DI balik ketenarannya, sarung Samarinda ternyata mengidap
kecemasan. "Cat warna yang digunakan sudah ketinggalan 30 tahun"
ujar ir Srianto kepada koresponden TEMPO di Samarinda. Petugas
ICI Inc Jakarta yang memberikan penataran pencelupan benang
tenun sarung Samarinda itu juga mengatakan bahwa cat yang
digunakan para pengrajin sekarang ini hanya cocok buat mewarnai
mendong dan purun -- itu bahan untuk membuat tikar. "Untuk
tigapuluh tahun yang lalu memang cocok, tapi sekarang sudah
tidak dipakai lagi. Sebab sudah ada cat yang khusus untuk
mewarnai sutera" ujar Srianto lagi.
Tetapi para konsumen tampaknya tidak mengetahui hal itu. Mereka
hanya tahu kalau sarung Samarinda itu terkenal sejak dahulu
kala. "Sudah dikenal sejak 200 tahun yang lalu" ujar ir A.
Rachman Karim Kepala Kanwil Perindustrian Kaltim. Tepatnya sejak
rombongan pengungsi suku Bugis dari kerajaan Wajo Sengkang di
bawah pimpinan La Monang Daeng Mangkona gelar Puo Ado menduduki
kawasan yang sekarang dikenal Samarinda Seberang tahun 1708,
Tepatnya tanggal 20 April. Begitu menurut Dinas Perindustrian.
Karena itu, sarung Samarinda ini sebenarnya sarung Bugis juga.
Made In Pekalongan
Sebagaimana usaha tenun kecil lainnya, industri sarung Samarinda
ini menglami masa jaya ketika masih ada penjatahan benang dari
pemerintah tahun 1960-an. Menurut catatan Rachman Karim, waktu
itu ada alat tenun gedokan yang aktif. Tapi sejak penjatahan
benang dihapuskan, jumlah itu mendadak melorot tinggal 300 buah
tahun 1973 tadi. Dari 300 alat tenun itu hanya mampu berproduksi
1.360 lembar sebulan. "Sebab selembar sarung baru dapat
diselesaikan dalam waktu 40 jam kerja" ujar Rachman. Sementara
itu ada pula dugaan bahwa para pengrajin memang sengaja untuk
tidak mengejar angka produksi, namun mempertahankan kwalitas.
"Karena itu, harga sarung Samarinda relatif tinggi" ujarnya
pula.
Saat ini, selembar sarung Samarinda harganya berkisar antara Rp
10.000 sampai Rp 15.000. Memang ada yang hanya delapan ribuan,
tapi kwalitetnya kendah. Tingginya harga itu tampaknya juga
lantaran harga bahan baku yang mahal. Sutera jenis spunsilk
yang digunakan sarung Samarinda ini berharga Rp 20.000 sampai Rp
25.000 per kg. Sedang sekilo spunsilk hanya cukup untuk tiga
lembar sarung. Di samping harus melawan harga sutera yang tinggi
itu, sarung Samarinda kini juga menghadapi saingan dari sarung
tetoron keluaran Pekalongan yang coraknya ada yang mirip sarung
Samarinda. Beberapa pengantin lelaki -- yang selama ini merasa
tidak sip kalau tidak memakai sarung Samarinda -- tampak mulai
mengenakan sarung tetoron tadi yang harganya memang jauh lebih
murah: Rp 2 ribu.
Corak Hatta
Bagi orang Kaltim, fungsi sarung Samarinda memang tidak hanya
untuk sembahyang, selimut atau kondangan. Tapi juga keperluan
lain disesuaikan dengan coraknya, dan cara memakainya. Untuk
menghadiri upacara perkawinan umpamanya digunakan corak coka
manippie. Bagi pria dipakai seperti sarung biasa, sedang buat
wanita dijadikan kerudung. Lain lagi dengan corak blo siparape
yang khusus buat pengantin laki. Sedikitnya ada 12 macam corak
masing-masing untuk keperluan yang berbeda dengan aturan pakai
yang tidak sama pula.
Belakangan timbul kreasi baru. Tahun 1949 timbul corak Hatta.
Corak Hatta ini sebenarnya corak kemumu. Diganti namanya gara
gara Moh. Hatta (waktu itu wakil presiden RI) pergi ke
Samarinda Seberang dan ketika dimohon untuk memilih salah satu
corak yang disenangi, bung Hatta memilih corak kemumu. Nah.
mulai saat itulah eorak kemumu dihapuskan diganti dengan corak
Hatta. Ketika Sultan Suleiman memerintah kerajaan Kutai
Kartanegara merancang satu corak lagi, leba suasa namanya.
Sultan yang satu ini rupanya koreograf juga. Corak leba suasa
khusus untuk upacara kenegaraan. Paling buntut adalah corak
Pertiwi ciptaan isteri Wahab Syahranie gubernur Kaltim.
Kegunaannya khusus buat seragam Pertiwi, namun akhirnya
disenangi masyarakat juga.
Sebelum itu pernah timbul corak Negara (sesuai dengan pesanan
pengusaha di daerah Negara, Kalsel), corak Jawa Barat (yang juga
dipesan oleh orang Jawa Barat) namun dua-duanya tidak terkenal.
Demikian pula corak ketan hitam yang hanya disenangi orang
Pilipina. Waktu itu rupanya tidak dikenal pemasaran yang
ekspansif. Pengrajin lebih banyak menunggu datangnya pesanan.
Bagi pengrajinnya sendiri, sarung Sa marinda ternyata tidak bisa
dibuat pada sembarangan waktu. Ada hari-hari tabu yang harus
disingkiri. Contohnya larangan bertenun di saat hari kelahiran
atau hari lepasnya pusar. Kalau tetangganya ada yang meninggal
dilarang menenun selama tiga hari. Bahkan seandainya di rumah
itu terjadi kelahiran, kegiatan tenun menenun harus dihentikan
sampai pusar sang bayi copot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini