Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rambutnya seperti membentuk kerudung di wajah perempuan itu. Bagian kirinya tersisir ke belakang, menunjukkan lehernya yang begitu jenjang, dan tak menutupi buah dada nya yang mungil. Sementara kedua tangannya menyatu di bawah perut, dekat kelaminnya. Dengan penampilannya, patung bertajuk Gadis itu sekilas menyerupai Mariam atau Maria.
Gadis, yang terbuat dari resin dan hanya sampai paha, menjadi bagian dari pameran Edhi Sunarso bertajuk Monumen di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, 14-28 Agustus silam. Berbagai karya pematung kesayangan Bung Karno itu ditampilkan di situ, termasuk model patung yang menghiasi Jakarta: Monumen Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Monumen Dirgantara. Tapi sebagian besar patung merupakan karya personal Edhi sejak 1950-an, yang pada masanya tak dipajang di ranah publik.
Edhi mengakui tak banyak menghasilkan karya personal. Selain kerumit an dan membutuhkan waktu pengerjaan yang lama, biaya yang dikeluarkan besar. Belum lagi, proyek dari Presiden saat itu menyita konsentrasi nya. ”Sehingga setiap tahun saya hanya mampu mengerjakan beberapa patung individu,” kata Edhi dalam sambutannya.
Kebanyakan karya personal Edhi menonjolkan kehangatan dan sisi feminin, sesuai dengan salah satu tema yang diusungnya: perempuan. Kehalusan dan kecantikan Gadis, misalnya, begitu terasa meskipun mukanya hampa organ pelengkap-pemanis. Kekosongan ini justru mampu merangsang pemirsa nya membayangkan wajah cantik pe rempuan itu.
Begitu juga patung Mandi Gosokan yang dibuat pada 1958 dari perunggu. Dua perempuan telanjang sedang bersimpuh dalam keadaan telanjang. Rambut keduanya digelung dan seperti sedang berbincang. Perempuan yang di depan menutup kelaminnya dengan tangan, sedangkan perempuan yang di belakangnya memegang punggung rekannya. Aktivitas kaum Hawa yang tentu saja sulit ditemui dilakukan oleh para lelaki negeri ini.
Inilah yang harus kita akui sebagai salah satu sisi lain Edhi Sunarso. Gadis dan Mandi Gosokan begitu kontras dengan monumen Edhi, Pembebasan Irian Barat. Wajah lelaki yang dipajang di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, itu terlihat begitu jantan. Rahangnya begitu kukuh, dan diperkeras dengan kerutan di wajahnya. Begitu berapi-api dan tentu saja disesuaikan dengan konteks pada zamannya. Sang pemesan patung, Bung Karno, berharap bahwa siapa pun yang memandangnya akan bergolak adrenalinnya, terpicu rasa nasionalismenya, dan bangga terhadap para pejuang Tanah Air. Dan kemampuan Edhi memenuhi keinginan Putra Fajar itu semakin lengkap dengan kemampuannya menghadirkan karya yang personal dan hangat.
Edhi juga tak mengerangkeng dirinya dalam dunia realis yang ditekuninya saat menjadi siswa pendengar di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, meskipun ia menyebut dirinya demikian. Kurator pameran Asikin Hasan menyebut beberapa karya Edhi justru terkesan abstrak dan simbolik.
Pada Torso #1 dan #2, misalnya, kita bisa melihat potongan indian rosewood yang digunakannya dibentuk seperti tubuh perempuan. Dua tonjolan pada bagian atas menunjukkan payudara, dan bagian bawahnya yang melengkung jelas gambaran pinggul wanita.
Lekukan tubuh perempuan terlihat lebih tegas dalam Torso #3, terutama pada bagian dada dan selangkangan patung berbahan perunggu itu. Begitu juga dalam Tua Muda, Edhi dengan nakal menghadirkan elemen dua tonjolan yang berbeda pada dua kayu yang diukirnya. Dua tonjol an pada patung pertama bersentuhan dan terlihat kencang. Sedangkan dua tonjolan pada patung yang lain terlihat ber ayun, menggelambir.
Edhi juga piawai bermain-main dengan volume patung. Pada karya Berjalan dalam Kekosongan, misalnya, Edhi menghadirkan dua orang tengah berjalan sambil berbincang. Kepala dua sosok itu saling mendekat dan jauh lebih kecil ketimbang paha mereka. Dua tangan sosok itu melingkari badan, dan dalam lingkaran itu Edhi membuat lubang.
Asikin Hasan menilai Edhi tak terpaku pada satu bentuk atau gaya. Karyanya bisa terlihat berubah-ubah. Tapi sesungguhnya pematung yang menge nyam pendidikan di Universitas Visva Bharati Rabindranath Tagore, Shantiniketan, India, ini tetap konsisten pada suatu tema. ”Bayangan sebuah cerita yang dapat dipahami banyak orang,” kata Asikin.
Edhi juga menghasilkan karya berupa patung wajah. Sulastri dari perunggu atau berbagai foto hasil karyanya saat berguru di India adalah contohnya. Dan sekali lagi, ekspresi wajah feminin itu demikian hidup, jauh dari kesan datar atau sekadar salinan dari model.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo