Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Perwakilan Rakyat tengah membahas revisi Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme. Selama pembahasan di tingkat panitia khusus, muncul ide untuk melibatkan Tentara Nasional Indonesia dalam memberangus gerakan teror. Tapi konsep ini menuai perbedaan pendapat.
Selama satu dekade lebih, pemberantasan terorisme diserahkan kepada Kepolisian RI dengan membentuk Detasemen Khusus 88 Antiteror. Jauh sebelum Densus 88 lahir, TNI sudah memiliki tim penggebuk teroris yang disebut Detasemen 81. Peran ini yang ditengarai hendak dikembalikan di tengah pembahasan revisi Undang-Undang Terorisme kali ini.
Ketika Detasemen 81 ada, banyak peristiwa teror yang melanda Indonesia. Majalah Tempo edisi 12 Oktober 1984 dengan artikel berjudul "Antiteror untuk Teroris" mengulas beragam peristiwa teror itu. Karena aksi terorisme kian merajalela, Panglima Angkatan Bersenjata RI saat itu, Jenderal Leonardus Benyamin Moerdani, dengan tegas mengatakan pemerintah tidak akan menyerah kepada tindakan teror.
"Sekali kita mengakomodasi permintaan teroris, sistem yang ada akan hancur sedikit demi sedikit," kata Benny di Aula Markas Besar TNI, Kamis, 8 Oktober 1984.Pernyataan itu dikeluarkan sekitar lima jam setelah tiga ledakan yang mengguncang Ibu Kota.
Ia mengakui sikap tegas pemerintah itu memang mahal, "Bahkan mungkin masih ada korban. Masih ada darah mengalir. Tapi saya minta diingat: kami mengamankan 150 juta manusia lebih, dan untuk itu bisa lebih dari 100 orang ditahan."Secara berseloroh Benny mengatakan, seandainya pemerintah menyerah atau bersikap lunak terhadap teror, "Kalau kejadiannya sudah begini, panglimanya diganti saja..."
Pendirian ini buka hal baru. Dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda Woyla, Maret 1981, misalnya. Waktu itu Jenderal Benny, yang memimpin operasi pembebasan Woyla yang dibajak gerombolan Imran, secara tegas menolak membebaskan 80 "tahanan politik" yang dituntut. Hanya 65 jam setelah pembajakan, pasukan Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha)-sekarang Komando Pasukan Khusus (Kopassus)-berhasil menembak mati para pembajak dan membebaskan sandera.
Secara umum, gerakan terorbertujuan mencapai beberapa hal. Misalnya untuk memproklamasikan kehadiran dan tujuan mereka, meningkatkan moral dan simpati, merongrong keamanan dan ketertiban, memancing tindakan balasan, menakut-nakuti rakyat, serta mencari dukungan finansial.
Penelitian Charles Russell dan Bowman Miller yang berjudul Profile of a Terrorist (1977) sangat menarik. Mereka meneliti 350 orang teroris dari 18 kelompok, dan menemukan bahwa para teroris itu pada umumnya bujangan berusia sekitar 20 tahun, dan pendidikan mereka universitas (atau paling tidak pernah belajar di perguruan tinggi). Umumnya mereka datang dari keluarga menengah dan banyak di antaranya mempunyai kedudukan sosial yang memadai. Kedua peneliti itu juga mencatat: ada kecenderungan bahwa umur para teroris itu makin lama makin muda. Tapi harus dicatat: hasil penelitian ini belum tentu sesuai dengan kenyataan Indonesia.
Yang merepotkan adalah bila nyawa para sandera tak dapat diselamatkan. Itu, misalnya, terjadi pada peristiwa September Hitam 1972. Waktu itu sekelompok gerilyawan Palestina menyekap sembilan atlet Israel dan membunuh dua orang lainnya dalam Olimpiade Munich, Jerman Barat. Mereka menuntut Israel membebaskan 200 tahanan Palestina. Pemerintah Israel tak menggubrisnya. Kemudian aparat keamanan Jerman Barat melancarkan serangan mendadak. Serangan yang diliput langsung oleh stasiun televisi itu berhasil: 5 gerilyawan terbunuh, 3 diringkus, tapi semua sandera serta seorang petugas keamanan ikut tewas. Akibatnya, citra pemerintah Jerman anjlok.
Indonesia juga memiliki kesatuan antiteroris. Di Polri, namanya Gegana. TNI Angkatan Laut memiliki Gorila, dan di TNI Angkatan Udara ada Atbara. Yang paling dikenal mungkin Detasemen 81, yang terdiri atas pasukan Kopassandha. Pasukan inilah yang berhasil membebaskan pesawat Woyla serta penumpangnya dalam sebuah operasi singkat dan efisien pada 1981.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo