BEGITU datang, pemuda berusia 20-an tahun itu berkata, Saya mau jadi sukarelawan." Lalu ia mengisi formulir yang memang sudah tersedia di kantor Kedutaan Besar Irak, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Sabtu pekan lalu. Setelah selesai, pemuda itu segera bergegas pergi. Abdul Hamid Azhari, 63 tahun, staf Kedubes Irak, mengatakan bahwa sejak seminggu sebelumnya Kedubes Irak setiap hari menerima pernyataan simpati dari anggota masyarakat Indonesia, bahkan ada yang mendaftar ingin jadi sukarelawan (sukwan) untuk berperang bersama pasukan Saddam Hussein, seperti pemuda tadi. "Padahal sudah kami ingatkan bahwa tenaga mereka belum tentu terpakai, karena di Irak sekarang ada satu juta orang yang siap bertempur sampai mati untuk Irak," kata Azhari. Sampai Sabtu itu, menurut Azhari, sukwan yang mereka daftar sudah 200-an orang. Tapi ketika sekilas ia perlihatkan sebuah buku besar -- katanya buku pendaftaran sukwan -- TEMPO cuma melihat daftar nama 75 orang. "Mereka sebagian besar anak-anak muda yang beragama Islam, tapi ada juga bekas ABRI," kata Azhari. Sejak tentara Saddam Hussein menjarah Kuwait, 2 Agustus lalu, disusul pengerahan mesin perang Amerika Serikat ke Arab Saudi, di sini tampaknya muncul pro dan kontra. Sekadar contoh, meski bernada iseng, ketika menjelang acara diskusi "majelis Reboan" di rumah Soetjipto Wirosardjono, Wakil Ketua BPS, di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu malam pekan lalu, hadirin diminta melakukan voting untuk mengetahui, mendukung Irak atau Arab Saudi. Ternyata, dari 30-an yang hadir, kebanyakan jadi pendukung Irak -- termasuk Ridwan Saidi, bekas ketua umum HMI itu. Yang lebih serius adalah musyawarah yang diadakan sekitar 70 ulama dan pemuka Islam di Pesantren As-Syafiiyah Jakarta. Sabtu pekan lalu. Di situ hadir, antara lain, M. Natsir dan M. Yunan Nasution serta K.H. Sholeh Iskandar. Hasil musyawarah itu: mendesak Irak agar menarik pasukannya dari Kuwait, setelah itu Amerika dan sekutunya juga harus meninggalkan Timur Tengah. Mereka juga mengimbau agar semua perselisihan diselesaikan secara musyawarah, dengan mengacu pada Quran dan hadis, dan umat Islam di sini diimbau agar jadi sukarelawan untuk menjaga tanah Haramain (kota suci Mekah dan Madinah). Tak lupa forum itu mengusulkan pada, Pemerintah agar mengirim pasukan ke Arab Saudi, memenuhi permintaan Raja Fahd. Forum itu kemudian menyerahkan tindak lanjut pernyataan itu kepada KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), organisasi yang dibentuk dua tahun lalu untuk memupuk solidaritas Islam. "Kami melihat Arab Saudi terancam, berarti Haramain terancam pula. Jadi, kami tak akan tinggal diam," kata Cholil Ridwan, Wakil Ketua KISDI. Pemimpin Pesantren Husnayain Cibubur, Jawa Barat, itu mengakui bahwa mayoritas penduduk Irak adalah Islam, tapi Saddam Hussein menduduki Kuwait dan mengancam Arab Saudi bukan atas nama Islam, melainkan atas nama partai sosialis Baath yang bukan Islam. Begitupun, Cholil Ridwan membantah mereka membela Arab Saudi dan memusuhi Irak. Karena itu, mereka juga tak setuju pada kehadiran tentara Amerika Serikat di Arab Saudi. "Bagi kami, kaitannya adalah keamanan Haramain. Kalau tentara Amerika itu mengancam Haramain, kami juga wajib membelanya dan siap mati syahid. Tapi sekarang tentara Amerika kan jauh dari Haramain, kadar ancaman tentara Iraklah yang terasa," katanya. Sampai Senin pekan ini, KISDI belum mengambil langkah kongkret untuk menghimpun sukwan itu. Yang pasti, permintaan mereka pada pemerintah agar mengirim pasukan ke Arab Saudi jelas gagal, karena Presiden Soeharto telah menegaskan, tidak akan mengirimkan pasukan ke luar negeri kecuali di bawah naungan PBB. Sepanjang sejarah republik, Indonesia memang baru sekali mengirimkan pasukan di luar urusan PBB, yaitu pada 1965, ketika pecah Perang India-Pakistan, yang disebabkan sengketa Kashmir (baca Tradisi Garuda). Sikap Indonesia itu membuat gembira Baghdad. Seorang juru bicara pemerintah Irak, seperti dikutip kantor berita Irak INA, Senin pekan ini menyatakan bahwa warga Indonesia boleh meninggalkan Irak dan Kuwait, setelah Indonesia menyatakan tak akan mengirimkan pasukan ke Arab Saudi. Sekarang, warga Indonesia di Irak dan Kuwait ada 839 orang: 101 orang staf KBRI dan keluarganya, 29 mahasiswa, dan 709 TKI. Dari jumlah itu, 75 asal Kuwait sudah ingin pulang ke Tanah Air. Senin pekan ini mereka sudah meninggalkan Kuwait menuju Baghdad. "Sekarang mereka sedang mengusahakan visa untuk masuk ke Yordania. Mereka dalam keadaan panik," kata Sumaryo Suryokusumo, Dubes RI di Yordania, kepada Liston P. Siregar dari TEMPO, melalui pembicaraan telepon internasional. Dubes itu menduga, mereka baru akan tiba di Amman, ibu kota Yordania, dalam dua tiga hari ini. Untuk menunggu para pengungsi Indonesia itu, sekarang KBRI Amman dibuka 24 jam. Sejauh ini baru seorang TKW Indonesia yang sudah berhasil melarikan diri dari Kuwait, dan kini berada di kampungnya, di Sukabumi (baca: Saya Masih Ingat Perang). Yordania, negeri kecil berpenduduk 3,4 juta jiwa itu, sampai Senin pekan lalu sudah disesaki sekitar 120.000 pengungsi warga asing dari Kuwait dan Irak. Hotel-hotel penuh, sehingga para pengungsi itu tiduran di jalan ataupun halaman rumah. Suasana tampaknya lebih tenang di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, yang konon terancam serangan rudal-rudal dan senjata kimia Saddam Hussein itu. "Di sini tak ada apa-apa, semua normal," kata Irawan Abidin, wakil dubes di Riyadh, kepada TEMPO. Soalnya, konsentrasi pasukan -- baik Amerika maupun Arab Saudi, Mesir, Syria, atau Maroko -- ada di perbatasan dengan Irak atau Kuwait, yang terpaut 1.600 km dari Riyadh. Di Arab Saudi terdapat sekitar 250.000 warga Indonesia, sebagian besar adalah TKW. Sementara itu, sampai Sabtu pekan lalu, sudah ratusan TKW untuk Arab Saudi yang tak jadi diberangkatkan dari Jakarta. "Karena perhitungan kemanusiaan, mereka kami kembalikan ke kampung masing-masing, menunggu krisis Teluk berakhir," kata Tantyo Sudharmono, ketua umum asosiasi perusahaan pengerah tenaga kerja (IMSA)." Amran Nasution, Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini