Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM mati, Heri Golun mewanti-wanti agar bom untuknya dibuat lain dari bom yang diledakkan di Hotel JW Marriott, Jakarta, Agustus 2003. Ia konon tak ingin bernasib seperti Asmar Latin Sani: bom tidak sempurna mencacah tubuhnya, sehingga kepalanya ditemukan utuh di lantai lima hotel. Kepala itu menjadi alat polisi menggulung kawanan Asmar.
Pukul 10.30, 9 September 2004. Heri meledakkan bom mobilnya di depan Kedutaan Besar Australia di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Bom berdaya ledak setara dua kuintal mesiu meriam itu bekerja sempurna. Tubuh Heri tinggal remah-remah—tersangkut di pagar, pohon, hingga terlontar ke satu kantor di lantai lima Gedung Gracia, sekitar 60 meter dari pusat ledakan.
Toh, berkat kerja cergas polisi dan para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, jati diri Heri terungkap hanya dalam dua pekan. Inilah alatnya: metode identifikasi baru yang disebut Disaster Perpetrator Identification. Tim Eijkman mengembangkannya di bawah pimpinan Herawati Soedoyo. Atas prestasi itu, akhir bulan lalu Habibie Center dan Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menganugerahkan Habibie Award 2008 Bidang Kedokteran kepada Herawati.
Metode ini menguak identitas Heri dengan menelisik profil genetiknya. Itu bisa dilakukan karena, ujar Herawati, ”Profil genetik setiap orang amat unik—berbeda untuk tiap individu.” (lihat boks ”Barkod Makhluk Hidup”)
Sebenarnya, profil asam genetis telah lama dipakai sebagai alat identifikasi. Metode yang disebut Disaster Victim Identification, misalnya, telah memakai ini untuk identifikasi korban akibat bom bunuh diri atau bencana massal yang tak bisa lagi dikenali dari ciri-ciri visual. Tapi metode Disaster Perpetrator Identification—untuk mudahnya sebutlah ”Metode Herawati”—tetap saja istimewa.
Sebelumnya, tak ada prosedur baku dalam penggunaan asam genetis untuk mengidentifikasi pelaku bom bunuh diri. ”Identifikasi pelaku dilakukan dengan cara konvensional,” ujar Herawati.
Cara itu memiliki keterbatasan, terutama dalam kasus bom bunuh diri. Kerap kali, pelakunya hancur-lebur bersama bom yang dia ledakkan, sehingga tak dapat dikenali lagi. Padahal, ini bukan Timur Tengah. Di sana, aksi bom bunuh diri biasanya langsung diikuti pernyataan dari pihak yang bertanggung jawab. Nah, di Indonesia, dan umumnya kawasan Asia, identitas pelaku biasanya ditutup rapat-rapat.
Keistimewaan lain Metode Herawati, yang sudah diterbitkan di jurnal bergengsi FSI Genetics awal tahun ini, adalah pemakaian sumber asam genetis yang lebih gampang dan lebih cepat diperoleh. Itulah DNA mitokondria (mtDNA).
Ini jenis DNA dalam mitokondria, organ sel yang berfungsi sebagai generator energi. Berbeda dengan DNA di inti sel yang separuh berasal dari ibu dan separuhnya dari bapak, seluruh DNA mitokondria berasal dari ibu. Jadi, seluruh keluarga dari pihak ibu memiliki profil DNA mitokondria serupa.
Pemakaian DNA jenis ini, yang akurasinya mencapai 92 persen, sebelumnya tak pernah digunakan untuk mengidentifikasi pelaku pengeboman. ”Jadi, ini salah satu inovasi,” ujar Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Masih ada inovasi lain. ”Dalam pengumpulan sampel, misalnya, dipilih sampel yang terjauh dari pusat ledakan,” ujar Sangkot.
Di Kuningan, korban terdekat ke pusat ledakan bom berjarak sekitar 10 meter. Jika ada serpihan tubuh mereka yang terlempar, jaraknya tentu tak sejauh serpihan tubuh pelaku. Soalnya, pelaku yang mengemudikan mobil hampir menempel pada bom. ”Atas dasar pemikiran itu, hanya serpihan dari lokasi paling jauhlah yang kami gunakan,” ucap Herawati di sela-sela acara Wallacea di Makassar beberapa pekan lalu.
Dari sekitar 121 serpihan tubuh yang dikumpulkan polisi selama sepekan, tim Hera memilih 17 sampel. Yang terdekat ke pusat ledakan jaraknya 18 meter, berupa percikan darah di potongan pedal rem. Yang terjauh berjarak 68 meter, di pagar gedung Graha Bina Karsa. Yang tertinggi, itu tadi, serpihan tengkorak dengan remah-remah daging di lantai lima Gedung Gracia.
Untuk memastikan bahwa seluruh sampel itu bersumber dari orang yang sama, tim Herawati perlu sampel pembanding. Ini soal gampang. Salah satu sampel yang diperoleh polisi adalah serpihan tulang belakang. Karena tidak ada korban yang kehilangan tulang itu, serpihan ini dipastikan milik pelaku.
Ternyata, profil DNA di tulang belakang itu sama dengan ke-16 sampel lain. Artinya, sampel itu milik satu orang. Kini tim Herawati tinggal memberi nama pada sampel itu.
Ini juga gampang. Alkisah, pada saat yang sama, tim intelijen polisi menemukan empat orang yang patut dicurigai. Untuk memastikan apakah salah satu dari mereka pelaku pengeboman, polisi mengambil sampel DNA mitokondria anggota keluarga keempat orang itu, yang berasal dari pihak ibu.
Setelah dicocokkan, profil genetik pada sampel yang berasal dari keluarga Heri Golun sama dengan sampel pelaku bom Kuningan. Eureka!
Firman Atmakusuma, Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo