Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Tiada mutiara kulitnyapun jadi

Di menteng raya, jakarta dipamerkan kurang lebih 140 kerajinan tangan menyusun kulit keong, kerang dan siput. diadakan dalam pesta agustusan hari jadi ri ke-32 dan dibuka oleh ibu tien suharto.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH berkecimpung dalam pesta Agustusan untuk hari jadi RI ke32 yang lalu. Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Jakarta, akhir September lalu mengadakan pameran kreasi kerang-keong-siput. Tempat di Menteng Raya 31, tidak kurang dari 140 kerajinan tangan menyusun kulit keong, kerang, siput dan sebangsanya ditampilkan dalam berbagai bentuk lukisan, yang cenderung diberi nama collage. Bukan hal yang aneh dan baru, karena lama sudah beberapa daerah mempraktekkan kepandaian macam ini. Misalnya di Maluku, mereka telah mengukir kulit kerang yang menghasilkan mutiara menjadi bunga dalam pigura aau Bunda Maria di atas beludru hitam. Di Filipina dan Jepang, kulit kerang telah diolah sedemikian rupa, selingga bukan saja sekedar barang pajangan, tapi sebagian dari keperluan rumahtangga. Tapi karena pameran terbesar pertama kali ini dibuka oleh Nyonya Tien Suharto, tetu.saja pesta Agustusan (yang mungkin paling buncit untuk kawasan Jakarta), berlangsung cukup mriah dan segar. Siput dan kerang ini memang mempunyai sejarah sepanjang adanya kehidupan di dunia. Ratusan tahun lamanya, para komandan suku-suku bangsa di kepulauan Fiji memasang lencana komandonya dari kerang jenis Kauri emas (Cypraea aurantium) yang berasal dari kepulauan Melanesia. Lencana segede onde-onde iui dipakai sebagai tanda jabatan para jenderal dan laksamana waktu itu. Jenis Kauri abu-abu kuning (Cypraea moneta) untuk daerah yang sama, dipakai sebagai mata uang untuk memecahkan masalah moneter waktu itu. Aji Mata Lembu Slamet Suseno, itu penulis ilmiah yang uraiannya selalu dibeberkan secara santai, bahkan mensinyalir para dukun juga mempergunakan rumah siput sebagai aji-ajinya. Misalnya rumah siput yang disebut Matalembu (Turbo porphyrites) yang banyak terdapat di kepulauan Seribu, teluk Jakarta. Cuma tidak jelas, siapa yang sakti. Itu dukun atau siput si Matalembu yang mempunyai tutup rumah cembung bagian luarnya dengan bintik hitam di tengahnya. Di beberapa rumah, jenis siput Matabulan Turbo marrnoratus) sering dipakai sebagai kap lampu. KuIit yang berlapiskan kalsium karbonat ini, kalau kena sinar lampu dari dalam, akan mengeluarkan sinar yang indah. Bagi orang yang sedang jatuh cinta dan mempunvai perasaan berjuta, menimbulkan rasa romantis. Maklum, sinar lampu jadi terang-terang redup. Kulit keras dan siput, tidak terasa selalu berada di sekitar kita. Entah dia sebagai pengganjal kertas yang biasa disebut kuwuk Cypraea tigris, karena serupa dengan kulit macan) atau wanita-wanita cilik yang asik bermain dakon, jenis bayi dari si kuwuk itu tadi. Di sepanjang jalan, banyak punya pedagang menjerengkan rangkaian siput-siput kecil berbagai macam sebagai pengganti kain tirai. Dibuat masih dalam taraf sederhana, sehingga kain tirai ini sering masih berbau laut dan amis. Kain tirai macam ini tentu saja tidak bisa masuk di rumah orang gedean biasa dilengkapi dengan alat pendingin segala. Juga jenis siput kain tirai ini dari jenis rakyat kecil. Orang Sunda menyebut siput tirai ini siput belencong atau bahasa kerennya: Telescopium telescopium dan yang lainnya: Strombus luhuanus. Putar Kemudi Maka adalah seorang laki-laki yang bernama Derachman. Umurnya sudah 49 tahun. Dia ini -- bersama Nashar dan Zaini almarhum --pernah belajar melukis pada Agus Djaja dan S. Sudjojono. Dari tahun 1953 sampai 1967, sibuk mengadakan pameran lukisan hasil karyanya. Bukan di Indonesia saja, tapi Derachman beruntung berpameran di Washington, London bahkan sempat pergi ke kepulauan yang tersebar di lautan Pasifik. Salah satu lukisannya kemungkinan besar masih terpampang di terminal bis Lapangan Banteng. Bersama Cok Sinsu dan Iskandar kabarnya dia turut membuat lagu antara lain Mars Bebaskan Irian Barat. Mungkin karena lebih menguntungkan dari segi materi, Derachman kemudian hijrah ke collage khusus kulit siput. kerang atau keong yang jenisnya untuk kawasan Nusantara ini lebih dari 100.000 macam. 'Dan ini lebih sulit dari pada melukis cat," ujarnya. Penyusun kerang yang satu ini tidak merobah b.entuk kerang. Karya-karyanya banyak dimiliki oleh antara lain Kepala Bulog Bustanil Arifin, Laksamana yang iat memberantas Pungli Sudomo dan orangorang kalangan istana lainnya, yang menggemari kerajinan macam ini. Derachman senang membuat tokoh-tokoh wayang dan ini digemari oleh Presiden Suharto. Karyanya yang lain tampak juga dipamerkan: gambar PresidenSuharto dan nyonya yang berkebaya brokat ungu, dilingkar oleh kerang dalambentuk lonjong. Di atasnya, ada lambang Garuda Pancasila. Yang terakhir ini, tentu saja tidak terbuat dari kerang. Selain Derachman yang putar kemudi dari pelukis ke collage kulit binatang air ini, ada pula yang dimulai dari iseng dan main-main saja. Nyonya Sujekti Suryo, aslinya seorang bidan. Sejak gadis usia 15 tahun, dia gemar mengumpulkan kerang. Setelah besar dan menikah, kegemarannya ini tidak juga berhenti. Iseng-iseng dia membuat giwang dari jenis voluta imperialis. Salah seorang temannya tertarik dan mau membelinya. Kemudian nyonya yang kini sudah janda ini memperluas ciptaannya ke kalung, gelang, sendok garpu sampai ke lukisan. Setiap kali mendapatkan kulit siput baru, selalu dia pisahkan menurut warna dan jenisnya. Ini memudahkan konsentrasinya kalau sedang mencipta karangan bunga, burung atau kupu-kupu dari kerang. Latihan Sabar Kalau Derachman membeli kerang cara borongan per perahu, nyonya Suryo dengan ketelitian seorang wanita biasanya membeli kerang dengan cara memilih. Satu perahu segala bentuk kerang bisa mencapai Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Tapi kalau ada jenis kerang langka, nyonya Suryo berani bayar harga Rp 20.000 sebuahnya. Harga yang ribuan ini bisa dibayangkan berapa puluh ribu kalau kerang itu sudah berada dalam pigura dengan bentuk kijang atau mawar. Membeli kerang dari tengkulak, tentu tidak bisa diharapkan bebas dari bau amis. Pertama kali, pemilik rumah (isi kerang) harus dimatikan dulu. Sebab rumahnyalah yang akan dicomot. Kemudian kerang direbus dulu beberapa menit. Lantas dibersihkan lagi. Bagi rumah siput yang mempunyai arsitektur yang rumit, ini memerlukan latihan sabar lagi. Sudut-sudut rumah siput harus dibersihkan dengan kawat halus atau peniti. Kemudian sediakanlah lem, papan atau hardboard atau besi atau gelas atau kain tebal sebagai alas kerang-kerang tersebut nanti dilekatkan. Kerajinan ini rupanya menarik bagi ibu-ibu. Nyonya Maria S. Wiratno menjabat pimpinan Yayasan Wimar Asih, tempat pembinaan untuk anak cacat mental ringan. Dia juga memiliki berbagai ketrampilan kewanitaan, mulai dari membatik sampai ke anggrek dan kecantikan. Koleksi kerangnya cukup banyak. Wimar Asih-nya menghias ruang pameran dalam jumlah yang paling banyak. Menurut pendapatnya, kerajinan keong ini melatih kesabaran ketelitian dan mengasyikkan. Langkah nyonya Wiratno ini banyak diikuti oleh nyonya-nyonya lain satu organisasi: Bhayangkari. Rupanya dari latihan sabar, menghasilkan pula uang yang jumlahnya kadang-kadang lumayan. Ketimbang menunggu lotre. Slamet Suseno menyatakan bahwa untuk jenis Conus gloria-marischemnitz (Keagungan Lautan) yang besarnya cuma 10 Cm saja, bisa laku sampai 1000 dolar AS. Bentuknya biasa saja, tidak bergaya ratusan dolar, tapi pasaran para penggemar pengumpul keranglah yang menentukan. Curian Dari Museum Kolektor kerang di pasaran dunia umumnya menggemari jenis kerang berbentuk kerucut (Conus) yang diduga ada 400-00 macam. Kerang jenis kerucut ini banyak terdapat di lautan dangkal di daerah tropis. Jenis ini hidup di lautan yang berkoral. Jenis kerang yang dianggap menaknya kerang ialah jenis Cowrie, Conidae Volutidae dan Muricidae. Jenis Conidae banyak terdapat di sekitar laut Arafuru sekitar Irian-Maluku dan lautan Pasifik. Dalam hikayat kolektor kerang, pernah terjadi kerang jenis Conus gloria-marischemmits (yang diceriterakan Slamet Suseno tersebut di (atas) mencapai harga sampai AS$ 1.250 di tahun 1957. Kebetulan kerang berbentuk kerucut dengan dasar putih dan garis simpang siur kuning ini adalah hasil curian dari sebuah museum kerang! Dan dari jenis yang jarang didapat. Semakin jarang dan sulit kerang itu didapat, harganya tentu saja semakin tinggi. Sehingga kerang bagi nelayan Jepang yang berlayar ke mana-mana, merupakan pendapatan tambahan yang lumayan buat kantongnya. Kerang yang berada di laut dalam, harganya tinggi. Maklumlah, mengambilnya juga nyawa taruhannya. Kemungkinan besar, ketika ada gempa laut bulan lalu, pantai pulau-pulau sebelah timur Bali banyak terdapat kerang yang berasal dari laut dalam. Misalnya kerang jenis Nautilus scrobiculatus (putih dengan loreng coklat dan bentuknya bungkuk udang) sering terbawa ombak ke tepi pantai. Siapa yang dapat, rejekinya berlipat. Tentu saja kerang biasa yang warnanya hitam berbentuk kipas (dan banyak terdapat di sepanjang jalan Pecenongan di malam hari) adalah termasuk kasta sudra yang tidak bisa diikutkan dalam koleksi. Atau escargot Janthina yang banyak dimakan orang-orang Perancis, rumah kerangnya bahkan dijual di toko serba ada bukan untuk koleksi tapi untuk wadah, kalau anda masak kerang dari kaleng. Biar tampak asli, nah rumah kerang itu bisa dibeli untuk kemudian disimpan lagi. Pokoknya, dunia kerang dan siput di Tndonesia rupanya berhawa cerah. Apalagi dikabarkan bahwa Nyonya Tien Suharto sudah menyanggupi untuk mendirikan museum jenis beginian. Belum jelas memang, apakah jenisjenis kerang dari seluruh dunia yang akan disimpan sebagai museum ilmiah atau kumpulan dari kera :nan tangan dari kulit kerang, siput dan keong. Tapi beberapa orang telah mengusahakan ubin dengan campurandari kerang. Biasanya diambil dari jenis kerang mutiara Pinctada vulgaris atau Anctada margaritifera) yang banyak berserakan di lautan sekitar pulau Banda. Ubin macam ini cukup indah. Apalagi kilatan ubin dan biangnya mutiara ini memancar dengan bersih. Lumayan, sebab kalau anda tak kesampaian memiliki satu kobokan mutiara, kulitnya sajalah yang anda sebarkan sepanjang lantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus