TANTE Soen ternyata bukan perempuan biasa. Senyumnya murah,
otaknya cerdas, hidupnya penuh gairah. Bahasa asing lancar ia
kuasai, imajinasinya kuat, pergaulannya luas dan bisnisnya
lugas. Bakat sudah dianugerahkan sejak lahir, ditambah dengan
keuletan yang tertempa sejak ia mengenal hidup. Dengan demikian
semua persyaratan untuk hidup sukses sudah lengkap dipenuhi.
Lewat dedikasinya dalam bidang bisnis, ia muncul sebagai tokoh
yang tidak cengeng, dan tidak mengidap sentimen-sentimen
melankolis. Meskipun pendidikannya rada kurang. Hari-hari
hidupnya penuh dengan rancangan ke depan dan evaluasi ke
belakang, semuanya sungguh memuaskan. Gairah hidupnya semakin
hari semakin bertambah-tambah.
Bertahun-tahun ia tinggal di Jakarta sebagai warga kota
terhormat. Amat tahu menghargai waktu serta hemat dengan hal-hal
yang tak langsung memberikan perolehan bagi bisnisnya. Tante
Soen pun pintar memilih kesibukan sosial yang dianggapnya perlu.
Ia tidak pernah tunduk kepada siapapun sampai dicapainya
keuntungan yang memadai dengan pengeluarannya. Kelasnya dalam
masyarakat terus-menerus naik, namun puncak yang dikehendaki itu
belum juga nampak tanda-tandanya. Maklum, berhubung masa depan
masih benar-benar panjahg. Tante Soen tetap glat berusaha.
CEMOOH
Tapi entahlah, mungkin sudah nasib. Sukses seseorang belum tentu
melegakan orang lain.
Dimulai oleh sekelompok anak muda yang bakatnya nyanyi. Sukses
Tante Soen dijadikan tema senandung mereka. Dibawakan dengan
cara yang sungguh memenuhi selera. Liriknya perih-perih kocak,
dan lagunya amat menawan SeIlingga sekali ia mengisi pita suara,
maka segera menjadi top hit kesayangan banyak orang. Tante Soen
dikritik, suksesnya dicemooh dengan gaya yang kelewat lucu.
Akan halnya Tante Soen sendiri, pada mulanya ia toleran.
Mendengar lagu tentang dirinya sambil tersenyum, seperti
kebiasaannya. Ia berusaha membatasi diri pada hal-hal yang
dianggapnya perlu. Sebuah sukses, begitu prinsip hidupnya,
adalah sebuah ketentuan eksklusif. Sukses tidak diperuntukkan
massa yang malas dan ogah-ogahan. Bukan bagi orang yang
imajinasinya mampat. Setiap sukses yang asli, eksklusif untuk
jenis burung garuda, makhluk yang gagah perkasa. Sukses bukan
untuk potongan bebek, kadal dan kerbau.
Selanjutnya Tante Soen menganggap masyarakat sebagai kumpulan
butiran pasir yang lepas-lepas. Bukannya suatu adonan yang
diikat oleh sentimen-sentimen kental yang menyatukan. Bahkan
kekentalan masyarakat itulah yang dianggapnya menjadi rintangan
bagi kemajuan serta penyebab kesengsaraan masyarakat.
BEBEK, KADAL, KERBAU
Pendeknya, setelah lagu itu makin lama makin terkenal ia mulai
insyaf bahwa rupanya ia hendak dikambing-hitamkan oleh karena
kegagalan orang lain. Oleh golongan yang disebutnya sebagai
golongan bebek, kadal dan kerbau. Tante Soen toh akhirnya
terjebak dalam lilitan soal yang tak ada dalam buku pintarnya.
Ia menghadapi soal baru yang menyimpang dari dalil-dalil yang
menyebabkan suksesnya.
Dalam pengalaman bisnisnya ia memang mengenal apa yang disebut
hubungan antar manusia. Namun perolehan yang ia harapkan dari
hubungan itu adalah eksklusif hagi dirinya sendiri sebagai
individu yang bebas merdeka. Suksesnya dengan demikian memang
tak ada hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat seluruhnya.
Dan lagu jenaka yang cepat terkenal itu setiap kali membuatnya
tertegun. Lagu itu memberi dilema bagi suksesnya Bukan hanya di
radio, teve dan di tempat-tempat umum lagu itu dinyanyikan
orang bahkan sampai-sampai di lapangan olahraga ketika satu
kali ia menjadi tamu terhormat dalam pembukaan pesta olahraga,
lagu cemooh anak-anak muda sampai pula di telinganya. Ini sudah
keterlaluan. Ini suatu bentuk paksaan.
Menyaksikan betapa senangnya orang terhadap lagu itu iapun
terpancing untuk menarik garis kawan dan lawan. Namun, Tante
Soen segera pula sadar bahwa lawan yang muncul di hadapannya
kali ini adalah lawan anonim yang bernama masyarakat. Lawan
seperti ini tak mungkin dapat dikalahkan dengan
penjelasan-penjelasan yang lugas. Lalu ia untuk memutar otaknya
yang cerdas seperti biasa.
Bagaimana harus menghadapi orang-orang yang dirasuk
irasionalisme semacam ini. Bagaimana cara terbaik untuk menahan
sedikit kebodohan orang-orang ini? Atau, apakah ini semacam
sentimen sex? Bahwa perempuan tak pantas sukses tak pantas main
golf, tak pantas pintar? Apakah suksesbagi perempuan sama dengan
onar? Ide-ide Kartini mengenai emansipasi wanita tak mereka
percayai? Ini amat menyakitkan hati. Nah, kalau begitu soalnya,
maka masalahnya menjadi lain sama sekali. Penjelasan macam
apapun tak akan ada gunanya.
Tante Soen yang berprihadi tak sampai meminta pertolongan suami.
Ia terang bukan jenis perempuan 'suarga turut neraka turut '.
Lagipula suaminya pun orang sibuk. Meminta pertolongan
pemerintah? Apakah ini sudah menyangkut soal politik? Alangkah
sepelenya. Alangkah gampangnya untuk menarik persoalannya ke
sila kelima dari Pancasila.
Akhirnya, otaknya yang cerdas sampai kada kesimpulan bahwa lawan
anonim itu toh sudah mewujud dalam pita, pabrik rekaman dan
jalur pemasaran. Hal-hal semacam ini amat ia kenal. Akhirnya ia
pun mendapatkan akal. Dan sambil senyum simpul ia pun
melangkahkan kakinya dengan ringan.
Alhasil, lagu itu sekarang tak pernah kedengaran lagi. Ia
terkubur bersama kejengkelan Tante Soen. Orang banyak hanya bisa
menduga, mungkin lagu itu berbau kritik, berbau politik. Bau
politik untuk masa sekarang ini memang dianggap bau yang tak
sedap. Nenek tua yang saban hari merenda pun tahu hal itu.
Dengan suksesnya yang terakhir ini, Tante Soen dengan sendirinya
menanjak.
Dan mana ia mau peduli pada orang banyak yang kehilangan lagu
enak yang liriknya kocak. Yah, masih tersedia segudang 'apa
boleh buat untuk menantikan sukses-suksesnya yang berikut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini