Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariel Heryanto
Saya berjumpa seorang pengusaha muda Vietnam di Melbourne, Australia, belum lama ini. Pada 1970-an, lelaki itu adalah salah seorang pengungsi politik di Pulau Galang. Ketika itu dia masih berusia 11 tahun dan tanpa ayah-ibu. Ketika tahu saya berasal dari Indonesia, dia menggebu-gebu menceritakan kebaikan orang-orang Indonesia di tempat pengungsian. Konon orang Vietnam se-perti itulah yang menjadi penderma paling bersemangat di Australia saat Negeri Kanguru mengadakan pengumpulan dana bagi korban musibah tsunami di Aceh, yang terjadi akhir 2004.
Cerita mengharukan ini bertolak belakang dengan berbagai kisah pelarian politik yang langsung dijebloskan ke pen-jara setelah mendarat di Australia. Masyarakat Australia sebenarnya sangat peduli pada warga dunia dan nasib pelarian politik. Kelas menengahnya giat berkampanye dan berdemonstrasi membela pendatang gelap, termasuk mendatangi penjara dan berkonfrontasi secara fisik de-ngan petugas keamanan dengan niat membebaskan tahanan secara paksa. Di depan beberapa rumah penduduk terpa-sang spanduk berbunyi ”Di sini kaum pelarian politik akan di-terima dengan tangan terbuka.”
Sebagian besar upaya itu tidak digubris pemerintah Australia. Tapi minggu lalu pemerintah Howard membuat kejutan dengan memberikan suaka politik kepada 42 warga Papua. Sebagai balasan, pemerintah Indonesia memanggil pulang duta besarnya di Canberra dan memanggil Duta Besar Australia di Jakarta untuk dihardik.
Ada dua pelajaran dapat dipetik dari peristiwa itu. Pertama, gaya pemerintahan di mana pun umumnya memiliki banyak kemiripan—ini yang kurang disadari atau diakui kaum nasionalis di tiap negara. Walau tidak persis, peme-rin-tah Susilo Bambang Yudhoyono maupun Perdana Menteri John Howard mengejar kepentingan politik yang serupa. Sesekali mereka ingin tampil sebagai pahlawan nasional. Untuk itulah standar ganda kadang-kadang digunakan.
Kedua, khalayak umum punya peran, walau terbatas, untuk mengawasi dan membatasi perilaku pemerintah, entah itu pemerintah yang progresif, reformis, rasis, sewenang-wenang, atau korup. Ini koreksi terhadap pandangan umum yang mengatakan bahwa hubungan antarnegara sering kali didominasi oleh hubungan antarpemerintah, bukan masya-rakatnya. Contohnya adalah negara-negara ASEAN.
Namun, masyarakat itu majemuk dan tidak sederajat. Dua kelompok masyarakat yang dominan adalah kaum peng-usaha dan media massa. Dalam hubungan Indonesia-Ame-rika Serikat, misalnya, kepentingan pengusaha berperan uta-ma (ingat kasus ExxonMobil atau PT Freeport Indonesia). Dalam kasus Indonesia-Australia, media massa lebih me-nentukan (ingat kasus terdakwa narkoba Schapelle Corby atau peristiwa Santa Cruz di Timor Leste).
Kejengkelan pemerintah RI kepada Australia dipahami semua pihak. Pemberian suaka bagi warga Papua merupa-kan pengakuan resmi terjadinya penindasan hak politik dan pelanggaran hak asasi yang serius di Papua. Kekecewaan diperberat oleh fakta sebelumnya: yakni Presiden Yudhoyo-no telah meminta Perdana Menteri Howard memulangkan para pengungsi dari Papua itu.
Semua itu masih diperparah sikap ganda pemerintah Australia. Berkali-kali negara itu memberikan dukungan politik bagi pemerintah RI. Minggu lalu Canberra menegaskan ulang kedaulatan RI atas Papua Barat, walau menolak tuntutan Jakarta untuk mencabut suaka politik yang telah diberikan. Tapi, apakah dukungan Canberra itu punya bobot?
Sejarah menduanya sikap pemerintah Australia telah mem-bingungkan bukan saja pemerintah Indonesia, tet-api juga rakyatnya sendiri. Pemberian suaka bagi 42 warga Papua pekan lalu merupakan tamparan bagi TNI dan Polri. Dan ini ironi, karena Australia sedang berniat meningkatkan kerja sama keamanan. Ketika pemerintah Soeharto menyerbu dan menduduki Timor Timur pada 1975, dunia mencerca dan PBB menolak. Hanya Australia negara di muka bumi ini yang mengakui kedaulatan RI atas Timor Timur. Tapi sikap ini berubah sesudah era 1990.
Berubah-ubahnya sikap pemerintah Australia itu tidak hanya didorong sikap oportunistik. Tidak juga semata-mata disebabkan dinamika internal dalam pemerintahan ataupun gejolak perubahan politik internasional. Walau terbatas, aspirasi dari masyarakat setempat ikut berperan. Bertahun-tahun warga sipil Australia bersimpati dan berkampanye bagi warga Timor Timur maupun Papua Barat. Solidar-itas di kalangan kelas menengah kota menguat, walau lebih se-ring diabaikan pemerintah. Keputusan pemerintah Austra-lia ming-gu lalu dipamerkan sebagai bukti kepedulian pemeri-n-tah terhadap aspirasi masyarakatnya dan solidaritas kemanusiaan yang terpuji.
Yang belum jelas, mengapa sikap itu tampak terbatas dan diskriminatif. Mengapa nasib sebagian besar pencari su-a-ka politik lain sangat berbeda. Masyarakat sipil Australia moga-moga dapat membongkar misteri sikap pemerintah-nya, khususnya Departemen Imigrasi yang kewibawaannya ber-kali-kali tercemar skandal.
Tidak mustahil, masyarakat Australia sendiri terjepit sebuah bias. Wajar bila mereka lebih peduli terhadap warga Timor dan Papua ketimbang para pencari suaka lain. Bukan, atau bukan semata-mata, karena banyak dari warga Timor dan Papua beragama Nasrani. Tetapi faktor kedekat-an geografi yang berdampak ke keamanan. Bahkan tidak mus-t-ahil faktor penampilan fisik ikut berperan. Dibanding-kan de-ngan pencari suaka dari wilayah lain, yang dari Timor dan Papua lebih dekat dengan kaum Aborigin di Australia.
Selain itu, kelas menengah Australia masih menanggung beban sejarah nasional atas penindasan kaum kulit putih ter-hadap kaum Aborigin pada masa lampau, dan akibatnya hing-ga masa kini. Sementara itu, ketakutan dan prasangka pasca-serangan New York 11 September 2001 dan bom Bali 12 Oktober 2002 mempengaruhi nasib pencari suaka berpenampilan Timur Tengah.
Reaksi marah pemerintah RI tampaknya memancing sentimen nasionalistik. Jika berhasil, frustrasi masyarakat atas berbagai masalah dalam negeri dapat diarahkan ke ”m-usuh bersama” di luar negeri. Setidaknya, reaksi itu diharapkan da-pat menyenangkan sebagian orang yang anti-Australia, misalnya militer yang kalah perang di Timor Timur atau sebagian kalangan muslim yang dikecewakan persekutuan Aus-tralia dengan Amerika Serikat dalam propaganda ”pe-rang terhadap terorisme”.
Reaksi pemerintah RI terhadap Canberra dapat dibanding-kan dengan Rancangan Undang-Undang Pornografi. Ke-dua-nya dimaksudkan untuk menyenangkan sebagian publik da-lam negeri. Namun, keduanya tidak efektif. Seperti terhadap pornografi, sikap pemerintah RI terhadap Papua tidak konsisten baik dalam hal otonomi daerah maupun bila dibanding-kan dengan sikap pemerintah pusat kepada daerah-da-erah lain, khususnya di Jawa. Reaksi pemerintah RI terhadap pa-ra pencari suaka dari Papua sangat berbeda dengan sikap pe-merintah terhadap pencari suaka dari kelompok minoritas politik sesudah 1965. Atau kelompok minoritas etnik sesudah terjadinya kekerasan rasial 1998 maupun minoritas agama dalam beberapa tahun belakangan ini.
Untung, publik Indonesia bersikap lebih dewasa ketimbang yang diperkirakan pemerintah. Setelah menolak RUU Pornografi, mereka menilai reaksi pemerintah RI terhadap Australia sebagai reaksi yang berlebihan dan kekanak-kanakan. Yang tampil bukan amuk nasionalistik melainkan kepeduli-an pada hak asasi manusia dan keadilan ekonomi-politik warga Papua. Ini tidak berarti masalah Papua akan mudah di-selesaikan. Yang memprihatinkan adalah masih beredarnya sisa-sisa paham nasionalisme primordialistik di masya-rakat kita yang menganggap tanah jajahan Hindia Belanda (termasuk Papua) sebagai harta milik mereka yang diwariskan nenek moyang.
Dari Sabang sampai Sydney hadir beratus-ratus kelo-mpok sosial yang sangat beraneka ragam. Sejarah kolonialisme te-lah membelah mereka menjadi dua bangsa dengan identitas na-sional dan bendera berbeda. Tapi selama bertahun-tahun jutaan orang dari Sabang hingga Sydney melintasi batas, saling bergaul sebagai turis, pelajar, seniman, atau pengusaha. Tidak sedikit yang membina satu rumah tangga.
Di antara Sabang dan Sydney, hanya ada dua pusat pe-merintahan negara yang berbeda tapi banyak miripnya dan sering berselisih. Kasus Papua yang paling mutakhir, tapi pasti bukan yang terakhir. Sementara dua tetangga ini ribut di sekitar Papua, sekelompok pengusaha dari belahan bumi lain asyik memboyong harta berlimpah dari tambang emas Papua ke negara asalnya.
Artikel ini merupakan pandangan pribadinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo