Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga perempuan berjarit, berkebaya, dan bersanggul sedang berjalan di antara rimbun hutan jati. Seorang di antaranya menoleh ke kamera. Mereka menggendong bakul (wadah dari bambu). Lukisan berjudul Ones Who Looked at the Presence: Jati itu merekam sebuah fragmen masa kelam penjajahan Belanda. Lukisan itu mengajak kita melihat bagaimana pribumi yang ditindas di Hindia Belanda menatap kamera.
Lukisan berukuran 35 x 50 sentimeter itu adalah satu dari 95 lukisan berukuran sama karya perupa Otty Widasari yang dipajang dalam pameran bertajuk ''Ones Who Looked at the Presence'' di Ark Galerie, Yogyakarta, 10 September-15 Oktober 2015. Total ada 101 lukisan berbahan akrilik di atas kertas. Sebanyak 95 karya berukuran 35 x 50 sentimeter dan 6 lukisan berukuran 2 x 1,5 sentimeter.
Semuanya digambar Otty berdasarkan rekaman kamera yang dilakukan penjajah kolonial di Indonesia, yakni di Balikpapan, Banjarmasin, Toraja, Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Lamalera (Kabupaten Lembata), dan Papua. Otty Widasari melakukan riset di Tropenmuseum, museum di Amsterdam, Belanda. Fokusnya adalah foto-foto kolonial dan gambar bergerak. Ia ingin melihat bagaimana reaksi orang-orang di Nusantara pada masa itu terhadap kamera.
Kamera ditemukan pada awal 1900-an oleh orang-orang Eropa. Kamera adalah teknologi yang digunakan selama penjajahan. Dokumen yang Otty riset berlatar 1912-1914. Selain memamerkan lukisan, Otty menampilkan empat video hasil rekaman kolonial. Satu di antaranya berjudul Jati Goes to Rotterdam. Video berdurasi 6 menit 30 detik itu menampilkan pengiriman gelondongan kayu jati yang diletakkan di atas lori melalui rel kereta api. Kayu jati itu dikirim menuju pelabuhan besar di dunia, Rotterdam, Belanda. Dalam video itu terlihat bagaimana orang-orang pribumi yang berada di atas lori dan mengangkut kayu menatap kamera.
Otty memulai video itu dengan menampilkan hutan jati di Blora, Jawa Tengah. Lalu ada video arsip kolonial, gudang pelabuhan Rotterdam, kolong sungai, taman, dan kafe. Pada menit-menit terakhir, ditampilkan hutan jati di kawasan Sumedang, Jawa Barat. Kawanan sapi melintasi alas jati penuh guguran daun kering. Otty menciptakan video itu dengan menonton semua rekaman gambar bergerak yang ia kumpulkan dari museum di Belanda.
Otty lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur, 12 September 1973. Ia sempat menempuh pendidikan jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Tapi tak rampung. Otty kemudian menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta pada 2013. Otty merupakan seniman, filmmaker, penulis, kurator, dan aktivis media. Dia satu di antara pendiri Forum Lenteng.
Sejak 2008 hingga kini, ia menjadi Direktur Program Pendidikan Media Berbasis Komunitas, Akumassa, Forum Lenteng. Otty juga kurator film di Arkipel-Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival. Sebagai seorang pembuat film, ia telah membuat film dokumenter berjudul Naga yang Berjalan di Atas Air (2012), yang telah dipresentasikan di 4th DMZ International Documentary Film Festival, Korea Selatan.
Kurator pameran, Manshur Zikri, mengatakan Otty melakukan perekaman antropologi atas peristiwa masa lalu. Otty menangkap wajah dan gestur tubuh subyek yang terekam kamera kolonial. Dia lalu mengidentifikasi orang yang melihat ke arah kamera dan yang tidak. Hanya sedikit orang yang dijajah melihat ke kamera dengan gestur yang menunjukkan ia mengerti fungsi teknologi itu.
Kesimpulan Otty menarik. Rata-rata warga pribumi melihat ke kamera dengan tatapan datar atau pose canggung. Itu berbeda dengan orang-orang Belanda sendiri, yang secara sadar menanggapi kamera yang membidik mereka sebagai alat untuk mengabadikan peristiwa. Pose-pose orang Belanda di tanah jajahan sering sambil mengangkat topi atau melambaikan tangan.
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo