Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebidang tanah kering lelaki itu berhenti. Wajahnya memerah terpanggang matahari. ”Di sinilah tempatnya,” kata Sulaiman, yang mengantar Tempo. Suara-nya datar dan penuh keyakinan. Lokasi- tanah yang ditunjuk tak beda dengan parit di kampung-kampung. Tak ada yang istimewa. Tempat itu tak tampak menyiratkan sebagai bekas lokasi keraja-an. Misalnya adanya sisa artefak berharga seperti tembikar.
Itulah potret hasil observasi Tempo ke kaki Gunung Tambora pada akhir- Februari lalu. Perjalanan itu dilakukan dengan mobil sejauh 400 kilometer dari Mataram, naik ojek selama setengah- jam melewati jalan-jalan kampung yang berdebu, dan menerobos rerimbunan te-bu liar.
Padahal, sebulan sebelumnya, lokasi ini sempat menjadi pembicaraan orang ramai. Jaringan televisi CNN dan BBC memberitakan, di tempat itulah sebuah sejarah diungkap. Di sana ditemukan kota tua Tambora, yang kemudian jadi pembicaraan para ilmuwan. Konon inilah kota tua Tambora yang terkubur letusan Gunung Tambora pada 10 April 1815. Tempat ini juga disebut-sebut seba-gai Pompeii dari Timur. Pompeii adalah sisa perkotaan modern Roma-wi yang terkubur letusan Gunung Vesuvius-, Italia, pada tahun 79.
”Hujan telah menimbun galian bersejarah itu,” kata Sulaiman, Kepala Dusun Tambora yang menjadi penunjuk jalan Tempo. ”Di sinilah letaknya kerangka ma-nusianya,” katanya seraya menunjuk sebatang tonggak kayu yang tertanam di tanah. Kayu itu telah membatu.
Hanya dalam sebulan, tempat penggalian kota tua yang minus pelindung itu sudah tak berbentuk. Yang tersisa cuma beberapa cuil pecahan tembikar dan keramik kuno.
Adalah Haraldur Sigurdsson yang pertama kali menyingkap tabir kota tua itu. Profesor oseanografi dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, itu terobsesi dengan dahsyatnya. Ia pada 1986 sudah berada di bawah kawah Gunung Tambora, Sumbawa. Di kepalanya- melayang-layang puluhan pertanyaan geologis soal letusan yang terjadi hampir 200 tahun lalu itu. Letusan Tambora dikenal sebagai salah satu letus-an terdahsyat dalam sejarah manusia. Kekuatan letusannya empat kali lebih ketimbang Krakatau pada 1883 dan konon debunya menyebar sejauh 1.300 kilometer sehingga mempengaruhi iklim bumi (lihat infografik). Amarah Gunung Tambora itu mengubur tiga kerajaan di Sumbawa—Tambora, Pekat, dan Sanggar—beserta 85 ribu warganya.
Sigurdsson pernah mengeksplorasi- kawah Tambora sedalam 1.250 meter pada 2000. Saraf ilmuwannya tergugah ketika itu, tatkala seorang warga desa mengabarkan adanya temuan keramik dan benda yang sudah jadi arang.
Karena itu pada 2004 Sigurdsson kembali ke pulau itu dan memimpin penggalian di daerah sebuah aliran sungai. Ia menggali bersama Igan Sutawijaya, ahli gunung api dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan ahli geologi dari Universitas North Carolina, Lewis Abrams.
Dengan bantuan radar pendeteksi per-mukaan bumi, mereka menemukan lapisan bebatuan dan debu vulkanik. Temuan itulah yang membuka selubung sejarah Tambora. Setelah membelah bumi, ia menemukan rumah seluas 4 x 6 meter. ”Sedimen yang menguburnya tidak terlalu dalam, 2-3 meter,” Igan me-ngisahkan. Kayu-kayu rumah itu sudah menjadi arang dan berdiri di atas fondasi batu.
Di dapur mereka menemukan sesosok tubuh manusia yang menghitam. Jadi arang. Seorang lagi ditemukan di luar rumah.
”Saya berharap bisa menemukan ba-ngunan bekas istana Kerajaan Tambora yang terpendam,” kata Sigurdsson kepada Tempo melalui surat elektronik. Ia menduga, Tambora adalah sebuah peradaban mirip kebudayaan Mon-Khmer di Vietnam dan Kamboja yang musnah. Kesimpulan itu berdasarkan temuan bukti peradaban: besi, pot keramik, dan mangkuk perunggu.
Argumen Sigurdsson itu sulit dicari kebenarannya. Sebab, Kota Tambora itu kini tinggallah sebuah selokan kering. Mayat yang jadi arang konon dikubur kembali. Adapun nasib artefak-artefak kuno tak jelas keberadaannya.
Heryadi Rachmat, Wakil Kepala Dinas- Vulkanologi di Mataram, menga-takan bahwa artefak-artefak itu ditinggalkan di lokasi penggalian. Namun, karena ke-tiadaan pelindung, semuanya lenyap. ”Mungkin ada yang diambil penduduk,” katanya.
Penduduk punya cerita lain tentang- raibnya benda-benda purbakala itu. Indra-jaya Losong, 27 tahun, pemuda setempat yang pernah menyaksikan penggalian tahun 2004 itu, menuturkan bahwa artefak itu dimasukkan ke sebuah peti besar oleh para peneliti dan dibawanya pergi.
Profesor Sigurdsson kepada Tempo mengakui bahwa sebagian artefak itu, ”Terpaksa dibawa ke Amerika Serikat untuk diteliti lebih lanjut.” Mereka, kata Si-gurdsson, sedang meneliti kandungan kimia logam artefak itu, untuk memasti-kan asal-usul sejarahnya.
Sedangkan artefak keramik dan gera-bah sedang diteliti untuk memastikan asal mereka dari Vietnam atau bukan. Sisanya ditinggalkan di tempat penggalian, termasuk dua kerangka manusia yang ditutupi dengan plastik, sebelum dikubur kembali di dalam tanah.
Kacaunya tempat penggalian ini me-nuai- kritik dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. ”Itu-lah jadinya bila penggalian arkeologis dikerjakan oleh yang bukan empu,” ujar arkeolog Bambang Budi Utomo, kesal. Ia menyesalkan tempat penggalian yang di-biarkan seperti sampah, sementara artefak-artefaknya diboyong ke nege-ri orang. Padahal, menurut aturan, hal seperti itu haram dilakukan.
Bambang menilai kesimpulan Sigur-d-sson tentang Tambora terlalu dini. Menurut Bambang, artefak Mon-Khmer di Tambora belum tentu mengindikasikan adanya pengaruh kebudayaan Mon-Khmer di wilayah itu. ”Kalau ada mobil Ford di Jakarta, tidak mesti harus ada orang Amerika di Jakarta kan?”
Dia pun menentang teori bahwa Tambora adalah peradaban yang musnah. Berdasarkan kondisi geografis yang tak terisolasi, kebudayaan Tambora mesti-nya masih terkait dengan kebudaya-an yang berkembang di tempat lain di Pulau- Sumbawa. Bila Tambora musnah, kata Bambang, kebudayaan Sumbawa- di tempat lain masih bertahan dan ber-kembang hingga kini.
Ingrid Pojoh, arkeolog dari Universitas Indonesia, berpendapat senada. Menurut dia, penggalian yang sifatnya akan merusak tanah dan konteks mestinya didokumentasi dan dirawat dengan baik agar bisa diteliti lebih lanjut. Kini, setelah bukti penggalian itu lenyap, penelitian lanjutan terpaksa dikerjakan dari nol kembali.
Ingrid juga menolak tesis Sigurd-sson terutama soal bahasa orang Tambora. Dia mengatakan hingga kini belum- ada bukti atau catatan apa pun yang meng-indi-kasikan bahwa pendu-duk- Tambora menggunakan bahasa Mon-Khmer. Penduduk kawasan itu, sebagaimana kawasan lain di Sumbawa, mengguna-kan bahasa yang termasuk rumpun Austronesia.
Rencananya, Sigurdsson akan datang kembali ke Tambora pada pertengahan tahun ini. Visa profesor itu sudah diurus di Konsulat Jenderal Indonesia di New York. ”Penemuannya sudah kami lakukan, kini saatnya arkeolog terlibat,” katanya.
Untuk sementara sejarah Tambora masih melilitkan diri ke bebatuan dan tanah kelabu. Bersembunyi di balik padang tebu liar dan ilalang.
Deddy Sinaga (Tambora), Supriyanto Khafid (Mataram)
Mereka yang Terpendam
Kerajaan Tambora
Raja: Abdul Rasyid Johan Komalasyah (memerintah sejak 1765)
Penduduk: 6.000 orang
Bahasa: Rumpun Austronesia, mirip dengan bahasa Flores
Kondisi lahan: Kering, berbatu, sulit untuk pertanian
Letak: sekitar 25 kilometer barat Gunung Tambora
Rumah Rakyat
Tiang konstruksi utama:
- Kayu dan bambu (sistem pasak)
- Lantai panggung
- Dinding anyaman bambu
- Atap anyaman rumbia
Ukuran: 4 x 6 meter
Ruang: tunggal (dapur adalah bangunan tersendiri di belakang)
Ternak: sapi, kuda, dan kambing (tanpa kandang)
Gunung Tambora 10 April 1815
Letusan: Kekuatannya 4 kali letusan Krakatau, 200 kali Gunung Helena (Amerika Serikat), debunya menyebar sejauh 1.300 kilometer.
Tinggi: Sebelum meletus 4.200 meter. Sesudah meletus 2.851 meter
Status kini: Aktif strato tipe A
Pusat aktif: Gunung api kecil di tengah danau di dasar kawah
Kawah: Diameter 7.000 meter dan kedalamannya 1.000 meter.
Istana Kerajaan
Perbandingan Istana Kerajaan Sumbawa (1883)
Lantai panggung, Konstruksi utama dari 99 tiang kayu (sistem pasak).
Dinding: Kayu
Ukuran: Tak ada data
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo