Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramadhan

Ramadan dan Moderasi Beragama

Setiap Ramadan, kita kerap menyaksikan ceramah agama di televisi menjelang berbuka puasa.

17 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dirga maulana. Dok Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dirga Maulana
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap Ramadan, kita kerap menyaksikan ceramah agama di televisi menjelang berbuka puasa. Setiap stasiun televisi memiliki acara siraman rohani dengan beragam narasumber pemuka agama Islam. Merekalah yang mewarnai wacana Islam setiap kali Ramadan tiba. Narasi-narasi merekalah yang akan menjadi rujukan bagi pemirsa televisi selama Ramadan. Bagaimana narasi moderasi beragama dikembangkan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika mendengar dan melihat ceramah agama di beberapa stasiun televisi, masih banyak ustad yang hanya berbicara dalam konteks puasa, seakan-akan puasa tidak berdampak bagi kemaslahatan sosial. Ibadah puasa mesti memiliki dampak sosial ke masyarakat. Dengan begitu, puasa membawa keberkahan bagi umat manusia. Saya sangat yakin, para ustad yang diundang untuk mengisi acara di stasiun televisi adalah ahli agama yang kredibel dan mumpuni. Orang yang saat ini digemari oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, sehingga ia menjadi orang spesial yang bisa masuk ke layar televisi.

Semestinya para penceramah ini membawa misi moderasi beragama. Beragama secara toleran, inklusif-terbuka, penuh dengan rasa kasih sayang dan cinta. Tujuannya untuk menghindari bahaya radikalisme dan ekstremisme atas jubah agama. Sebab, di ladang dakwah, umat Islam harus pandai-pandai menyampaikan dakwahnya dengan ucapan yang santun. Jika tidak, misi dakwah yang santun malah diisi oleh mereka yang menjadi fasilitator konflik.

Dalam buku Islam Mazhab Tengah (2007), menurut Tarmizi Taher, ada tiga strategi dakwah yang mesti diterapkan oleh para ustad. Pertama, berkaitan dengan cara. Kita tentu merujuk pada Al-Quran untuk menyampaikan dakwah Islam secara baik. Tutur kata yang santun dalam menafsirkan Al-Quran sebagai petunjuk jalan, tidak menyinggung perasaan orang, apalagi menghina sesama manusia. Kedua, para dai juga mesti memperhatikan persiapan dirinya sendiri, khususnya berkaitan dengan keikhlasan dalam menyampaikan dakwah Islam. Ketiga, pentingnya menyampaikan dakwah Islam secara moderat dan komprehensif.

Meminjam istilah Azyumardi Azra dalam buku Transformasi Politik Islam, Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, Islam Indonesia adalah Islam wasathiyah, Islam jalan tengah; umumnya kaum muslim Indonesia tidak suka dengan berbagai bentuk yang ekstrem, apakah ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri (Azra, 2016). Artinya, Islam jalan tengah selalu menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, menjunjung tinggi prinsip itidal (obyektif) serta iltizam bi at-tawazun (berimbang), sebagai sebuah upaya yang didasarkan pada berpikir kritis, progresif, obyektif, dan solutif.

Dengan begitu, dakwah agama yang kerap ditonton oleh pemirsa televisi membawa nalar kritis agama dan mendapatkan pendalaman nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Juga membawa manfaat bagi bangunan negara-bangsa. Tentu saja, semakin kita meyakini agama yang kita anut, sudah selayaknya kita semakin menghargai pandangan yang berbeda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus