VIETNAM, malang nian nasibmu. Makmur dan sejahtera, seperti impian para pejuang komunis, tak juga terwujud. Malah kesombongan sebagai negara superkuat di Indocina membuat kamu terjebak dalam petualangan militer di Kamboja. Dan tiba-tiba, belum lama berselang, kau umumkan paceklik di ladang-ladang pertanian. Buntutnya, sebuah pernyataan, yang dikutip wartawan koran Bangkok Post, bahwa 3 juta rakyat terancam kelaparan. Aneh. Biasanya yang terjadi pihak luar mengungkapkan kelaparan, lalu pemerintah setempat, dengan sengit, membantah. Yang ini justru sebalikya. Apa sebenarnya yang terjadi di Vietnam? Menurut sumber-sumber diplomat di sana, kekurangan pangan memang ada di wilayah utara, namun bisa ditutup dengan surplus dari selatan. Dengan kata lain, kelaparan memang mengancam tapi masih bisa ditanggulangi. Maka, muncullah beberapa analisa dari para pengamat negeri yang populer karena dua hal itu - perang dan pengungsi Vietnam. Cadangan devisa negara berpenduduk 60 juta jiwa itu nyaris kering-kerontang. Bahkan menurut informasi terakhir, tahun 1983, Hanoi cuma punya US$ 16 juta, dengan utang sebesar US$ 6 milyar. Dua tahun kemudian, pemerintah Vietnam mengaku tak mampu mencicil utangnya yang sudah jatuh tempo. Akibatnya, Dana Moneter Internasional (IMF) tak lagi bersedia memasok bantuan. Tak mengapa, masih ada Soviet, pemasok bantuan US$ 1,6 milyar per tahun. Tapi cerita klasik berulang di negeri yang memilih warna merah ini. Salah urus, korupsi, manipulasi, memandulkan tiang utama perekonomiannya, yakni koperasi raksasa - mirip nasib clone, koperasi Soviet. Itu soalnya, antara lain, bila Vietnam bersedia menarik pasukannya dari Kamboja. Agar negeri-negeri kaya menaruh simpati, dan karena itu bantuan gampang mengalir. Mungkin berita ancaman kelaparan memang didramatisasi, guna mempercepat datangnya simpati? Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini