Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

4 Profesor Riset Baru LIPI: Fitoremediasi sampai Alat MRI

LIPI mengukuhkan gelar Profesor Riset kepada empat orang penelitinya, Kamis 14 Mei 2020.

15 Mei 2020 | 07.45 WIB

Logo Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (lipi.go.id)
material-symbols:fullscreenPerbesar
Logo Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (lipi.go.id)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI mengukuhkan gelar Profesor Riset kepada empat orang penelitinya. Mereka adalah Nuril Hidayati dari Pusat Penelitian Biologi, M. Alie Humaedi dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Ana Hadiana dari Pusat Penelitian Informatika, dan Andika Widya Pramono dari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material.

Para peneliti itu melakukan Orasi Pengukuhan Profesor Riset melalui live streaming di saluran Youtube LIPI pada Kamis, 14 Mei 2020.  Buril dkk tercatat menjadi Profesor Riset ke-139, 140, 141, dan 142 di lingkungan LIPI, dan menjadi Profesor Riset ke-549, 550, 551, dan 552 secara nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nuril Hidayati dalam orasi pengukuhannya menjelaskan penelitian di bidang Botani berjudul 'Tanaman Akumulator Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) untuk Fitoremediasi'. Dia mengungkap penemuannya atas jenis-jenis tanaman akumulator merkuri, timbal, dan kadmium.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Nuril juga menerangkan konsep fitoremediasi menggunakan tanaman tersebut secara holistik hingga metode untuk meningkatkan kemampuan fitoekstraksi secara terintegrasi. Dia menyebutkan kalau teknik fitoremediasi berbasis tanaman hiperakumulator dapat diaplikasikan secara terpadu sesuai dengan lingkungan yang diremediasi untuk memperbesar peluang keberhasilan.

"Inovasi ini dapat memberikan dampak yang besar terhadap pengelolaan pencemaran lingkungan," kata Nuril, seperti dikutip laman resmi LIPI, Kamis 14 Mei 2020.

M. Alie Humaedi memberi orasi ilmiahnya berjudul 'Menggugah Empati, Menarik Simpati: Kekuatan Etnografi Post-Kritis dalam Mendorong Kebijakan Berbasiskan Kebudayaan Lokal'. Penelitian dilakukannya pada dua tataran, yaitu etnografi post-kritis sebagai tawaran pendekatan baru, dan upaya membangun jembatan emas untuk menengahi paradoks kebijakan dan kebudayaan.

Menurut Alie, etnografi post-kiritis berupaya mengangkat perspektif emik berbasis kebudayaan lokal di tengah tujuan dan pemahaman etik. Untuk mengatasi paradoks internal-eksternal kebudayaan diri atau saat berhadapan dengan kebudayaan luar, pendekatan etnografi post-kritis menekankan pentingnya empati dan simpati dalam proses penelitian dan pendampingan.

"Dalam kapasitas ini peneliti dapat hadir di tengah masyarakat sebagai mediator kepentingan kelompok subjek dengan pemangku kepentingan," kata Alie menuturkan.

Dalam orasi berjudul 'Implementasi Rekayasa Kansei dalam Pengembangan Antarmuka Sistem Informasi E-Learning', Ana Hadiana mengungkap pentingnya analisis faktor emosional pengguna dalam pengembangan perangkat lunak e-Learning. Tujuannya, mendatangkan manfaat yang signifikan.

"Perancangan antarmuka berbasis faktor emosional pengguna dengan menggunakan Rekayasa Kansei berpijak pada paradigma What You See Is What You Desired," ujar dia.

Ana menjelaskan, rekayasa Kansei terbukti berhasil mengevaluasi dan menentukan sistem informasi e-Learning yang tepat. Serta mengidentifikasi faktor emosional pengguna yang dapat berpengaruh kuat terhadap elemen desain dalam tampilan antarmuka perangkat lunak sistem informasi e-Learning.

"Penerapan rekayasa Kansei perlu dilakukan, khususnya untuk faktor antarmuka sebagai bagian terpenting yang berperan dalam menghubungkan pengguna dengan sistem internal sistem informasi e-Learning," kata Ana.

Sementara, orasi Andika Widya Pramono berjudul 'Pengembangan Material Superkonduktor dan Biokompatibel untuk Meningkatkan Kemandirian Alat Kesehatan MRI dan Implan Tulang di Indonesia'. Dia menyatakan riset dan pengembangan material untuk aplikasi Magnetic Resonance Imaging dan implan tulang perlu dilakukan di Indonesia.

"Hal ini untuk meningkatkan penguasaan teknologi manufaktur pada kedua alat kesehatan tersebut mengingat alat MRI di Indonesia sepenuhnya masih impor," tutur Andika.

Saat ini, mahalnya alat MRI menjadikan rumah sakit membebankan tarif tinggi bagi pasien yang didiagnosa menggunakan alat tersebut. Menurutnya, pengembangan material superkonduktor untuk mendukung kemandirian produksi alat MRI dalam negeri merupakan peluang besar yang dapat dimanfaatkan.

Identifikasi perubahan dan pembentukan fasa pada material superkonduktor dari penelitian LIPI, Andika berujar, dapat menjadi landasan saintifik dalam mengembangkan kawat superkonduktor MRI. "Dengan kestabilan termal yang lebih baik dibandingkan yang sudah ada di pasaran," ujar dia.


Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus