Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

<font color=#FF0000>Mengendus</font> <font color=#66FFCC>Retak Bendungan</font>

Seorang dosen Universitas Gadjah Mada membuat alat uji retak hidrolis bendungan. Semakin tinggi kadar lempung, semakin kuat tanggul.

6 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azan subuh belum usai dilantunkan muazin di Masjid Nurul Iman ketika air bergemuruh dari tanggul Situ Gintung. Dalam hitungan detik, air bah tumpah, menyapu perumahan padat beserta seluruh isinya yang ada di bawah tanggul. Hampir seratus orang meninggal dalam petaka di Jumat pagi satu setengah tahun lalu itu.

Ading, 44 tahun, warga Kampung Gintung, Ciputat Kota, Kota Madya Tangerang Selatan, mengatakan sebagian warga sebenarnya sudah mengetahui sinyal tanggul Situ Gintung bakal longsor. ”Ada suara retak-retak di tempat limpahan air,” katanya. Warga waspada lantaran tempat limpahan air tanggul setinggi delapan meter dari rumah warga yang berada di bawahnya sekaligus berfungsi sebagai penopang tanggul seluas 21,4 hektare itu.

Ada beberapa analisis mengapa tanggul peninggalan Belanda itu bisa jebol. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengatakan terjadi erosi buluh di badan tanggul. ”Kami yakin erosi sudah berlangsung lama,” katanya kala itu. Erosi buluh itulah yang perlahan menggerus badan tanggul. Namun kesimpulan Sutopo dan rekan-rekannya di Badan Pengkajian kemudian dibantah Kementerian Pekerjaan Umum.

Bendungan mendatangkan berkah air yang berlimpah dan dari turbin pembangkitnya mengalir ratusan megawatt setrum ke rumah-rumah. Namun ben dungan juga bisa mengirim petaka yang tak terkira.

Pada 11 Agustus 1979, bendungan Machhu-2 di utara Kota Morvi, Negara Bagian Saurashtra, India, tak mampu menahan beban air setelah diguyur hujan lebat berjam-jam. Dinding bendungan jebol, dan Machhu-2 menggelontorkan air bah setinggi sepuluh meter, menggulung Kota Morvi hanya dalam hitungan menit. Lebih dari 2.000 jiwa penduduk Morvi menjadi korban.

Menurut analisis Indian Institute of Tropical Meteorology, beban yang ditanggung dinding bendungan Machhu merupakan akumulasi dari hujan deras di daerah hulu Machhu selama beberapa hari. Air yang mengalir dari daerah hulu ke bendungan Machhu diperkirakan tiga kali lebih besar dibanding air yang bisa digelontorkan lewat saluran pembuangan. Air dalam bendungan pun meluap dan mengikis dinding Machhu, hingga akhirnya tak terta hankan dan jebol.

Petaka bendungan runtuh tak cuma akibat air meluap dan mengikis din ding bendungan. Satu retakan kecil pun bisa meruntuhkan bendungan setinggi puluhan meter. Retakan kecil, atau dalam bahasa geoteknik disebut retak hidrolis, pada dinding tanggul bukan perkara remeh.

Beberapa bendungan, seperti di Su ngai Teton, Idaho, dan Big Day, Mississippi (keduanya di Amerika Serikat), runtuh setelah mengalami kebocoran di dindingnya. Kebocoran ini semula hanya berupa retakan kecil, tapi semakin lama semakin besar dan terus mengikis dinding tanggul.

Apabila retakan terdeteksi sejak dini, seperti yang terjadi di bendungan Hyttejuvet, Norwegia, tanggul bisa diselamatkan. ”Bagian yang retak disuntik dengan semen,” kata Didiek Djarwadi, doktor teknik sipil dari Universitas Gadjah Mada, pekan lalu. Dalam disertasi doktornya, Didiek meneliti retakan hidrolis pada inti kedap air bendungan tipe urukan batu.

Didiek sudah puluhan tahun bergelut dengan urusan bendungan. Dia terlibat dalam pembangunan bendungan Gajah Mungkur di Jawa Tengah, waduk Saguling di Jawa Barat, hingga bendung an Batu Bulan di Nusa Tenggara Barat. Tesis strata duanya pun membahas soal bendungan.

Retak hidrolis, kata Didiek, terjadi ketika inti dinding tanggul tak mampu lagi menahan tekanan air. Menemukan cacat kecil pada dinding bendungan sepanjang puluhan kilometer dengan mata telanjang tentu bukan pekerjaan gampang. Nah, Didiek merancang alat uji seberapa kuat inti tanggul menahan tekanan air dalam sebuah waduk. ”Semua penelitian ini saya biayai dari kantong sendiri,” kata Didiek. Dia sedang memproses paten atas temuannya ini.

Inti tanggul urukan merupakan bagian tengah dari dinding bendungan. Bagian inilah yang menjadi penahan air sebenarnya. Material utamanya adalah campuran tanah yang dipadatkan. Inti bendungan ini di kedua sisinya kemudian ditimbun dengan bebatuan.

Bagaimana menguji suatu tanggul berpotensi terjadi retakan hidrolis? Dari material inti tanggul dibuat sampel uji yang menyerupai kepadatan pada kondisi sebenarnya. Dengan alat hasil rancangan Didiek, sampel berbentuk silinder dengan lubang di bagian tengah itu diberi tekanan air pada dinding dalamnya. Beberapa sensor tekanan dipasang pada sampel dan dihubungkan dengan komputer pencatat. Ketika tekanan air melebihi tegangan tarik pada sampel, retaklah silinder itu. Ini berarti, jika tekanan air di waduk mencapai angka tersebut, ada kemungkinan akan terjadi retakan hidrolis di dinding tanggul.

Dari hasil pengujian dengan alat itu, Didiek mendapat beberapa temuan penting. Salah satu penentu kekuatan inti tanggul, kata Didiek, adalah pemilihan material urukan. ”Semakin tinggi kadar lempungnya, semakin kuat menahan retakan hidrolis,” ujar Didiek. Tapi hati-hati, jika lempung itu mengandung banyak material montmorillonite, semakin gampang pula ditembus air.

Retakan hidrolis, menurut Didiek, ternyata sebagian besar terjadi di se pertiga bagian atas tanggul. Jika air waduk naik, bagian inilah yang paling rentan tergerus air. Karena itulah dia menyarankan agar material uruk an yang paling tinggi kandungan lempungnya ditimbun di bagian atas inti tanggul.

Selain faktor pemilihan material, ketinggian tanggul menentukan kekuatan inti bendungan urukan. Semakin tinggi tanggul, kata Didiek, biasanya semakin rentan terhadap retak hidrolis. Jika tanggul ditinggikan, untuk mencegah retak hidrolis, lebar inti kedap air bendungan harus ditambah. Pengelola waduk juga perlu waspada ketika terjadi gempa. Goyangan lindu ini bisa meretakkan dinding waduk.

Salah satu pertanda terjadi retakan pada dinding tanggul adalah rembes an air. Jika rembesan air tak berwarna alias bening mengalir dari dinding tanggul, pengelola waduk tak perlu kha watir. ”Sebab, tak ada tanggul urukan yang benar-benar kedap air. Tapi, ketika tanggul retak dan rembesan air berwarna keruh, pengelola bendungan mesti bersiaga. ”Artinya, rembesan itu sudah menggerus inti kedap air tanggul,” kata Didiek.

Jika rembesan keruh itu tidak segera diantisipasi, tinggal tunggu waktu, kebocoran itu pasti akan membesar. Tanggul bisa runtuh dan korban berjatuhan. Supaya kebocoran tak meruntuhkan tanggul, air waduk harus segera dikurangi. Bagian yang bocor kemudian disuntik dengan campuran semen. Bendungan pun bisa diselamatkan.

Sapto Pradityo, Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus