Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dari Pigmi sampai Kathmandu

Berbagai etnomusikolog dunia berkumpul di Galeri Cemara, Jakarta. Mereka membicarakan perubahan, proses, dan ancaman pemiskinan musik dan tari tradisional Indonesia.Slamet Abdul Syukur. Miskin sponsor.

21 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESEMBER tahun lalu, Slamet Abdul Syukur menonton sebuah pertunjukan di Chatelet Theater, Paris, Prancis. Ia terperangah. Pertunjukan ini terdiri atas dua bagian. Pertama, sebuah piano dengan ansambel sebelas orang yang memainkan karya Gyorgi Ligeti, komposer berkebangsaan Yahudi-Hungaria. Komposisi Ligeti hanya menggunakan tiga nada yang semuanya dimainkan solis dan penuh loncatan nada, ritme, turun-naik bak akrobat.

Pertunjukan kedua adalah penampilan rombongan suku Pigmi dari Aka, Afrika. Dua puluh orang dari suku yang disebut-sebut memiliki tubuh terpendek di dunia itu muncul di panggung. Lalu, keluarlah sebuah musik yang instrumennya hanya mulut. Aneka ragam nuansa bunyi dengan memanfaatkan elemen mulut (bibir, gigi, lidah) muncul. Jumlah nada sedikit tapi penuh kompleksitas.

Slamet terhenyak. Ia seolah disuguhkan suatu pembuktian adanya hubungan estetika tersembunyi antara musik peradaban tinggi dan musik suku asli. "Komposisi musik kontemporer dan hutan belukar ternyata banyak persamaannya," tutur Slamet. Apa yang diceritakan Slamet Abdul Syukur pada dasarnya menjadi keyakinan para etnomusikolog, komposer, dan antropolog yang berbagi pengalaman selama empat hari, pekan lalu, dalam Forum International des Arts Traditionnels, yang diselenggarakan Pusat Kebudayaan Prancis.

Mereka yang hadir atau yang hanya mengirimkan kertas kerjanya menceritakan pengalamannya menyelamatkan musik tradisi. Satu yang disimpulkan dari pembicaraan itu adalah identitas nasionalisme atau bahkan agama, suatu hari, akan mampu "memusnahkan" kekayaan musikal musik tradisional. Gert Matthias Wagner, etnomusikolog asal Jerman yang berdomisili di Bhaktapur, Nepal, sejak 1983, bercerita tentang masyarakat Bhaktapur yang memiliki 68 kasta. Setiap kasta memiliki jenis musik masing-masing. Sejarah kuno lembah Kathmandu terdiri atas kerajaan Kathmandu, Patan, dan Bhaktapur, yang berbahasa Tibet-Burma. Pada 1750, Prithvi Narayan Sah menguasai ketiga kerajaan itu dan menjadikan bahasa Gorkhali sebagai bahasa resmi. Inilah awal identitas Nepal. Saat Phan Rana berkuasa pada 1856, ia mengisolasi Nepal dari dunia luar dan menjadikan wilayah itu sebagai surga ritual tak terjamah.

Setelah 100 tahun lamanya tertutup, pada 1950, Nepal mengalami modernisasi dan mulai terbuka untuk dunia luar. Seolah tak terelakkan, film-film musik Bombai mulai menyerbu Nepal. Wagner mulai mendokumentasikan berbagai musik ritual yang lambat-laun menghilang. Menurut Wagner, semua compact disc (CD) yang beredar di Nepal tak merekam musik tradisi murni—kecuali aransemen komersial melodi tradisional.

Pada 1999, Wagner berhasil merekam lagu-lagu sherpa—kuli pengangkat barang—Pegunungan Himalaya yang ada semenjak 300 tahun silam ke dalam bentuk CD. Prestasi terbesar Wagner adalah berdirinya sekolah musik The Kathmandu University Department of Music di kuil Bhaktapur. Ujian sekolah musik ini diakui oleh School of Oriental and African Studies London (SOAS).

Forum ini juga diwarnai sikap kritis terhadap misionaris agama. Para musisi itu menyimpulkan bahwa ternyata telah terjadi pemiskinan musik tradisional di daerah yang menjadi lokasi misionaris. Salah satunya disebabkan oleh penetrasi musik gereja yang menghilangkan kompleksnya dan ragamnya bunyi musik ritual. Ini disampaikan oleh Dana Rapport dari Laboratoire d'Ethnomusicologie du Musee de l'Homme, Prancis, yang membahas perubahan sosial musik Toraja. Rapport melaporkan, musik Toraja yang kaya lambat-laun menjurus ke satu model musikal karena pengaruh musik Kristiani dan "paksaan" turisme.

Penelitian Rithaony Hutajulu di Batak menemukan fenomena yang sama. Ia melihat misalnya gondang Batak, yang sebelumnya sangat berperan dalam dunia ritual Batak sehari-hari, dari pemakaman sampai perkawinan. Ternyata, setelah pengaruh agama datang, musik tradisional ini semakin memudar. Prosesi religius, misalnya, digantikan lagu semacam Bach dengan unsur utama alat musik tiup brass. Apalagi, belakangan gondang diizinkan hanya untuk kesempatan khusus adat. Menurut staf pengajar Universitas Sumatra Utara itu, timbul stigmatisasi bahwa gondang adalah sebuah instrumen unchristian (tidak bersifat Kristiani) yang harus dijauhi. Toh, beberapa daerah menolak interpretasi ini. Masyarakat Parmalim, misalnya, mempertahankan kepercayaan ritualnya dari "serbuan" ini. Di antara masyarakat Parmalim, gondang tetap menjadi alat ekspresi spiritual utama.

Beberapa peserta diskusi menganalisis keberhasilan instrumen tradisional sebagai bagian dari kultur pop mutakhir. Taiko—tambur Jepang—misalnya, menurut Yoshitaka Terrada dari Universitas Washington, turut serta dalam mainstream kebudayaan pop Amerika. Diperkenalkan oleh imigran Jepang pada 1880-an di Hawaii, taiko mengalami perubahan watak dan keluar dari stereotip lama. Ia populer sebagai ekspresi anak muda Amerika, mulai klip sampai film.

Yang menarik adalah perjalanan kulintang ke Amerika. Kulintang berasal dari Mindanao, Kepulauan Sulu, Filipina, dan lebih banyak dimainkan komunitas muslim. Setelah Imelda Marcos membawa kulintang ke Amerika, komunitas Katolik-Filipino-American kemudian mengembangkannya.

Tak ada yang membahas seberapa jauh sekarang gamelan telah "menjajah" Amerika atau Eropa. Tapi, kita tahu, maestro gamelan kita seperti Sumarsam telah lama menjadi guru besar di Universitas Wesleyan dan sering bekerja sama dengan komponis avant-garde Alvin Lucier. Paul Gautama dengan Musik Leluhur Baru-nya juga mendapat tempat di kalangan musik kontemporer Eropa. Penerbit musik beken Barat untuk world music juga telah banyak menampilkan CD musik etnis Indonesia. Dan hasil dokumentasi musikolog Philp Yampolsky terhadap musik ritual dari Mentawai, Batak, sampai Banyuwangi kini menghasilkan kurang-lebih 20 CD yang beredar di luar negri. Sementara itu, almarhum Nusrat Fateh, maestro khawali—jenis musik tradisional Pakistan—dari Pakistan, begitu melejit menjadi sosok musisi dunia setelah ia "ditemukan" oleh Peter Gabriel.

Acara diskusi yang dilanjutkan dengan pertunjukan gambang kromong, teater gambuh, dan topeng Cirebon itu menyimpulkan satu hal: musik tradisional harus tetap dipertahankan. Dan kita membayangkan Ibu Rasinah, maestro topeng Cirebon itu, atau To'Et, didong Aceh, bisa melejit bak Fateh di panggung dunia.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus