Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hari ini gavino, besok kamu

Tujuh film dari negara mee ditampilkan kine klub di teater tertutup tim. wajah benua eropa dengan latar belakang alam, masyarakat, dan kwalitas sinematografi. penggarapannya bagus.(fl)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH buah film negara Pasaran Bersama Eropa dipilih Kine Klub untuk menampilkan wajah-dalam benua itu -- 27 Nopember s/d 4 Desember - di Teater Tertutup TIM. 4 kali main setiap hari, dengan mendapat kunjungan besar. Semuanya memiliki warna masing-masing, dengan latar belakang alam masyarakat, kwalitas sinematografi. Kecenderungan mereka bervariasi, tetapi hampir semuanya seperti digerakkan oleh sikap kemanusiaan -- dan meninggalkan rasa intim. Petualangan Peterson Film Der Lord von Barmbeck (Jerman), disutradari oleh Ottokar Rune. Tentang petualangan Julius Adolf Peterson, penjahat dan pembongkar penjara terkenal di Hamburg yang dijuluki Lord von Barmbeck. Film berdasar laporan polisi dan catatan pribadi Peterson sendiri yang ditinggalkan sebelum mati. Penuturan kisahnya menarik. Dimulai dengan kematian Peterson yang gantung diri di jendela penjara, yang dibuat dengan teliti dan dramatik. Kemudian muncul wajah Peterson mewakili catatan yang ia tinggalkan. Ia bercerita tentang masa lalu yang mengantarkannya jadi penjahat. Berulang-ulang, tanpa usaha memikat orang untuk memihak. Ia bicara intim tentang sukses, penderitaan, juga secara tidak langsung kebutuhan orang sekitar. Memang tidak istimewa, tapi kita melihat seorang penjahat bukan sebagai hero. Kota Khayalan Malpertuis, film Belgia yang dibuat thun 1973, istimewa karena beberapa hal. Di dalamnya ikut serta Orson Welles, bermain sebagai seorang paman yang sedang sekarat. Inilah satu-satunya film surealis dalam pekan ini. Sedang adegan-adegannya dijiwai oleh warna dan keindahan yang menjadi nafas film Fellini. Sutradaranya bernama Harry Kumel. Didukung oleh Susan Hampshire yang sekaligus memainkan 3 peran. Tokoh utama, Yan, adalah seorang kelasi yang sedang ditunggu kedatangannya oleh pamannya, Cassavius, di Desa Malpertuis. Cassavius sedang sekarat - ia menyuruh seluruh keluarga datang ke tempat tidur. Yan semula tidak mau turun ketika kapalnya mendarat. Ia hanya berusaha mengejar seorang cewek yang dikiranya kakaknya, Nancy. Ia terdampar ke dalam sebuah bar, dan akhirnya terkapar di sana karena dipukul. Waktu siuman Yan mendapati dirinya berada di rumah pamannya yang misterius, bersama Nancy. Rumah itu sangat fantastis. Yan hampir saja pergi, tapi Nancy mencegah. Akhirnya ia terikat dalam rumah untuk memikul wasiat pamannya bersama semua orang. Siapa yang bisa selamat sampai akhir, dialah yang berhak mewarisi seluruh kekayaan, ceritanya. Yan akhirnya sempat lari. Tapi tiba-tiba ia mendapati dirinya kembali di rumah cewek yang menyelamatkannya dari perkelahian di bar. Dari sini, kejadian di rumah pamannya seakan mimpi. Yan keluar. Berjalan di sebuah kota yang sunyi. Waktu memasuki sebuah toko tua, tiba-tiba ia masuk lagi dalam kisah pamannya untuk melanjutkan cerita yang putus tadi. Yan hampir saja terbunuh, tapi muncul tokoh Euryale yang menyelamatkannya. Euryale menjelaskan tokoh-tokoh yang dijumpai Yan adalah dewa-dewi mitologi Yunani. Euryale sendiri lambang cinta kasih, dewi terakhir yang masih diingat orang dan akan menolong. Kisah itu kemudian kabur karena disambung adegan Yan di rumah sakit gila masa kini. Ia dianggap pasien yang baru saja sembuh, dan diizinkan pulang. Isterinya menjemput. Tetapi di luar, ketika masuk sebuah pintu, tiba-tiba ia kembali berada di rumah pamannya di Malpertuis. Kisah berhenti. Orang yang mencoba mengurut cerita, kecewa. Yang lebih penting adalah gambar-gambar fantastis tadi, serta kesan kehidupan yang rahasia. Yang dipuaskan adalah imajinasi yang hidup lewat gambar-gambar puitis. Satu ketika misalnya, sebuah pintu dibuka dan terlihat sebuah kaki besar -- seperti imaji yang muncul dari lukisan Rene Margritte. Atau sebuah kota yang sunyi dan seorang lelaki berlari sambil berseru-seru memanggil seseorang. Seperti sebuah mimpi memang, dan sarat dengan buah fikiran tentang kondisi manusia di bawah permukaan. Tergolong film yang tentunya membuat ngeri para produser Indonesia. Usaha Yang Rawan Dummy Partner (Denmark), digarap Hans Kritensen, sutradara muda yang sudah menghasilkan The Escope dan Per yang dianggap produk sinema baru Denmark. Film ini (dalam folder diterjemahkan: Pasangan Semu) bercerita tentang usaha-usaha yang rawan untuk mencoba tegak. Latar belakang cerita usaha perusahaan asuransi yang hendak merobohkan rumah tua untuk menggantikannya dengan gedung baru. Tetapi inti cerita sesungguhnya adalah rasa haru tentang kenaifan Holger, seorang buta, dan sahabatnya Jesper -- sepasang orang kumal yang penuh angan-angan. Dengan film dan tape recorder mereka berusaha menyelidiki rencana pembongkaran gedung yang tidak mereka sukai itu. Tindakan mereka sampai pada usaha mencuri dokumen. Per, bajingan kecil dan tetangga kedua tukang mimpi itu, kebetulan sedang berusaha merubah nasibnya dengan menjadi pegawai di tempat kedua orang itu melakukan pencurian. Pencurian berhasil, tetapi Per mengembalikan dokumen-dokumen. Sedang Jesper dan Holger dengan konyolnya tertangkap. Jesper dimasukkan rumah sakit jiwa. Holger tinggal sendirian di gedung baru -- dengan tape recorder. Gambar terakhir film ini adalah bayangan Holger di sebuah jendela flat yang begitu besar, mengangkat tangan kanannya yang memegang tape -- untuk berkomunikasi dengan Jesper. Kesia-siaan. Secara ironis diperlihatkan ketidak berdayaan anggota masyarakat yang lemah, hanya tanpa disertai amarah sehingga tidak jatuh pada protes. Ia secara jernih ingin berkisah. Hans Kristensen menunjukkan pengamatan cermat serta berhasil melukiskan perasaan luka dengan hati yang dingin dan terkontrol. Adegan-adegannya tidak didramatisir, dibiarkan mengalir sederhana. Justru dengan demikian kekonyolan tokoh-tokohnya muncul dengan keren. Bapak Anak dan Ibu Monsieur Papa (Perancis, sutradara: Philippe Monnier), The Railway Children (Inggeris, sutradara Lionel Jeffries) dan A Silent Love (Belanda, sutradara Rene van Nie), memiliki persamaan dalam beberapa hal. Ketiganya melukiskan hubungan anak, bapak, dan ibu. Monsieur Papa melukiskan ikatan anak dengan bapak yang sudah bercerai dengan ibunya mereka sama-sama nyentrik, tapi bersahabat. Sampai datang seorang wanita yang menjadi kekasih bapak. Seperti biasanya, anak itu goncang. Bahkan waktu bapak hendak ke Bangkok bersama pacarnya, ia membantu satu komplotan pencuri agar dapat duit untuk beli tiket. Pada akhir cerita, dengan manis tampak ketiganya di lapangan terbang untuk bersama-sama ke Bangkok . A Silent Love juga bercerita tentang anak dengan bapaknya yang juga dalam status cerai. Dimulai dengan sang bapak yang datang ke sekolah dan menipu guru, supaya dapat membawa anaknya pergi. Ia mengajak anak itu bertamasya ke mana-mana. Isterinya kemudian melaporkan kepada polisi agar suaminya ditangkap dengan tuduhan menculik. Belakangan perempuan itu ingin menarik pengaduannya -- tetapi tak bisa. Ketika bapak dan anak pulang -- dengan harapan samar-samar agar mereka bertiga bersatu kembali polisi datang menangkap lelaki yang sangat cinta anaknya itu. Meski agak sentimentil, film ini merupakan tontonan keluarga yang mengharukan. The Railway Children adalah kisah tiga orang anak dengan ibu mereka yang terdampar di sebuah dusun -- karena bapak mereka tiba-tiba diciduk. Dusun itu dilintasi rel kereta api. Dan anak-anak itu sempat menyelamatkan kereta api waktu ada tanah longsor. Mereka membuat banyak tingkah terpuji, sehingga mengesankan agak berlebihan. Tetapi karena penggarapannya lancar, memikat. Di akhir cerita, sang bapak dikeluarkan. Happy ending. Orang sedesa kecil itu bikin jamuan. Muncul nama-nama pemain, dan penonton mengira film sudah selesai. Tiba-tiba ada close-up pada salah seorang anak yang sejak semula sibuk menulis di batu tulis. Waktu kamera makin dekat, batu tulis diangkat, muncul tulisan: The End Bapak Pemilik Padre Padrone, film Italia yang diputar di hari ke-6 ini, merupakan karya spesial yang lain. Pernah mendapat hadiah tertinggi dalam festival di Cannes. Sutradaranya Paolo dan Vittorio Taviani. Diangkat dari hidup para gembala di Sardinia yang buta huruf. Cerita berdasar buku Gavino Ledda, yang menulisnya sebagai perlawanan atasnama nasib para gembala tersebut. Adegan dibuka dengan sosok Gavino Ledda sendiri yang sedang meraut cabang kayu. Dalam set, di muka sekolah berdiri tokoh bapak yang hendak merampas anaknya dari sekolah. Gavino mengulurkan cabang kayu itu kepada tokoh bapak supaya membawanya, karena kayu macam itulah dulu yang dibawa bapaknya. Baru cerita dimulai. Ini adalah kisah Gavino sendiri. Bapaknya masuk ruang sekolah dan mengambilnya karena dia diperlukan untuk bekerja di padang rumput. Ketika anak-anak ketawa melihat air kencing Gavino. yang ketakutan, sang bapak yang sudah di luar ruangan sekolah, masuk kembali. Ia memaki semua orang. Memukul meja dengan tongkatnya, lalu berkata:"Sekarang Gavino. Tetapi besok mungkin giliran kamu sendiri!" Selanjutnya hidup Gavino dalam tekanan berkepanjangan. Satu ketika bapaknya menyuruhnya masuk militer, karena dalam keluarga harus ada yang dikagumi. Dalam pendidikan militer Gavino mulai bisa membaca. Ia memutuskan meninggalkan ketentaraan dan pulang untuk melanjutkan ke universitas. Bapaknya memaksanya bekerja kembali. Gavino membangkang. Ini bertentangan dengan adat. Pada puncaknya, terjadi perkelahian. Gavino menang -- dan kemenangan ini mengantarkannya menjadi seorang sarjana ilmu bahasa -- menembus kebisuan rakyat gembala Sardinia selama itu. Film ini menjadi sangat menarik dan mengharukan, karena usahanya memotret warna lokal dengan tidak tanggung tanggung. Ia melukiskan kesepian manusia di tengah padang -- yang tergila-gila oleh suara akordeon. Dengan brutal dan spontan dilukiskan bagaimana anak-anak kecil bersanggama dengan keledai atau ayam. Ia melukiskan sifat-sifat primitif yang masih membekas serta aturan-aturan masyarakat yang begitu kuat sehingga membuat orang tak berdaya. Satu ketika ada pembantaian biri-biri. Tetapi kemudian palu diayunkan mengenai kepala yang memegang biri-biri. Satu ketika Gavino kencing dari mobil untuk menunjukkan kemuakannya kepada Sardinia yang diwarnai tekanan bapaknya. Satu ketika orang saling main kentut-kentutan. Alam Sardinia diumbar dan meninggalkan rasa dekat, karena ternyata lingkungan kita masih sangat mengenalnya. Pekan kali ini tidak berakhir dengan rasa pusing oleh eksperimen sinematograpi. Masih ada tokoh, cerita dan penggarapan yang menarik dan lancar. Walau baju mereka baju Eropa, seolah masalah kita yang digarapnya. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus