Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kode Etiknya Belum Terbaca

Wartawan diminta menghayati kode etik jurnalistik. Masyarakat dan pemerintah supaya jangan lagi memancing pelanggaran, diantaranya dengan menyuap wartawan. (md)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBUKA oleh Presiden Soeharto. ditutup oleh Wakil Presiden Adam Malik, dan dibiayai oleh Pemda Sumatera Barat, Kongres PWI ke XVI di Padang sungguh lancar. Tapi sekembalinya dari sana pekan lalu. Adam Malik, bekas wartawan, memberi petuah pada yang muda-muda ketika berbicara santai dalam pesawat udara dari Padang. Apabila PWI terlampau banyak menggantungkan diri kepada pemerintah, maka dengan sendirinya PWI dihadapkan kepada suatu keadaan di mana organisasi ini akan lebih banyak mendengar perintah saja," ucap Adam Malik seperti diberitakan Sinar Harapan. Bila pemerintah banyak campur tangan dalam PWI, dialog dalam pesawat tadi mempersoalkannya. Itu sama-sama diakui tidak sehat. Tapi kongres di Padang itu "menghimbau" antara lain supaya:  Meningkatkan pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggungjawab. Persolan ialah mencari keseimbangan, jangan cuma tanggungjawab pers dituntut terlalu banyak hingga menyebabkan kebebasannya berkurang.  SIT (Surat Izin Terbit) dicairkan pemerintah terutama di daerah yang belum ada korannya. Hidup dengan SIT minta ditinjau kembali.  Konsensus Jaksa Agung/PWI (tentang pemanggilan wartawan oleh pihak berwajib) agar dilaksanakan secara konsisten. Di daerah terutama belum konsisten.  Mendesak anggota agar mengtaati kode etik jurnalistik. Ini sering diabaikan wartawan kini, hingga martabatnya diragukan. Kode etik itu menjadi tugas Dewan Kehormatan PWI untuk menanganinya bila terjadi pelanggaran. Kongres terakhir ini memilih Suardi Tasrif, bekas wartawan yang kini menjadi pengacara, sebagai ketua Dewan itu. Ditunjuk pula sebagai anggotanya Manai Sophian, Goenawan Mohamad, Alex Alatas dan H.M. Hamidy. Tadinya, dalam periode 1973-78, Mahbub Djunaedi yang masih ditahan pihak berwajib menjadi ketuanya. Tasrif sudah menjadi anggotanya sejak 1965. Bukan asing lagi baginya dewan itu, yang selama ini sebenarnya kurang berdaya. "Kami melihat (pelanggaran kode etik)," kata Tasrif pada TEMPO. "Tapi kalau yang bersangkutan tidak mengadu, ya kami tidak bisa berbuat apa-apa." Praktek bagaimana yang dianggap melanggar? Tasrif memberi contoh  Pemerasan atau mencari imbalan dengan "amplop" atas suatu pemberitaan.  Pemberitaan yang bersifat "iklan tersembunyi". Tentang "amplop" itu, diakuinya sukar dibasmi, tapi "harus ada kesadaran wartawan, pemilik media, masyarakat maupun penguasa" bahwa itu pelanggaran kode etik. "Bukan hanya masyarakat, tapi juga instansi pemerintah memancing pelanggaran itu. Kita lihat saja, beberapa Humas sengaja memelihara wartawan." Bila kode etik itu dipegang, demikian Tasrif lagi, pers yang bebas dan bertangungjawab seperti yang dikehendaki pemerintah sudah dengan sendirinya terwujud. "Jadi, sebenarnya penguasa tidak perlu setiap kali menjewer pers karena alasan itu. Lebih baik (pemerintah) membantu pelaksanaan kode etik kewartawanan sebaik-baiknya." Tapi, seperti Kompas mengemukakannya sesudah Kongres PWI, "mungkin ada (wartawan) yang membacanya pun belum pernah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus