Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA DIKHIANATI
Penulis: Elizabeth Fuller Collins
Penerbit: Gramedia, Jakarta, 2008
Tebal: xxiv + 350 halama
HARI-HARI ini nama neoliberalisme remuk redam. Ulah para manajer keuangan di puncak metropolitan dunia, yang rakus tak terkontrol, dipercaya menyebabkan krisis finansial paling akut sejak Depresi Besar. Dan semua orang di dunia kini menelan getahnya.
Sebenarnya neoliberalisme, rezim pasar bebas yang makin mapan berkat globalisasi, banyak membawa mudarat. Korban terparahnya bukan para CEO perusahaan besar atau rakyat negara kaya, melainkan kaum lemah di berbagai pelosok negara berkembang yang tak bisa menahan masuknya modal besar. Lewat aransemen ekonomi-politik yang didesakkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, modal itu masuk melalui kebijakan segelintir elite politik di tingkat lokal dan nasional, yang korup dan berkuasa dengan topangan militer.
Itulah pesan pokok Elizabeth Fuller Collins lewat buku ini. Bukan hal baru, tentu saja. Tapi buku ini kaya dengan detail tentang bagaimana perselingkuhan modal, jabatan, dan senjata itu memelaratkan hidup banyak orang. Juga merusak lingkungan, yang akan terus digerogoti polusi, pencemaran air, dan pengikisan keanekaragaman hayati. Diperkuat sejumlah foto, paparan Collins begitu hidup, mengajak kita seperti menyaksikannya dengan mata telanjang.
Itu dimungkinkan karena Collins khusus meneropong bagaimana proses-proses itu berlangsung di Sumatera Selatan pada puncak kekuasaan Soeharto dan awal era reformasi. Dalam sembilan bab bukunya, Indonesianis dari Universitas Ohio, Amerika Serikat, itu memaparkan bagaimana neoliberalisme, lewat mekanisme utang yang dipinjamkan IMF dan Bank Dunia kepada Indonesia dan syarat-syaratnya yang mengikat, menyebabkan makin menganganya jurang kaya-miskin serta terpangkasnya anggaran untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, bahkan meningkatnya ketegangan etnis dan agama di provinsi yang sebenarnya amat kaya akan sumber alam itu.
Collins mendasarkan diri pada wawancara dengan sumber-sumber utama dan laporan media massa. Paparannya tentang bagaimana para petani dan buruh kehilangan hak mereka atas tanah dan upah layak akibat kebijakan pemerintah, atau akibat pilih-kasih kapitalisme-semu Indonesia yang menomorsatukan Keluarga Cendana dan kroni mereka, amat meyakinkan. Sekalipun upayanya mengaitkan neoliberalisme dan naiknya Islam garis keras dan sentimen anti-Cina di Palembang tak begitu berhasil, ia telah menawarkan satu tema menantang untuk penelitian lebih lanjut.
Untungnya, Collins juga datang dengan kisah-kisah menggembirakan. Ini khususnya terkait dengan upaya para aktivis mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat tertentu yang sendiri atau bersama para korban menentang kebijakan pemerintah atau menyabotnya di berbagai level. Kadang mereka berhasil dan kadang tidak. Merekalah hero sesungguhnya Indonesia Dikhianati. Collins juga menunjukkan pentingnya dukungan, langsung dan tidak, yang mereka peroleh dari media massa serta LSM nasional dan internasional.
Aktivitas Collins, yang sewaktu mahasiswa menjadi aktivis antiperang di Berkeley dan belakangan turut mengembangkan Yayasan Nurani Dunia, cukup terasa di sini. Tak aneh jika epigraf bukunya mengutip Margaret Mead: ”Jangan pernah ragu bahwa sekelompok kecil orang yang punya kepedulian dan komitmen bisa mengubah dunia. Sungguh, inilah satu-satunya hal yang pasti.” Juga bahwa bukunya didedikasikan kepada Munir, yang banyak menginspirasinya. Sejauh tidak mengganggu obyektivitasnya, ini tentu baik-baik saja.
Tapi mungkin karena itulah ia, pada bagian-bagian tertentu, tampak terlalu romantis dengan peran mahasiswa dan LSM. Bukunya terutama kuat dalam memaparkan bagaimana mereka bekerja, bukan menjelaskan mengapa mereka berhasil atau gagal. Rasanya akan lebih bermanfaat jika Collins lebih mengambil jarak dari mereka dan menilai kekuatan mereka dari lanskap lebih makro.
Tapi kita tak boleh berharap semuanya dari satu buku. Sekadar mengingatkan kita akan betapa berbahayanya kebijakan Soeharto, peran buku ini sudah cukup. Bukankah kita sering cepat lupa?
Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Paramadina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo