Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Warna cemas sarung samarinda

Sarung samarinda terkenal dimana-mana. harganya berkisar antara sepuluh sampai lima belas ribu rupiah selembar. kini cat warna yang dipakai dinilai tak cocok lagi. (ils)

20 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI balik ketenarannya, sarung Samarinda ternyata mengidap kecemasan. "Cat warna yang digunakan sudah ketinggalan 30 tahun" ujar ir Srianto kepada koresponden TEMPO di Samarinda. Petugas ICI Inc Jakarta yang memberikan penataran pencelupan benang tenun sarung Samarinda itu juga mengatakan bahwa cat yang digunakan para pengrajin sekarang ini hanya cocok buat mewarnai mendong dan purun -- itu bahan untuk membuat tikar. "Untuk tigapuluh tahun yang lalu memang cocok, tapi sekarang sudah tidak dipakai lagi. Sebab sudah ada cat yang khusus untuk mewarnai sutera" ujar Srianto lagi. Tetapi para konsumen tampaknya tidak mengetahui hal itu. Mereka hanya tahu kalau sarung Samarinda itu terkenal sejak dahulu kala. "Sudah dikenal sejak 200 tahun yang lalu" ujar ir A. Rachman Karim Kepala Kanwil Perindustrian Kaltim. Tepatnya sejak rombongan pengungsi suku Bugis dari kerajaan Wajo Sengkang di bawah pimpinan La Monang Daeng Mangkona gelar Puo Ado menduduki kawasan yang sekarang dikenal Samarinda Seberang tahun 1708, Tepatnya tanggal 20 April. Begitu menurut Dinas Perindustrian. Karena itu, sarung Samarinda ini sebenarnya sarung Bugis juga. Made In Pekalongan Sebagaimana usaha tenun kecil lainnya, industri sarung Samarinda ini menglami masa jaya ketika masih ada penjatahan benang dari pemerintah tahun 1960-an. Menurut catatan Rachman Karim, waktu itu ada alat tenun gedokan yang aktif. Tapi sejak penjatahan benang dihapuskan, jumlah itu mendadak melorot tinggal 300 buah tahun 1973 tadi. Dari 300 alat tenun itu hanya mampu berproduksi 1.360 lembar sebulan. "Sebab selembar sarung baru dapat diselesaikan dalam waktu 40 jam kerja" ujar Rachman. Sementara itu ada pula dugaan bahwa para pengrajin memang sengaja untuk tidak mengejar angka produksi, namun mempertahankan kwalitas. "Karena itu, harga sarung Samarinda relatif tinggi" ujarnya pula. Saat ini, selembar sarung Samarinda harganya berkisar antara Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Memang ada yang hanya delapan ribuan, tapi kwalitetnya kendah. Tingginya harga itu tampaknya juga lantaran harga bahan baku yang mahal. Sutera jenis spunsilk yang digunakan sarung Samarinda ini berharga Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per kg. Sedang sekilo spunsilk hanya cukup untuk tiga lembar sarung. Di samping harus melawan harga sutera yang tinggi itu, sarung Samarinda kini juga menghadapi saingan dari sarung tetoron keluaran Pekalongan yang coraknya ada yang mirip sarung Samarinda. Beberapa pengantin lelaki -- yang selama ini merasa tidak sip kalau tidak memakai sarung Samarinda -- tampak mulai mengenakan sarung tetoron tadi yang harganya memang jauh lebih murah: Rp 2 ribu. Corak Hatta Bagi orang Kaltim, fungsi sarung Samarinda memang tidak hanya untuk sembahyang, selimut atau kondangan. Tapi juga keperluan lain disesuaikan dengan coraknya, dan cara memakainya. Untuk menghadiri upacara perkawinan umpamanya digunakan corak coka manippie. Bagi pria dipakai seperti sarung biasa, sedang buat wanita dijadikan kerudung. Lain lagi dengan corak blo siparape yang khusus buat pengantin laki. Sedikitnya ada 12 macam corak masing-masing untuk keperluan yang berbeda dengan aturan pakai yang tidak sama pula. Belakangan timbul kreasi baru. Tahun 1949 timbul corak Hatta. Corak Hatta ini sebenarnya corak kemumu. Diganti namanya gara gara Moh. Hatta (waktu itu wakil presiden RI) pergi ke Samarinda Seberang dan ketika dimohon untuk memilih salah satu corak yang disenangi, bung Hatta memilih corak kemumu. Nah. mulai saat itulah eorak kemumu dihapuskan diganti dengan corak Hatta. Ketika Sultan Suleiman memerintah kerajaan Kutai Kartanegara merancang satu corak lagi, leba suasa namanya. Sultan yang satu ini rupanya koreograf juga. Corak leba suasa khusus untuk upacara kenegaraan. Paling buntut adalah corak Pertiwi ciptaan isteri Wahab Syahranie gubernur Kaltim. Kegunaannya khusus buat seragam Pertiwi, namun akhirnya disenangi masyarakat juga. Sebelum itu pernah timbul corak Negara (sesuai dengan pesanan pengusaha di daerah Negara, Kalsel), corak Jawa Barat (yang juga dipesan oleh orang Jawa Barat) namun dua-duanya tidak terkenal. Demikian pula corak ketan hitam yang hanya disenangi orang Pilipina. Waktu itu rupanya tidak dikenal pemasaran yang ekspansif. Pengrajin lebih banyak menunggu datangnya pesanan. Bagi pengrajinnya sendiri, sarung Sa marinda ternyata tidak bisa dibuat pada sembarangan waktu. Ada hari-hari tabu yang harus disingkiri. Contohnya larangan bertenun di saat hari kelahiran atau hari lepasnya pusar. Kalau tetangganya ada yang meninggal dilarang menenun selama tiga hari. Bahkan seandainya di rumah itu terjadi kelahiran, kegiatan tenun menenun harus dihentikan sampai pusar sang bayi copot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus