KONGRES Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) hampir saja
menelorkan putusan tanpa 'darah'. Suardi Tasrif SH sendiri,
beberapa menit sebelum terpilih kembali sebagai Ketua DPP yang
baru dalam kongres ke V para pengacara di Yogyakarta (6, 7 dan 8
Oktober lalu) itu menyatakan kekecewaannya. "Saya kecewa,"
katanya. "Tak tergerak hati nurani saya, tak tergetar, karena
semua keputusan hanyalah mengenai soal rutin belaka," ungkap
advokat kawakan dan bekas wartawan ini dengan gemetar.
Keputusan kongres, selain mendukung kegiatan opstib kontra
pungli, memang hanya mengulang-ulang apa yang pernah diributkan
dalam kongres sebelumnya. Seperti, sekitar perlunya pelaksanaan
undang-undang tentang bantuan hukum: seseorang tersangka berhak
memperoleh bantuan hukum dari advokat sejak pertama kali
berurusan dengan yang berwajib -- seperti yang dijanjikan
undang-undang. Usul, agar peradilan semu seperti KUP dan PUPN
(peradilan untuk sengketa kepenghunian perumahan/piutang negara)
dihapuskan saja. Segala soal mengenai kepenghunian dan piutang
negara harap diselesaikan saja melalui pengadilan umum biasa.
Lalu soal surat-surat edaran dari Mahkamah Agung "Baiknya
ditinjau kembali." Sebab, begitu menurut kongres, banyak surat
edaran yang lebih bersifat instruksi dan berlaku sebagai
undang-undang dari pada mengatur soal teknis peradilan bagi
hakim.
Rendah Sekali
Bagaimana pelaksanaan undang-undang agar orang dapat minta gnti
rugi kepada pcjabat negara yang khilaf berbuat? Diharapkan pula
agar badan peradilan itu segera terpisah dari eksekutif --
jangan 'kepalanya' di Mahkamah Agung sementara 'perut'nya tetap
di Departemen Kehakiman. Maksudnya, agar gaji hakim itu diatur
tersendiri, seperti bunyi undang-undangnya, dan tidak sebagai
pegawai negeri seperti sekarang. Usul cukup baru memang ada.
Seperti tanggapan kongres terhadap kasus Sawito: Surat kuasa
tertulis dari terdakwa kepada pembelanya, harap diperlakukan
secara tidak mutlak. Sebab ketentuannya, kuasa yang diberikan
secara lisanpun sudah cukup.
"Keputusan itu semuanya hanya soal biasa saja," komentar Tasrif,
sebelum pengesahan keputusan kongres yang dihadiri oleh 11
cabang di Hotel Ambarukmo. Malah, "rdk ada yang dapat kita
banggakan sebagai suatu hasil kongres para ahli hukum." Menurut
Tasrif, keputusan kongres kali ini, "tidak tepat menganalisa
keadaan bangsa dan negara yang waktu ini sedang memerlukan
perbaikan." Pokoknya tak ada kejutan di bidang hukum dalam
rembugan para advokat kali ini.
Agaknya memang begitu. "Padahal kita perlu kejutan untuk kita
sendiri," sambut pengacara Yap Thiam Hien. ''Setelah tiga hari
berturut-turut, berbicara berapi-api, keputusannya kok rendah
sekali nilainya." Tiga hari berbicara soal hukum dan keadilan,
"tapi keputusannya tak ada yang menyangkut soal hak azasi
manusia." Maunya Yap,"kita harus mengikrarkan: advokat harus
membela hak-hak rakyat." Hak rakyat itu banyak Hak rakyat atas
pemenuhan rasa keadilan yang dirasa berkurang. Sebab,
"pengadilan sudah merosot nilainya oleh penyelewengan para
penyelenggara badan peradilan." Para advokat, menurut Mr Yap,
"harus berpartisipasi dalam memperhatikan eks tahanan G 30 S:
Agar mereka betul-betul bebas tidak bebas dari Pulau Buru masuk
ke 'buru' yang lain".
Sebenarnya kongres memang "tak hanya nol besar hasilnya,"
seperti kata Yap pula. Peserta kongres, lebih dari 100 advokat
yang bersemangat, cukup berbicara mengenai banyak hal. Apalagi
Adnan Buyung Nasution SH. "Tak ada orang berbicara seberani
Buyung," komentar Yap. Dan ini dia darahnya. Begitu Tasrif
menyatakan kekecewaannya, kontan Buyung berdiri dan berseru:
"Cabut UU Subversi. Dan sebagai konsekwensinya, bubarkan
Kopkamtib dan diganti dengan lembaga lain yang konstitusionil,"
(TEMPO, Nasional, 15 Oktober). Yap bertanya: "Apakah yang
dapat dilakukan Peradin untuk itu hanya berkaok-kaok saja?"
Tentu saja tidak. Maka Buyung dengan lantang mengusulkan (dan
ini kemudian yang menjadi ciri organisasi Peradin, yang
diikrarkan, setelah Tasrif menilai kelesuan keputusan kongres):
"Peradin tak akan menghasilkan apa-apa bagi masyarakat dengan
cuma appeal-appeal kepada pemerintah. Peradin harus merubah
wajahnya menjadi suatu organisasi perjuangan -- yang
kata-katanya dapat didengar dan diperhatikan masyarakat dan
pemerintah."
Nah, misalnya, dalam pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum
(LBH) di daerah. Kata Buyung: "Bentuk LBH segera di daerah tanpa
tunggu izin atau green-light dari pemerintah. Bentuklah dengan
semangat perjuangan - tidak usah minta-minta." LBH Jakarta,
menurut Buyung dibentuk juga tanpa izin hanya berikutnya
dikukuhkan oleh Pemda DKI zaman Ali Sadikin (kemudian disertai
subsidinya yang lumayan!).
Layu Sebelum Berkembang
Apalagi jika daerah memang membutuhkan. Utusan Peradin dari
Semarang misalnya, dapat menunjukkan perlunya LBH di Jawa
Tengah. Rakyat, yang kena penggusuran -- padahal telah
menempati tanahnya sejak tahun 1930 - tak memperoleh perlakuan
yang semestinya. Juragan becak di Semarang, yang mengelola
sekitar 12.000 tukang becak, dikenai pajak di luar batas
kemampuan. Pedagang kakilima tergusur hanya karena alasan
modernisasi kota saja. Di Sragen ada 2 kasus tanah rakyat. Di
Jepara ada petani penggarap yang dirugikan oleh panitia
andreform.
"Semuanya melaporkan persoalannya kepada Peradin," kata
Woerjanto SH dari Semarang. Hak-hak rakyat itu akan lebih
mendapat perhatian seandainya Peradin Semarang punya LBH.
"Tapi LBH kami layu sebelum berkembang," kata Woeryanto. Sebab,
tambahnya, begitu LBH hendak bangun ia sudah dipanggil Kodam
Jawa Tengah: dilarang tegak. Alasannya? "Instruksi Kopkamtib,"
Menurut Woeryanto. "Padahal kami sudah sJft," katanya. "Sebelum
menggugat pejabat, kami akan bicara lebih dulu " Peradin daerah
lain, seperti Medan dan Palembang, juga mengalami perlakuan yang
sama dari penguasa daerah.
Betulkah Kopkamtib melarang? Itu dulu. Sekarang Kas Kopkamtib
Sudomo bersikap lain. "LBH itu bukan urusan Kopkamtib lagi,"
ujar Sudomo, dan lagi "Kopkamtib bukan biro izin-izin, jadi
buat apa minta izin kepada saya' Kopkamtib hanya mengurus soal
politik. Jadi surat-surat tak usah ditembuskan kepada
Kopkamtib."
Jalan sudah licin bagi pembentukan LBH? Barangkali begitu.
Tinggal kini ada advokat sendiri. Lembaga resmi, menurut
Menteri Kehakuman Mochtar Kusumaatmaja yang hadir dalam resepi
penutupan kongres bersama Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji,
sebenarnya apa perlunya? "Semua advokat sebenarnya harus jadi
lembaga bantuan hukum bagi rakyat," kata Menteri. Kalau mau.
Sebab, "advokat kadang-kadang pilih bulu: hanya menerima klien
yang berani bayar mahal saja." Tak semuanya. "Tapi lebih banyak
yang klimis," kata Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini