GANJELAN hati antara advokat Mr. Yap Thiam Hien dengan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, HM. Soemadijono SH, tampaknya
tak mudah dijernihkan. Apalagi sikap Soemadijono terakhir ini,
ketika memulai sidang perkara Sawito 6 Oktober lalu di luar
kebiasaan yang berlaku di pengadilan mana pun juga. Ia berkata
tentang kepembelaan tertuduh Sawito Kartowibowo: "Menurut
undang-undang, pembela hanya seorang saja." Dengan begitu ketua
pengadilan ini telah menolak permintaan tertuduh yang ingin
didampingi oleh sebuah tim pembela yang terdiri dari 5 orang
ahli hukum.
Permintaan tertuduh, yang menunjuk Yap, Soenarto, A. Rachman
Saleh A. Tamrella dan Haji Nurbani Yusuf, sebenarnya tidak
berlebih-lebihan. Bukankah di pengadilan mana pun, termasuk
tempat Soemadijono berpraktek dan mengetuai pengadilan, biasa
menerima pembela lebih dari seorang untuk seorang tertuduh?
Apakah selama ini hakim-hakim, yang mengizinkan lebih dari
seorang pembela mendampingi kliennya itu, telah melanggar hukum?
Lalu 'kebijaksanaan' Soemadijono yang mengizinkan dua advokat,
Yap dan Soenarto, sebagai pembela Sawito -- seraya menganggap
pembela yang lain sebagai pembantu saja, karena bukan gembong
(TEMPO, Pokok & Tokoh, 15 Oktober) -- adakah ini juga suatu
pelanggaran hukum?
Dasarnya memang sudah ruwet. Sikap Soemadijono, agaknya,
kelanjutan dari sikap-sikap sebelumnya dalam menghadapi Yap.
Mula-mula ia menganggap Sawito belum berpembela untuk
menghadapi sidang pengadilan. Pernyataan Yap sebagai kuasa
tertuduh ditolak. Alasannya: pernyataan Yap itu tak disertai
surat kuasa asli dari Sawito. Hanya fotokopi saja sebagai
buktinya. Yap ngotot. Ia teguh berpendapat, fotokopi surat kuasa
sudah lebih dari cukup. Sebab undang-undang pun membenarkan
kuasa lisan. Apa keberatan Yap dkk menyerahkan surat kuasa asli,
agar semuanya beres? "Ah, buat saya persoalan ini sangat
prinsipiil," kata Yap. "Saya telah memenuhi persyaratan dan
Soemadijono telah menolaknya secara semenamena."
Sesuatu & Seseorang
Agaknya polemik bakal sampai juga di ruang sidang, yang akan
melanjutkan pemeriksaan Sawito 27 Oktober mendatang. Tapi,
sebenarnya, berapakah jumlah pembela yang dibenarkan oleh
undang-undang untuk mendampingi tertuduh? Soemadijono
menafsirkan hukum acara pidana (HIR), yang berbahasa Belanda
tentunya, cukup "seorang pembela" saja. Ini dari kata asli een
raadsman. Yap bilang, "penafsiran begitu keliru." Yang benar,
"bukan seorang pembela tapi 'sesuatu pembela'." Jadi tak begitu
pasti, 'sesuatu' itu bisa berarti hanya 'seorang' saja.
Tidak hanya Yap. Ketua DPP Peradin S. Tasrif juga berpendapat
demikian. "Tidak seharusnya menafsirkan demikian." Menurut
Tasrif, kalau mau kakukakuan menafsirkan undang-undang ("yang
sayang, memang, belum ada terjemahan HIR secara nasional") bisa
repot. Soal istilah saja: Dalam HIR tak disebutkan adanya
pencuri wanita. Semua pencuri disebut dengan kata ganti
ketiganya (ia, laki-laki). Begitu juga untuk hakimnya. Pembela
disebutnya raadsman dan "bukan raadsvrouw," kata Tasrif. Jadi,
"apakah pencuri wanita tak dapat dihukum dan hakim & pembela
wanita tak diperbolehkan praktek?"
"Bagaimanapun saya tak dapat menerima begitu saja sikap
Soemadijono," kata Yap. Apa sikap Yap selanjutnya belum
dijelaskan. "Saya akan membuat kejutan lagi," katanya. Ia akan
tetap bersikeras mempertahankan pendiriannya, "tapi tak akan
sampai mengenyampingkan kepentingan Sawito." Ia juga tak akan
menginstruksikan Sawito agar membisu dalam sidang -- seperti
yang telah dilakukannya terhadap terdakwa Asep Suriaman dalam
mahmilub beberapa waktu yang lalu. "Saya hanya akan menjelaskan
kepada klien saya, bahwa sikap pengadilan terhadapnya tak benar
-- kemudian terserah sikap tertuduh sendiri: tetap minta 5 orang
pembela, jika tak dipenuhi mau membisu atau menerima begitu saja
sikap pengadilan."
Atau Yap juga akan bersikap di luar kebiasaan: minta supaya
saksi diperiksa lebih dulu sebelum dikorek keterangan dari
tertuduh langsung (seperti HIR juga menghendaki begitu)
"Lihat saja kejutan saya nanti," kata Yap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini