Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tanpa Darah, Tiada Kejutan

Kongres persatuan advokat indonesia (peradin) ke-v di yogyakarta menelorkan keputusan. hasil kongres mengenai soal rutin saja. diharapkan semua advokat jadi lembaga bantuan hukum rakyat.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) hampir saja menelorkan putusan tanpa 'darah'. Suardi Tasrif SH sendiri, beberapa menit sebelum terpilih kembali sebagai Ketua DPP yang baru dalam kongres ke V para pengacara di Yogyakarta (6, 7 dan 8 Oktober lalu) itu menyatakan kekecewaannya. "Saya kecewa," katanya. "Tak tergerak hati nurani saya, tak tergetar, karena semua keputusan hanyalah mengenai soal rutin belaka," ungkap advokat kawakan dan bekas wartawan ini dengan gemetar. Keputusan kongres, selain mendukung kegiatan opstib kontra pungli, memang hanya mengulang-ulang apa yang pernah diributkan dalam kongres sebelumnya. Seperti, sekitar perlunya pelaksanaan undang-undang tentang bantuan hukum: seseorang tersangka berhak memperoleh bantuan hukum dari advokat sejak pertama kali berurusan dengan yang berwajib -- seperti yang dijanjikan undang-undang. Usul, agar peradilan semu seperti KUP dan PUPN (peradilan untuk sengketa kepenghunian perumahan/piutang negara) dihapuskan saja. Segala soal mengenai kepenghunian dan piutang negara harap diselesaikan saja melalui pengadilan umum biasa. Lalu soal surat-surat edaran dari Mahkamah Agung "Baiknya ditinjau kembali." Sebab, begitu menurut kongres, banyak surat edaran yang lebih bersifat instruksi dan berlaku sebagai undang-undang dari pada mengatur soal teknis peradilan bagi hakim. Rendah Sekali Bagaimana pelaksanaan undang-undang agar orang dapat minta gnti rugi kepada pcjabat negara yang khilaf berbuat? Diharapkan pula agar badan peradilan itu segera terpisah dari eksekutif -- jangan 'kepalanya' di Mahkamah Agung sementara 'perut'nya tetap di Departemen Kehakiman. Maksudnya, agar gaji hakim itu diatur tersendiri, seperti bunyi undang-undangnya, dan tidak sebagai pegawai negeri seperti sekarang. Usul cukup baru memang ada. Seperti tanggapan kongres terhadap kasus Sawito: Surat kuasa tertulis dari terdakwa kepada pembelanya, harap diperlakukan secara tidak mutlak. Sebab ketentuannya, kuasa yang diberikan secara lisanpun sudah cukup. "Keputusan itu semuanya hanya soal biasa saja," komentar Tasrif, sebelum pengesahan keputusan kongres yang dihadiri oleh 11 cabang di Hotel Ambarukmo. Malah, "rdk ada yang dapat kita banggakan sebagai suatu hasil kongres para ahli hukum." Menurut Tasrif, keputusan kongres kali ini, "tidak tepat menganalisa keadaan bangsa dan negara yang waktu ini sedang memerlukan perbaikan." Pokoknya tak ada kejutan di bidang hukum dalam rembugan para advokat kali ini. Agaknya memang begitu. "Padahal kita perlu kejutan untuk kita sendiri," sambut pengacara Yap Thiam Hien. ''Setelah tiga hari berturut-turut, berbicara berapi-api, keputusannya kok rendah sekali nilainya." Tiga hari berbicara soal hukum dan keadilan, "tapi keputusannya tak ada yang menyangkut soal hak azasi manusia." Maunya Yap,"kita harus mengikrarkan: advokat harus membela hak-hak rakyat." Hak rakyat itu banyak Hak rakyat atas pemenuhan rasa keadilan yang dirasa berkurang. Sebab, "pengadilan sudah merosot nilainya oleh penyelewengan para penyelenggara badan peradilan." Para advokat, menurut Mr Yap, "harus berpartisipasi dalam memperhatikan eks tahanan G 30 S: Agar mereka betul-betul bebas tidak bebas dari Pulau Buru masuk ke 'buru' yang lain". Sebenarnya kongres memang "tak hanya nol besar hasilnya," seperti kata Yap pula. Peserta kongres, lebih dari 100 advokat yang bersemangat, cukup berbicara mengenai banyak hal. Apalagi Adnan Buyung Nasution SH. "Tak ada orang berbicara seberani Buyung," komentar Yap. Dan ini dia darahnya. Begitu Tasrif menyatakan kekecewaannya, kontan Buyung berdiri dan berseru: "Cabut UU Subversi. Dan sebagai konsekwensinya, bubarkan Kopkamtib dan diganti dengan lembaga lain yang konstitusionil," (TEMPO, Nasional, 15 Oktober). Yap bertanya: "Apakah yang dapat dilakukan Peradin untuk itu hanya berkaok-kaok saja?" Tentu saja tidak. Maka Buyung dengan lantang mengusulkan (dan ini kemudian yang menjadi ciri organisasi Peradin, yang diikrarkan, setelah Tasrif menilai kelesuan keputusan kongres): "Peradin tak akan menghasilkan apa-apa bagi masyarakat dengan cuma appeal-appeal kepada pemerintah. Peradin harus merubah wajahnya menjadi suatu organisasi perjuangan -- yang kata-katanya dapat didengar dan diperhatikan masyarakat dan pemerintah." Nah, misalnya, dalam pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum (LBH) di daerah. Kata Buyung: "Bentuk LBH segera di daerah tanpa tunggu izin atau green-light dari pemerintah. Bentuklah dengan semangat perjuangan - tidak usah minta-minta." LBH Jakarta, menurut Buyung dibentuk juga tanpa izin hanya berikutnya dikukuhkan oleh Pemda DKI zaman Ali Sadikin (kemudian disertai subsidinya yang lumayan!). Layu Sebelum Berkembang Apalagi jika daerah memang membutuhkan. Utusan Peradin dari Semarang misalnya, dapat menunjukkan perlunya LBH di Jawa Tengah. Rakyat, yang kena penggusuran -- padahal telah menempati tanahnya sejak tahun 1930 - tak memperoleh perlakuan yang semestinya. Juragan becak di Semarang, yang mengelola sekitar 12.000 tukang becak, dikenai pajak di luar batas kemampuan. Pedagang kakilima tergusur hanya karena alasan modernisasi kota saja. Di Sragen ada 2 kasus tanah rakyat. Di Jepara ada petani penggarap yang dirugikan oleh panitia andreform. "Semuanya melaporkan persoalannya kepada Peradin," kata Woerjanto SH dari Semarang. Hak-hak rakyat itu akan lebih mendapat perhatian seandainya Peradin Semarang punya LBH. "Tapi LBH kami layu sebelum berkembang," kata Woeryanto. Sebab, tambahnya, begitu LBH hendak bangun ia sudah dipanggil Kodam Jawa Tengah: dilarang tegak. Alasannya? "Instruksi Kopkamtib," Menurut Woeryanto. "Padahal kami sudah sJft," katanya. "Sebelum menggugat pejabat, kami akan bicara lebih dulu " Peradin daerah lain, seperti Medan dan Palembang, juga mengalami perlakuan yang sama dari penguasa daerah. Betulkah Kopkamtib melarang? Itu dulu. Sekarang Kas Kopkamtib Sudomo bersikap lain. "LBH itu bukan urusan Kopkamtib lagi," ujar Sudomo, dan lagi "Kopkamtib bukan biro izin-izin, jadi buat apa minta izin kepada saya' Kopkamtib hanya mengurus soal politik. Jadi surat-surat tak usah ditembuskan kepada Kopkamtib." Jalan sudah licin bagi pembentukan LBH? Barangkali begitu. Tinggal kini ada advokat sendiri. Lembaga resmi, menurut Menteri Kehakuman Mochtar Kusumaatmaja yang hadir dalam resepi penutupan kongres bersama Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji, sebenarnya apa perlunya? "Semua advokat sebenarnya harus jadi lembaga bantuan hukum bagi rakyat," kata Menteri. Kalau mau. Sebab, "advokat kadang-kadang pilih bulu: hanya menerima klien yang berani bayar mahal saja." Tak semuanya. "Tapi lebih banyak yang klimis," kata Mochtar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus