Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Compang-camping Kabinet Baru

Susunan Kabinet Indonesia Maju yang diumumkan Presiden Joko Widodo pekan lalu tak memberikan banyak harapan untuk Indonesia lima tahun mendatang.

26 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Compang-camping Kabinet Baru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak figur yang dipilih tanpa kompetensi yang tepat: pos-pos kunci dalam kabinet yang seharusnya diisi teknokrat malah ditempati politikus atau bekas anggota tim sukses pemilihan presiden.

Kondisi ini mencemaskan mengingat beratnya tantangan yang harus dihadapi pemerintah Jokowi pada periode kedua. Kondisi ekonomi global yang tidak menentu dan minimnya produk ekspor Indonesia, misalnya, menuntut kehadiran tim ekonomi yang cakap dan solid. Luas hutan yang terus menyusut dan kerusakan lingkungan yang parah di berbagai daerah membutuhkan menteri-menteri yang siap memitigasi krisis perubahan iklim.

Gelombang demonstrasi mahasiswa sebulan terakhir mengindikasikan makin kuatnya perlawanan atas pelemahan gerakan antikorupsi dan menyusutnya ruang kebebasan masyarakat sipil. Ditambah dengan memanasnya Papua yang salah urus selama bertahun-tahun, kecerdasan tim politik dan hukum di kabinet menjadi krusial. Belum lagi soal menguatnya intoleransi serta radikalisme, juga buruknya kualitas pelayanan publik di sektor pendidikan dan kesehatan. Semua harus ditangani tim kesejahteraan rakyat yang mumpuni.

Sayangnya, ada kesan kabinet ini disusun lebih berdasarkan kalkulasi politik, bukan meritokrasi. Politikus senior Airlangga Hartarto, yang menduduki kursi Menteri Koordinator Perekonomian, jelas tidak memiliki latar belakang pengetahuan dan pengalaman di bidang ekonomi makro seperti pendahulunya, Darmin Nasution. Memang masih ada Sri Mulyani, yang dipertahankan di pos Menteri Keuangan. Tapi ketegasan sikap dan kebebasan ruang geraknya tidak bisa dibandingkan dengan tahun-tahun awal dia di pemerintahan. Pada 2005-2010, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Mulyani relatif leluasa menjalankan kewenangan dan menjaga prinsip pengelolaan keuangan negara tanpa kompromi. Kini realitas politik di sekelilingnya jauh berbeda.

Keberadaan Erick Thohir di pos vital Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dengan dua bankir, Budi Gunadi Sadikin dan Kartika Wirjoatmodjo, sebagai wakil menteri, seharusnya bisa membawa angin segar untuk perekonomian kita. Syaratnya, mereka harus mengubah pendekatan pemerintah pada periode lalu, yang memberikan porsi terlalu dominan kepada badan usaha milik negara. Sebagai pengusaha swasta, Erick tentu memahami pentingnya menjaga ruang yang sehat untuk kompetisi yang adil. Di luar Sri Mulyani dan Erick Thohir, komposisi tim ekonomi di kabinet baru Jokowi lebih banyak membuat orang garuk-garuk kepala. Banyak kementerian dipegang politikus yang sama sekali tidak punya latar belakang yang sesuai dengan tanggung jawab baru mereka.

Di bidang politik, hukum, dan keamanan, penekanan Jokowi pada upaya penanganan radikalisme sekilas patut dipuji. Namun, tanpa pemahaman yang menyeluruh atas akar masalah ini, ada kekhawatiran bahwa pemerintah bakal mengulangi pola penyelesaian yang represif, reaktif, dan sepotong-sepotong.

Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia pada periode pertama pemerintahan Jokowi, misalnya, jelas tidak membuat radikalisme serta-merta menghilang atau berkurang. Tanpa pelindungan pada kebebasan masyarakat sipil dan hak asasi manusia, bibit radikalisme akan selalu bersemai kembali. Tiga jenderal, Prabowo Subianto, Tito Karnavian, dan Fachrul Razi, yang menempati kursi Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, harus paham akan pentingnya menjaga ruang kebebasan masyarakat sipil di negara demokrasi.

Pemilihan menteri-menteri di bidang kesejahteraan rakyat dan pembangunan manusia juga menyisakan banyak pertanyaan. Ikatan Dokter Indonesia pasti rikuh karena Kementerian Kesehatan kini dipimpin Terawan Agus Putranto, dokter yang pernah dinilai melakukan pelanggaran etik yang serius. Posisi pendiri Gojek, Nadiem Makarim, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dipuji sebagian orang, tapi bikin waswas sebagian yang lain. Penekanan berlebih pada misi sekolah untuk mencetak tenaga kerja siap pakai dikhawatirkan bakal mengerdilkan sistem pendidikan kita.

Dengan segala catatan itu, memang tak banyak harapan yang bisa disematkan pada kabinet baru ini. Seperti pidatonya ketika dilantik untuk masa jabatan kedua, Presiden Jokowi tampaknya berkeras mengedepankan stabilitas sosial-politik dan pertumbuhan ekonomi, di atas segala-galanya. Selain keliru secara konseptual, penekanan itu bisa menjadi blunder ketika sebagian besar menteri yang terpilih bukan orang yang tepat di tempat yang tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus