Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelanggaran Hukum oleh Negara
SAAT saya masih menjadi pegawai bank, beredar pemeo yang berbunyi: Pasal 1, pemimpin tidak pernah salah; Pasal 2, kalau pemimpin salah, lihat Pasal 1. Pemeo ini menjadi banyolan ketika ada pemimpin yang salah tapi tidak mengaku bersalah. Situasi saat ini mirip dengan pemeo tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita bisa melihat dan merasakan ada kesalahan yang terjadi, tapi kita seolah-olah tidak berkutik dan tidak berdaya. Bivitri Susanti, dosen ilmu hukum di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta, menulis bahwa negara mempunyai legitimasi hukum sebagai kekuasaan yang sah. Nyatanya, negara juga bisa melanggar hukum, baik secara kolektif dalam pelanggaran hak asasi manusia maupun dalam kasus perorangan, seperti korupsi. Bahkan negara dapat membuat hukum sehingga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ditentukan sendiri olehnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim Mahkamah Konstitusi dalam pengadilan dugaan kecurangan Pemilihan Umum 2024 jelas menunjukkan ada kesalahan pemimpin. Seharusnya ini menjadi catatan penting agar pemeo pemimpin tak pernah salah tidak berlaku lagi di masa kini.
Kosmantono
Purwokerto, Jawa tengah
Kekuasaan Presiden
APAKAH ada aturan bahwa presiden bisa mencopot wakil presiden dari jabatannya? Atau ada aturannya di Dewan Perwakilan Rakyat? Saya tidak bisa membayangkan kacaunya pemerintahan andaikan di tengah jalan Prabowo Subianto yang sudah sepuh tiba-tiba meninggal atau jatuh sakit sehingga tampuk kekuasaan diserahkan kepada wakilnya.
Permainannya di awal pemilihan umum saja sudah licik. Maka tak tertutup kemungkinan ia akan brutal ketika menjadi pejabat. Seandainya Prabowo bisa mencopot dan menggantikan wakilnya, tentu saja itu menjadi kabar gembira bagi kita semua.
Indonesia lebih dulu merdeka daripada Singapura dan Malaysia. Negara kita ini juga lebih kaya dari kedua negara itu. Tapi malah kedua negara itu yang lebih maju daripada negara kita. Pemerintahan Indonesia memang benar-benar darurat.
Hardi Yan
Tembilahan, Riau
Kenaikan UKT
SEBUAH kata sederhana tapi memiliki makna yang dalam serta luas adalah empati. Kata ini mencerminkan akhlak serta tata nilai yang jauh dari kepentingan serta pembenaran diri. Kata itu dalam bahasa Inggris sering dikaitkan dengan kata lain: compassion.
Sebagai orang awam, saya mencoba memberikan gambaran pemahaman tentang dua kata tersebut dalam kaitannya dengan timbulnya silang pendapat masalah uang kuliah tunggal (UKT) perguruan tinggi. Munculnya tentangan terhadap kebijakan ini dan kemudian diikuti pembatalannya mencerminkan suatu watak kepemimpinan.
Tiadanya pengenalan mendalam tentang keadaan masyarakat luas menafikan rasa empati dan welas asih terhadap mereka yang kurang beruntung secara sosial-ekonomi tapi memiliki asa tinggi untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Harapan tersebut pada masa perjuangan kemerdekaan digaungkan Sutan Sjahrir sebagai people’s intelligentsia. Diutamakannya mutu manusia sebagai pusat awal keberhasilan suatu bangsa dapat kita saksikan di Cina, Korea Selatan, Jepang, dan berbagai bangsa lain yang unggul dalam percaturan dunia.
Mereka menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukan membeli kemajuannya. Kereta api kilat di Cina, misalnya, tumbuh sebagai hasil upaya mencerdaskan bangsa. Tak berhenti di situ, korporasi Cina, BYD, dapat mengungguli Tesla sebagai pelopor kendaraan listrik. Ini bukanlah pemborosan belanja negara, melainkan hasil pembinaan manusia cerdas dan tangguh. Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai dalam budaya nepotisme serta pemenuhan syahwat kekuasaan semata.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta Pusat