SAYA menyambut baik penyelesaian dualisme kepemimpinan dalam tubuh Polri. Yang menjadi pekerjaan rumah sekarang adalah ditempatkan di mana selanjutnya, Jenderal Chaerudin Ismail. Dilihat dari track record yang kelihatan selama ini, Chaerudin adalah seorang intelektual yang mempunyai reputasi yang baik. Kalaupun akhirnya sekarang terpojok, itu hanyalah masalah kecelakaan. Menurut saya, ada dua sisi untuk menilai alasan Chaerudin menerima tawaran menjadi Wakapolri, selanjutnya Pjs. Kapolri.
Pertama, dari kacamata hukum. Presiden waktu itu mempunyai wewenang untuk mengeluarkan keppres. Chaerudin menganggap Presiden adalah panglima tertinggi yang melebihi Kapolri, sehingga sebagai polisi dia siap menjalankan perintah atasannya. Dan Chaerudin memandang ini adalah kesempatan untuk melakukan pem-benahan di tubuh Polri. Memang, belum ada per-setujuan DPR, namun waktu itu legislatif dan eksekutif sedang bertikai, sehingga apa pun keputusan eksekutif tak akan direstui oleh legis-latif.
Kedua, dari kacamata politik, Chaerudin memang tidak bisa membaca angin, karena waktu itu posisi Gus Dur sedang di bawah angin, secara politik keinginan untuk ”memberhentikan Gus Dur memang sudah besar”. Bimantoro tidak mau disuruh mundur atasannya (presiden), DPR mencurigai Gus Dur akan memanfaatkan Polri sebagai senjatanya. Kalau akhirnya Chaerudin tersingkir itu bukan masalah benar atau salah, hanyalah masalah politik. Di masa datang, presiden dalam mengangkat Kapolri harus mendapat persetujuan DPR, yang patut diwaspadai jangan sampai Kapolri adalah titipan partai politik tertentu.
Buat Pak Bimantoro, selamat bertugas, Tuhan memberkati. Buat Pak Chaerudin, hanya Bapak dan Tuhanlah yang tahu niat Bapak ketika menerima jabatan tersebut, dan Tuhan jualah yang akan menggantinya.
WELNALDI
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini