TAMAN Mini bakal bertambah penghuni. Tujuh buah kereta bertenaga angin akan didatangkan dari Brasil, untuk mengantar pengunjung taman ke pavilyun-pavilyun yang diinginkan. Sebuah lintasan kereta yang melingkar sepanjang empat kilometer pun segera akan dibangun di atas pilar-pilar beton. "Mudah-mudahan, Juni tahun depan kereta sudah beroperasi," ujar Irsan Ilyas, Direktur Pelaksana PT Citra Patenindo Nusa Pratama, sang investor. Kereta angin yang dinamai aeromovel itu hingga kini masih terhitung barang langka di dunia. Indonesia merupakan negara asing pertama yang mengoperasikan kereta angin buatan perusahaan Sur Coester S/A, Brasil. Di negeri asalnya, lintasan aeromovel baru ada satu, di Kota Porto Alegre 1.500 km di selatan Rio de Janeiro. Kerja sama teknik antara Citra Patenindo dan Coester diteken Jumat malam lalu oleh orang nomor satu dari kedua perusahaan: Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, Presdir PT Citra Patenindo, dan Direktur Coester S/A, Oskar Coester. Penandatanganan itu menandai pula pembelian lisensi aeromovel oleh PT Citra. Harganya? "Wah, rahasia perusahaan," kata Irsan Ilyas. Kereta angin di Taman Mini ini memiliki dua kepala kembar, masing-masing di ujung yang berlawanan. Tak ada kepala atau ekor. Panjang kereta 27 meter, lebarnya 2,8 meter, dan berat tubuhnya 8,7 ton di saat kosong. Aeromovel ini, "didesain mampu menampung 300 penumpang," ujar Oskar Coester pada TEMPO. Pada ba~gian tengah kereta terdapat sambungan, mirip gandengan gerbong pada kereta api, yang berfungsi sebagai persendian agar tubuh kereta tidak kaku. Lintasan kereta angin itu berupa dua buah rel sejajar. Tidak seperti rel kereta api, rel aeromovel berupa lekukan besi panjang. Keenam pasang roda besi kereta itu bergerak mengikuti rel cekung itu. Jika lintasan tak berkelok-kelok, kereta ini bisa dioperasikan tanpa dlsertai seorang masinis pun. Aeromovel tak doyan bensin. Dia juga tak memerlukan listrik. Sebagai sumber tenaga kereta ini mengandalkan tiupan angin dari lorong berpenampang 1 m2 yang bersembunyi di bawah rel, terbungkus beton. Kereta ini memiliki dua buah "layar" yang melintang rapat pada dinding lorong angin. Gagang layar itu menancap pada kedua ujung perut kereta. Tiupan angin akan mendorong layar, dan berikutnya bisa menggerakkan tubuh kereta. Kedua gagang layar itu bergeser mengikuti sebuah celah yang mirip bibir terkatup. Dua bibir karet itu cukup elastis, mudah terkuak oleh dorongan gagang layar, tapi tidak memberikan celah sedikit pun untuk meloloskan angin. Tiupan angin itu diperoleh dari sebuah motor yang mengubah tenaga listrik menjadi gerak putar baling-baling. Coester mengklaim, instalasinya mampu menghasilkan aliran udara sebesar 1.350 m3 per menit. Kendati kereta penuh penumpang, dorongan udara sejumlah itu, "bisa memberikan kecepatan sampai 75 km per jam," ujar Oskar Coester pada TEMPO. Jumlah instalasi angin yang diperlukan tergantung panjang lintasan dan jumlah kereta yang dioperasikan pada trayek itu. Untuk lintasan Taman Mini, misalnya, diperlukan setidaknya tujuh instalasi angin. "Satu instalasi hanya bisa melayani satu kereta," kata Coester. Maka, jarak minimum antarkereta, ya, sejauh jarak antarinstalasi itu. Selain instalasi penyembur angin, sistem aeromovel itu memerlukan instalasi pengisap. Motor yang digunakan sama, yang berbeda hanya desain baling-balingnya. Kereta itu bisa berhenti secara otomatis di setiap halte. Ada sensor magnetik yang bisa mengenali posisi kereta. Ketika kereta itu mendekat ke halte, sensor itu memberikan sinyal ke pusat kendali pada sistem lintasan itu. Sinyal itu diolah oleh mikroprosesor seherhana. Alhasil, komputer akan memberi perintah supaya klep pembuangan terbuka, agar dorongan angin mengendur. Pada saat yang sama, klep lain menutup jalur lain, agar udara mampat dan menahan gerak layar. Kereta pun berhenti Kalau komputer rusak? "Masih ada cadangan," kata Coester. Sensor darurat. Jika kereta meluncur melewati sensor darurat masih dengan kecepatan tinggi, maka sensor itu akan mengontak sistem pengendali yang ada dalam kereta. Rem pun akan bergerak menghentikan gerak roda. Aeromovel kini tengah gencar dipromosikan oleh PT Citra Patenindo. Jumat pagi pekan lalu, sebuah seminar setengah hari diadakan di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, yang biasa dipanggil Tutut, tampil sebagai salah satu pembicara. Tutut antara lain menyorot kemungkinan pengoperasian aeromovel sebagai kendaraan umum, untuk memecahkan problem kepadatan lalu lintas, terutama di Jakarta. "Lebih murah investasinya, biaya operasinya rendah, dan bisa dibangun dengan bahan-bahan domestik,"ujar Tutut. Irsan Ilyas lebih terus terang ketika menawarkan kereta Brasil itu. "Aeromovel saya kira cocok untuk melayani jalur Blok M-Tanah Abang-Kota," ujar Direktur Pelaksana PT Citra itu, menyebut jalur paling padat di Jakarta. Dan PT Citra menawarkan diri sebagai investor. Investasi untuk konstruksi lintasan aeromovel, kabarnya, sekitar US$ 2,5 juta per kilometer. Harga keretanya, "sekitar US$ 250 ribu per unit, jika diimpor dari Brasil," kata Irsan. Sebetulnya, teknologi pembuatan kereta aeromovel itu sederhana. "Tidak lebih sulit dibanding membuat tubuh bis," ujar Coester. Sementara ini, PT Citra tengah "memeriksakan" aeromovel ke BPPT untuk dikaji dan dimintakan sertifikat kelayakan, kalau memang dianggap layak. Jika sertifikat itu sudah di tangan, "kami akan mengajukan tawaran ke pemerintah," kata Irsan. Dirjen Perhubungan Darat Giri Suseno Hadihardjono tak bersedia banyak komentar. "Kita tak boleh bilang baik atau buruk sebelum tahu benar bagaimana keadaan yang sebenarnya," ujarnya. Tentang rencana pengoperasian kereta Brasil itu di Taman Mini, Giri Suseno mengaku belum mengeluarkan sertifikat kelaikan, sebagaimana diberikan untuk kendaraan darat lainnya. Putu~t Tri Husudo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini