T~AK ada tanah keras, yang lembek pun jadi. Pekerjaan konstruksi memang tak boleh terlalu pilih-pilih lokasi. Kalau memang harus membangun jalan atau gedung di tanah berawa, mengapa mesti ditolak? Untuk menaklukkan tanah lembek itu kini tersedia teknik baru yang lebih andal. Teknik baru ini disebut fondasi top base. Kekukuhan fondasi itu bertumpu pada rangkaian beton yang dicetak mirip gasing: kerucut bersudut 45 derajat, yang pada ujungnya terdapat kaki silinder lancip. Sesuai dengan bentuknya, teknik baru itu disebut fondasi gasing. Dalam jajaran perfondasian, teknik ini masuk kategori fondasi dangkal, sekelas dengan fondasi pelat, cakar ayam, atau fondasi kerikil. Belum lama dia berada di Indonesia. Baru setahun lalu dia diboyong dari negeri asalnya, Jepang. Lantas di Bandung, teknik ini diutak-atik dan diuji oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Jalan, Departemen PU. Hasil pengujiannya, awal Juni ini, diseminarkan di Hotel Sahid Jakarta, di depan para ahli teknik tanah Indonesia. "Teknik ini cocok untuk kondisi Indonesia," ujar Ir. Soemarsono Muljadi, Kepala Divisi Geoteknik Puslitbang Jalan. Ia menilai fondasi gasing ini memiliki sejumlah keunggulan untuk menaklukkan tanah lembek, yang hanya mampu menyangga beban sampai 5 kg/cm persegi. "Padahal, 60 persen daratan Indonesia adalah tanah lembek," tambahnya. Sejumlah bukti keunggulan memang telah disajikan dalam seminar itu, oleh Ir. Hermin Tjahjati dan Drs. Suherman. Kehadiran fondasi gasing, dalam makalah Hermin dan Suherman, bisa mengatrol kemampuan tanah lempung basah hingga daya dukungnya mencapai 980 kg, pada keadaan beban merata. Lebih baik dibanding fondasi pelat baja, yang mulai goyang pada beban 800 kg. Percobaan ini dilakukan pada fondasi skala lab, berukuran 30 x 30 cm. Percobaan di lapangan dalam skala 1:1, di atas tanah lempung basah pun, ternyata menegaskan hasil per~gujian lab. Pada percobaan ini, fondasi gasing, beton, dan kerikil, masing-masing seluas 1,5 x 1,5 meter diberi beban secara bertahap, hingga mencapai ~7 ton. Pada hari ke-18, fondasi kerikil yang tebalnya 25 cm itu permukaannya turun sampai 56 mm. Fondasi beton, yang juga 25 cm tebalnya, ambles sedalam 52 mm. Sedang fondasi gasing, 50 cm tebalnya, hanya beringsut turun 46 mm. Membangun fondasi gasing tidaklah terlalu rumit. Gasing dicetak, lantas ditata berjejer, saling bersinggungan, dengan kaki menancap di tanah. Kaki gasing pada ujung kerucut "diikat" satu sama lain dengan rangka besi. Begitu pula simpul atas kepala gasing "diuntai" satu sama lain dengan besi yang sama. Lantas, sela-sela gasing itu diisi dengan kerikil yang dipadatkan. Jadilah untaian gasing beton ini sebagai fondasi yang kompak. Kendati belum diujibandingkan, Kepala Balitbang PU, Ir. Karman Somawidjaja menaksir fondasi gasing ini memiliki "keunggulan teknis dan ekonomi" ketimbang fondasi tiang pancang. Pasalnya, "Kita sering menemui lapisan tanah lembek yang dalamnya 30-35 meter," ujarnya. Selain repot membuat tiang pancangnya, tentu, perlu beton yang besar. Bahkan dibanding fondasi cakar ayam, fondasi gasing, "sepintas lebih mudah dan murah," tutur Karman, hati-hati. Kaki-kaki gasing relatif pendek, hingga tak sesulit menancapkan batang beton cakar ayam yang lebih panjang dan berat. Belum lagi cakar-cakar itu mesti disambungkan ke pelat beton, hingga perlu pengecoran lagi. Dalam pemakaian betonnya pun fondasi gasmg lebih irit. Sebab, untuk memperoleh bidang kontak, antara fondasi dan tanah yang sama luasnya, kebutuhan beton pada fondasi gasing lebih kecil. Konon, fondasi gasing itu ditemukan oleh Matsui, seorang pedagang dari Jepang, sekitar 13 tahun lalu. Setelah disempurnakan oleh para ahli Universitas Kyoto, fondasi gasing itu memperoleh pengesahan ilmiah. Kabarnya, sejak empat tahun lalu, fondasi gasing ini telah dipraktekkan pada pembuatan gedung, jalan-jalan, dan saluran air. Kendati telah dipraktekkan secara luas - termasuk pelataran Bandara Soekarno-Hatta dan Jalan Tol Cengkareng-Pluit -- sesungguhnya fondasi cakar ayam belum didukung oleh sebuah sintesa ilmiah. Pendekatan teoretis dan formula matematiknya tidak pernah ketahuan bentuknya. Tak mengherankan kalau cakar ayam buah karya Almarhum Profesor Sedyatmo itu masih tetap diperdebatkan. Soemartono Muljadi termasuk ahli yang kurang sreg jika cakar ayam digunakan sebagai alas bertumpunya gedung atau badan jalan. "Cakar ayam lebih cocok untuk bangunan yang bobot tubuhnya kecil, tapi momennya besar, seperti tiang listrik atau menara," tuturnya. Penampilan Jalan Tol Sedyatmo, Kompleks Bandara Cengkareng, dan Gedung Pemda Kal-Tim di Samarinda, yang menggunakan fondasi cakar ayam, agak mengecewakan Soemarsono, karena bangunan-bangunan itu bergelombang. "Secara pribadi, saya menganggap pemilihan jenis fondasi cakar ayam buat bangunan-bangunan tadi keliru," tambahnya. Tapi Ir. Johan Simanjuntak Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI), tak sependapat. Kaki-kaki panjang pada teknik cakar ayam, menurut Johan, justru membuat konstruksi fondasi kompak, yang memungkinkan pemampatan tanah terJadi hingga jauh di kedalaman. Fondasi gasing? "Fondasi gasing hanya memperbaiki permukaannya," ujarnya. Johan mengharap, masuknya fondasi gasing itu hendaknya dimanfa~tkan untuk membandingkannya dengan teknik cakar ayam. Kalau ternyata lebih unggul, cakar ayam akan bisa diterima secara lebih luas. Bahwa belum diperoleh penjelasan ilmiah dan formula matematik atas cakar ayam, "Itu menjadi kewajiban kita untuk mendapatkannya," tuturnya. Putut Tri Husodo (J~akarta), Jenny Ratna & Heddy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini