Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sidang perdana tersebut, Jokowi menekankan sejumlah aturan main. Salah satunya mengenai visi-misi menteri. “Tidak ada visi dan misi menteri. Yang ada visi-misi presiden dan wakil presiden,” katanya.
Dalam kabinet ini, sebanyak 22 nama adalah wajah baru. Mereka antara lain Nadiem Makarim, Ida Fauziyah, Wishnutama, I Gusti Ayu Bintang Puspayoga, dan Zainudin Amali. Sementara itu, sejumlah wajah lama masih menduduki pos lama. Ada pula yang digeser ke pos kementerian lain. Sri Mulyani tetap menjabat Menteri Keuangan. Adapun Airlangga Hartarto, yang semula menjabat Menteri Perindustrian, menjadi Menteri Koordinator Perekonomian.
Pada zaman Orde Baru, otak-atik posisi menteri acap dilakukan Soeharto selama 32 tahun menjadi presiden hingga 1998. Pada awal memerintah, Soeharto juga mengge-ser-geser posisi para pembantunya. Tempo edisi 8 April 1978 bertajuk “Mengenal Kabinet Baru” merekam pergantian itu. Kabinet Pembangunan III bertambah gemuk karena ada penambahan departemen.
Wajah baru ini kebanyakan berasal dari militer. Jenderal Surono menempati posisi Menteri Kesejahteraan Rakyat, yang telah ditingkatkan tarafnya menjadi menteri koordinator, membawahkan Departemen Sosial, Agama, serta Pendidik-an dan Kebudayaan. Sebelumnya, jabatan ini diisi Profesor Sunawar Sukawati dari Partai Demokrasi Indonesia. Mayor Jenderal Sapardjo meng-gantikan Mintareja dari Partai Persatuan Pembangunan mengepalai Departemen Sosial.
Pengangkatan Surono dan penaikan tarafnya menjadi menteri koordinator mendapat sorotan tajam. Beberapa pengamat beranggapan jabatan itu akan membuatnya mendekat ke lingkaran kekuasaan Soeharto. Sebab, jabatan menteri koordinator membuka peluang lebih dekat kepada presiden.
Sumber lain mengatakan Soeharto se-ngaja menaikkan taraf Kementerian Kesejahteraan Rakyat untuk meringankan beban kerjanya, terutama dari rapat atau sidang bersama menteri. Dengan adanya menteri koordinator, presiden tak perlu menghadiri sidang-sidang karena sidang akan dikoordinasi menteri yang bersangkutan. Presiden hanya tinggal menunggu hasil sidang menteri koordinator dengan menteri-menteri di bawah naungannya.
Menurut Sekretaris Jenderal PDI Sabam Sirait, munculnya wajah-wajah baru di luar partai politik ini menunjukkan wajah baru pula dalam politik Indonesia. Sementara itu, Amin Iskandar dari PPP menyatakan tak adanya orang partai dalam susunan kabinet tersebut merupakan refleksi dari sidang umum Majelis Permusyawaratan Rak-yat. Dalam perjalanan kabinet dari masa ke masa, sudah terjadi penciutan porsi partai dalam kabinet sebagai pembantu agung presiden.
Pada masa Kabinet Pembangunan I, ada lima orang partai yang duduk dalam kabinet. Jumlahnya lantas menyusut menjadi dua saja: satu dari PDI dan satu dari PPP. Porsi ini terkesan adil bagi kedua partai tersebut. Orang partai yang masuk ke kabinet tersebut pun, menurut Soeharto, dipilih berdasarkan keahliannya. “Golongan politik yang sedapat mungkin akan terdiri dari tenaga-tenaga yang ahli (teknokrat),” katanya. Ia mengklaim keputusannya ini sudah melalui diskusi panjang dengan wakil presiden, pimpinan DPR, dan beberapa pe-tinggi Golkar.
Adapun komposisi teknokrat dalam kabinet ini hampir sepadan dengan dalam kabinet sebelumnya. Namun jumlah menteri yang berasal dari kesatuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bertambah dari empat menjadi sebelas. Karena itu, yang menjadi catatan adalah hampir separuh kabinet ini, 11 dari 24 menteri, punya latar belakang militer yang kuat. Mereka pun menempati posisi yang dianggap tak lumrah diurusi kalangan militer.
Salah satu yang mencolok adalah Letnan Jenderal (Purnawirawan) Alamsyah sebagai Menteri Agama. Dalam sejarah kabinet di Indonesia, jabatan tertinggi di Departemen Agama biasanya diisi orang dengan latar belakang Nahdlatul Ulama. Alam-syah menduduki posisi ini karena dikenal dekat dengan kalangan kiai dan ulama. Nama Alamsyah sendiri tidak terlalu asing bagi pemerintah Orde Baru. Sebab, ia pernah menduduki berbagai jabatan, seperti Sekretaris Negara dan Duta Besar RI untuk Belanda.
Sementara itu, Jenderal M. Jusuf -ditu-gasi menjadi Menteri Pertahanan dan -Ke-aman-an merangkap Panglima ABRI. Dilantiknya jenderal yang dikenal sebagai satu dari trio -Supersemar tersebut -dianggap mampu meng-hapus citra bah-wa -jabatan pen--ting ABRI di----kuasai “orang-orang -Kristen”—citra yang menjadi topik panas di tubuh tentara ketika itu.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 26 Januari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo