SEMENTARA Prof. Emil Salim pidato soal perataan pendapatan, J.
Soewondo, Kepala Diperta Tk. II Gresik melaporkan daerahnya
surplus bahan makan 30 kg lebih per kapita per tahun. Angka itu
diperoleh dari rata-rata pendapatan padi, jagung dan ketela
sebanyak 1.283.573 kwintal, dengan penduduk hampir 640 ribu.
Lalu, ditemukan pendapatan per kapita setahun 2000 kg lebih
sedikit. Padahal, Dinas Pertanian yang berpijak pada target
nasional pemerintah tahun 1975 cukup memperoleh 165,48 kg saja.
Serentak melebihi target nasional, ketika DPRD Tk.I Jawa Timur
berlanglangbuana ke tempatnya, dia unjuk "Gresik daerah
surplus", tukas ir. Soewondo. seperti dikatakannya kepada
Anshari Thayib dari TEMPO.
Meski begitu, prestasi itu nampaknya masih rada jauh untuk
menyamai garis kemelaratan versi Prof. Sajogya, yang menggunakan
tingkat pendapatan 240 kg per ekuivalen beras per kapita per
tahun bagi daerah pedesaan. Tapi, bila diukur dengan pemerintah
punya mau, boleh juga. Namun, meratalah pendapatan' itu pada
semua daerah di wilayah Kabupaten Gresik? Ternyata, Doeladi
Djojooetomo, Kasubag Statistik Diperta Gresik menjawab "tidak".
Sebab, persis separuh dari 18 kecamatan yang ada, punya tingkat
pendapatan ekwivalen beras per kapita per tahun, rada jauh di
bawah tarjet nasional itu. Malahan, buat kecamatan Kota Gresik
da Kebomas, masih plas dengan memproleh 0,54 kg dan 32,20 kg.
Tapi, Kabupaten Gresik "tak pernah tercatat mengalami bencana
kelaparan", tukas Soeharmanto, SH, Kabubdit Perekonomian kepada
TEMPO. Malahan, mengutip laporan Sub Dolog Surabaya Utara "belum
pernah ada marketing operation ke Gresik", katanya pula. Hal itu
bisa terjadi, karena Gresik yang luasnya 1.153,98 Km2 ini,
penghuninya tak sepadat kabupaten lain. Apalagi hanya 57% dari
penduduk saja yang hidup dari mengayun cangkul. Lainnya: 8,01%
nelayan,23,04% pedagang,9,34% pegawai perusahaan dan sisanya
pegawai negeri.
Musiman
Nampaknya, jumlah petani dan produksi petanian itu memang
telah mepet sekali. Barangkali, sulit dikembangkan lagi.
Sebab,"sawah di sini tadah hujan", tukas Soeharmanto. Kalau
tiada hujan, selesai sudah cerita padi. Pada tempat-tempat
tertentu nyaris menjadi rawa-rawa, hingga angka 57% tadi
termasuk pula petani tambak dan garam. Setidak-tidaknya,
sepertiga dari areal sawah yang berjumlah 43.312,067 Ha terdiri
dari tambak dan ladang garam. Meski belum diketahui dengan
pasti, kini masuk ke kantong Pemda Gresik Rp 1 juta dari
retribusi garam ini. Belum lagi ribuan hektar tanahnya yang
berjenis grumusol kelabu tua, mediteran merah dan litosol yang
berbentuk bukit-bukit lipatan mengandung batu kapur dan napal.
Namun ternyata ada faktor lain yang menyebabkan daerah ini tak
pernah mengeluh soal beras. Yaitu, hanya penduduk kecamatan Kota
Gresik saja yang 100% makan nasi tiap hari. Lainnya, "amat
tergantung pada musim", tutur Doeladi. Dari catatan Doeladi, di
samping kecamatan Gresik, 8 lainnya kurang dari 50% menggunakan
beras sebagai bahan makan pokok. Lalu, 9 kecamatan lainnya
antara 50-85%. Di kecamatan Tambak pulau Bawean, justru hampir
sepanjang tahun menikmati 20-40 saja. Kekurangannya tentu saja
diisi dengan jagung dan gaplek. Nampaknya, meski surplus, tak
semua bisa ikut mengenyamnya. Apalagi, kalau benar perkiraan
Doeladi, banyak sawah yang dimiliki orang di luar Gresik.
Barangkali, karena itu pula pengadaan pangan -- tahun 1975
"belum memenuhli target", tukas Soeharmanto pula. Dari rencana
2200 ton, tyata hanya berhasil dicapai 1500 ton saja.
Soeharmanto lebih melihat penyebabnya "karena BUUD yang belum
mantap". Yakni, "belum ada kekompakan antar pengurus BUUD
sendiri, tutur Soeharmanto pula. Tapi, tentu itu bukan alasan
satu-satunya. Sebab keengganan petani menjual kepada BUUD itu,
"karena harga di luar lebih baik", tukas Doeladi. Tapi, lepas
dari berhasil atau tidak ternyata cap surplus itu -- telah
membawa naiknya target pengadaan pangan nasinal tahun ini,
menjadi 3500 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini