke depan, susunan DPP yang baru ini memang belum menjanjikan banyak hal. Para jagoan partai—seperti Kwik Kian Gie atau Laksamana Sukardi—yang "laku" dijual dalam pemilu karena ide yang brilian tidak bertambah. Laksamana bahkan tersingkir dari jajaran petinggi partai ini. Sementara itu, unggulnya kubu Taufik juga bukan tidak mungkin akan menimbulkan perlawanan yang, seperti bisul, sewaktu-waktu bisa meledak.

Di pihak lain, bertumpunya kepemimpinan di tangan Mega pun menunjukkan bahwa PDI-P belum beranjak dari keadaan lama: sakralisasi figur Mega. Ke depan, kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Di tengah persaingan antarpartai yang mengandalkan ide dan platform, PDI-P masih berkutat pada persoalan figur pemimpin.

Inilah yang disayangkan Meilono Suwondo, peserta kongres yang dikenal dekat dengan kubu Eros Djarot. Pemilihan Mega sebagai ketua umum dan formatur tunggal dengan cara yang demokratis justru meneguhkan asumsi bahwa pilihan terhadap sakralisasi pemimpin itu dilakukan secara sadar. "Ini risiko PDI-P yang mendadak menjadi besar dengan pendukung yang heterogen," katanya. Perjalanan PDI-P memang masih panjang. Ia perlu banyak belajar.

Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti, Adi Prasetya (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus