Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Tragedi Mina

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tragedi Mina terjadi lagi. Pada Kamis pekan lalu, tubrukan antarjemaah haji menyebabkan ratusan orang tewas akibat terinjak dan terjepit-lima kilometer di luar Kota Mekah. Sekitar 800 orang terluka dan angka sementara yang tewas mencapai 717 orang. Sebagian besar jemaah dari Afrika.

Kejadian itu mengingatkan pada tragedi Mina lebih dari 20 tahun lalu. Waktu itu banyak yang tewas akibat iring-iringan pejalan kaki berdesakan di terowongan sepanjang 1 kilometer. Sebanyak 1.400 anggota jemaah tewas. Insiden yang terjadi pada 2 Juli 1990 itu diulas Tempo dalam edisi 21 Juli 1990.

Tulisan dimulai dari kekesalan pihak Indonesia karena merasa dibohongi oleh Amanah el-Ashimah el-Muqaddasah, semacam wali kota untuk ibu kota Tanah Suci, yang mengatakan bahwa jenazah haji Indonesia korban terowongan Al-Muaisim sudah dikebumikan dua hari setelah peristiwa itu di Mekah (300 orang), Mina (200 orang), dan selebihnya di Arafat dan Muzdalifah.

Berita itu tiba di Jakarta Jumat sore. Menteri Agama Munawir Sjadzali sungguh kesal mendengarnya. "Hal ini tidak diinformasikan kepada kita sebelumnya," katanya. Padahal, berdasarkan keterangan pihak Arab Saudi, Munawir sendiri menyatakan ihwal pemakaman jenazah masih dicarikan tempat.

Soalnya, pihak Indonesia minta para syuhada Indonesia disatukan agar mudah bagi ahli warisnya nanti menziarahinya. Pihak Arab Saudi, diwakili oleh Menteri Luar Negeri Saud el-Faisal, Senin sepekan sebelumnya, masih menyanggupi permintaan itu.

Bila ternyata Senin itu sudah sekitar lima hari para syuhada dimakamkan, kemungkinan besar ini karena panitia di Arab Saudi tak terkoordinasi dengan baik. Setidaknya informasi yang akurat tak luas disampaikan ke semua pihak.

Sementara itu, musabab terjadinya peristiwa masih belum jelas juga. Berdasarkan keterangan mereka yang selamat, banyak yang menduga adanya kesengajaan. Koresponden Tempo sampai awal pekan itu mengumpulkan sejumlah kesaksian dari jemaah haji yang masih tinggal di Mekah, dan kebetulan cerita mereka mirip.

Kata seorang anggota jemaah yang sedang dirawat, ketika terowongan Al-Muaisim sudah padat dengan jemaah, sekitar pukul 08.00, 2 Juli waktu setempat, tiba-tiba terdengar bunyi "priit" dari arah dua mulut terowong. Setelah itu, gerombolan manusia berdatangan dari kedua mulut terowongan, mendesak ke tengah. Akhirnya korban berjatuhan, pekik dan rintih sayup-sayup terdengar lemah. Apakah "priit" itu?

Sejumlah anggota jemaah yang lain bercerita begini. Sewaktu memasuki terowongan sekitar pukul 03.00, mereka memergoki seseorang sedang membuka pintu gardu listrik. Orang itu menutup pintu gardu kembali ketika mereka lewat. Tapi, begitu mereka berlalu, orang itu membukanya lagi. "Saya ingat kembali pada orang itu setelah peristiwa yang membawa korban ini," kata anggota jemaah yang tak mau disebutkan namanya itu.

Ada sabotase atau tidak, kejadian ini membuat Raja Fahd malu dan marah. Ia memanggil semua yang terlibat dalam kasus terowongan ini untuk dimintai penjelasan dan pertanggungjawaban. Di antaranya para kontraktor dan teknisi terowongan. Juga aparat keamanan. Untuk menjelaskan segalanya kepada Indonesia, awal pekan ini tiba di Jakarta Menteri Perindustrian Abdul Aziz al-Azamil.

Tapi memang belum semua pihak di Arab Saudi bisa memahami kemauan Indonesia. Misalnya, setelah diketahui para syuhada Indonesia sudah dimakamkan, Kedutaan Besar Republik Indonesia minta diantarkan ke makam. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh KBRI untuk mendokumentasikan dalam bentuk foto dan film video.

Tapi para petugas Arab Saudi melarangnya. Bahkan ada kamera yang hampir dibanting oleh penjaga kuburan. Mengapa ini semua terjadi? Dalam hal permakaman, menurut Profesor Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Arab Saudi tidak salah. Jenazah memang harus cepat dimakamkan dalam 24 jam.

Kesalahan kita, menurut Ibrahim, terlalu berhubungan dengan yang di atas. Sementara itu, orang yang berwenang, dalam hal ini yang bertugas memakamkan, tidak dihubungi. Kalau itu sempat dilakukan, mungkin permakaman bisa ditunda.

Seandainya pun permintaan Indonesia agar para syuhada Indonesia disatukan makamnya itu disetujui, dari segi akidah yang dianut Saudi hal ini sulit dilaksanakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus