DIBUKA oleh Presiden Soeharto. ditutup oleh Wakil Presiden Adam
Malik, dan dibiayai oleh Pemda Sumatera Barat, Kongres PWI ke
XVI di Padang sungguh lancar. Tapi sekembalinya dari sana
pekan lalu. Adam Malik, bekas wartawan, memberi petuah pada
yang muda-muda ketika berbicara santai dalam pesawat udara dari
Padang. Apabila PWI terlampau banyak menggantungkan diri
kepada pemerintah, maka dengan sendirinya PWI dihadapkan kepada
suatu keadaan di mana organisasi ini akan lebih banyak mendengar
perintah saja," ucap Adam Malik seperti diberitakan Sinar
Harapan.
Bila pemerintah banyak campur tangan dalam PWI, dialog dalam
pesawat tadi mempersoalkannya. Itu sama-sama diakui tidak sehat.
Tapi kongres di Padang itu "menghimbau" antara lain supaya:
Meningkatkan pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggungjawab.
Persolan ialah mencari keseimbangan, jangan cuma tanggungjawab
pers dituntut terlalu banyak hingga menyebabkan kebebasannya
berkurang.
SIT (Surat Izin Terbit) dicairkan pemerintah terutama di daerah
yang belum ada korannya. Hidup dengan SIT minta ditinjau
kembali.
Konsensus Jaksa Agung/PWI (tentang pemanggilan wartawan oleh
pihak berwajib) agar dilaksanakan secara konsisten. Di daerah
terutama belum konsisten.
Mendesak anggota agar mengtaati kode etik jurnalistik. Ini
sering diabaikan wartawan kini, hingga martabatnya diragukan.
Kode etik itu menjadi tugas Dewan Kehormatan PWI untuk
menanganinya bila terjadi pelanggaran. Kongres terakhir ini
memilih Suardi Tasrif, bekas wartawan yang kini menjadi
pengacara, sebagai ketua Dewan itu. Ditunjuk pula sebagai
anggotanya Manai Sophian, Goenawan Mohamad, Alex Alatas dan H.M.
Hamidy. Tadinya, dalam periode 1973-78, Mahbub Djunaedi yang
masih ditahan pihak berwajib menjadi ketuanya. Tasrif sudah
menjadi anggotanya sejak 1965. Bukan asing lagi baginya dewan
itu, yang selama ini sebenarnya kurang berdaya. "Kami melihat
(pelanggaran kode etik)," kata Tasrif pada TEMPO. "Tapi kalau
yang bersangkutan tidak mengadu, ya kami tidak bisa berbuat
apa-apa."
Praktek bagaimana yang dianggap melanggar? Tasrif memberi contoh
Pemerasan atau mencari imbalan dengan "amplop" atas suatu
pemberitaan.
Pemberitaan yang bersifat "iklan tersembunyi".
Tentang "amplop" itu, diakuinya sukar dibasmi, tapi "harus ada
kesadaran wartawan, pemilik media, masyarakat maupun penguasa"
bahwa itu pelanggaran kode etik. "Bukan hanya masyarakat, tapi
juga instansi pemerintah memancing pelanggaran itu. Kita lihat
saja, beberapa Humas sengaja memelihara wartawan."
Bila kode etik itu dipegang, demikian Tasrif lagi, pers yang
bebas dan bertangungjawab seperti yang dikehendaki pemerintah
sudah dengan sendirinya terwujud. "Jadi, sebenarnya penguasa
tidak perlu setiap kali menjewer pers karena alasan itu. Lebih
baik (pemerintah) membantu pelaksanaan kode etik kewartawanan
sebaik-baiknya."
Tapi, seperti Kompas mengemukakannya sesudah Kongres PWI,
"mungkin ada (wartawan) yang membacanya pun belum pernah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini