Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah tinggi mengambang indonesia

Status sekolah tinggi manajemen industri (stmi) di pertanyakan mahasiswanya hingga ke dpr. di bawah departemen perindustrian tapi menerima mahasiswa umum. status stmi: kedinasan tidak, swasta pun bukan.

18 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

~ADA perang spanduk di kampus Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI) di Jalan Letjen. Suprapto, Jakarta. Sebuah spanduk besar dengan tulisan rapi isinya mencari mahaslswa baru. Di sekitar spanduk itu ada spanduk kecil lagi. Bunyinya, "Deprind bapakku, P dan K pamanku, kok, n~ak pernah non~gol. sih?" Ada lagi: "Mana tanggung jawab Departemen Perindustrian?" ~oretan lainnya masih banyak, berupa poster. Kampus STMI rupanya sedang bergejolak. Mahasiswa protes. Tapi beda dengan protes di kampus lain yang kebanyakan mempersoalkan uang kuliah, mahasiswa STMI mempersoalkan yang lebih mendasar: status sekolah tinggi itu sendiri. Tidak jelas bagi mahasiswa, apakah STMI masih berstatus sekolah kedinasan di bawah Departemen Perindustrian atau perguruan tinggi swasta yang "dibina" Departemen P dan K. Mahasiswa STMI itu mulai melakukan unjuk rasa Kamis pekan lalu dengan aksi poster. Menjelang siang hari, 10 mahasiswa pengunjuk rasa diterima oleh pekan STMI Ir. Mulyadi. Mahasiswa menyodorkan 11 tuntutan. Antara lain kejelasan tentang eksistensi STMI, pendayagunaan uang kuliah, mekanisme ujian negara, tuntutan agar Pembantu Dekan I STMI Dipl. Ing. Tjipto diganti. Hasil pertemuan itu tak~ memuaskan mahasiswa. Ir. Mulyadi hanya menyetujui segera dibentuknya senat mahasiswa, mengundang para orangtua mahasiswa ke kampus, dan berjanji tak akan menindak mahasiswa yang terlibat demonstrasi. Sebab itu Roy Maningkas, mahasiswa angkatan 1984, salah seorang penggerak, bersikeras untuk melanjutkan aksi protes. "Pokoknya, setapak pun kita takkan mundur," katanya. Benar juga. Hanya sehari setelah itu, lebih dari seratus mahasiswa STMI berarak menuju gedung DPR RI di Senayan. Tak semuanya bisa lolos di pos penjagaan, memang. Hanya 15 mahasiswa yang kemudian diterima oleh Fraksi Karya Pembangunan DPR RI. Delegasi mahasiswa itu menjelaskan kisruh yang terjadi di STMI. Tuntutan yang mereka sampaikan ke dekan STMI dibacakan di DPR. Marzuki Darusman, Wakil Sekretaris bidang Polkam FKP yang menerima delegasi itu, berjanji akan mempertanyakan permasalahannya kepada pemerintah. "FKP ikut prihatin," kata M.S. Situmorang, dari Komisi VI Bidang Perindustrian, yang mendampingi Mar~uki. Sepulang dari DPR, toh mahasiswa itu juga belum puas. Yang dilakukan kini adalah mendatangkan para orangtuanya ke kampus - dan ini sebenarnya sudah disetujui oleh dekan STMI. Pertemuan yang melibatkan orangtua mahasiswa itu direncanakan Kamis pekan ini. Para mahasiswa mengharapkan dalam pertemuan itu dekan STMI mempertanggungjawabkan berbagai hal, antara lain janji bahwa lulusan STMI ditampung di Departemen Perindustrian. Sekolah tinggi yang berdiri tahun 1968 ini semula memang dimaksudkan untuk memenuhi tenaga di Departemen Perindustrian. Karena itulah secara formal STMI merupakan sekolah kedinasan. Ketika itu, mahasiswa STMI adalah pegawai negeri Departemen Perindustrian yang tugas belajar. Dan STMI diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan program sarjana. Sebagai sekolah kedinasan, ia pertama kali mengadakan ujian negara tahun 1975. Penyelenggara ujian adalah Departemen Perindustrlan, sedangkan panitia ujian dari ITB sebagai perguruan tinggi pembina. Departemen P dan K bertindak sebagai pengawas. Pada tahun 1981, Departemen P dan K mengadakan penertiban gelar. Pada saat itu semua sekolah kedinasan dilarang menghasilkan gelar sarjana sebagaimana perguruan tinggi umum: Karena itu, orientasi STMI kemudian berubah. Ia hanya membuka program D-IV - dan oleh Dekan STMI disebut program diploma yang setaraf dengan program sarjana. Lama pendidikan 4,5 tahun. Nah, sejak 1983, STMI mulai menerima mahasiswa dari lulusan SMTA umum. Kepada mahasiswa baru, pimpinan STMI kabarnya tetap berjanji bahwa lulusannya nanti selain mendapat beasiswa juga ditampung di Departemen Perindustrian atau di BUMN (badan usaha milik negara) di bawah departemen itu. Kampus ini sekarang memiliki sekitar 800 mahasiswa. Belakangan terbukti bahwa hal itu tidak benar. Jangankan beasiswa, uang kuliah malah dinilai mahal, Rp 485 ribu setahun. Yang membuat mahasiswa jengkel, pelaksanaan perkuliahan juga berjalan tidak beres. "Banyak dosen yang mangkir," kata Roy, yang kini memasuki semester kedelapan. "Di sini tidak ada dosen tetap." Yang paling bikin kesal adalah molornya penyelenggaraan ujian negara. Kepada mahasiswa disodorkan peraturari bahwa untuk bisa mengikuti ujian negara diharuskan memiliki IP (indeks prestasi) 2,6. Tentang itu, Pembamu Dekan I STMI Dipl. Ing. T~ipto mengakui terus terang. "Memang tidak gampang mengurusnya. P dan K 'kan sibuk. Jadi, ya, sabarlah," kata Tjipto. "Habis, mau bagaimana lagi?" Dekan STMI Ir. Mulyadi akan membawa permasalahan ini ke Sekjen Departemen Perindustrian. "Saya belum bisa memberi komentar apaapa," kata Mulyadi, yang baru dilantik jadi dekan Februari silam. Bagaimana mungkin STMI menyelenggarakan ujian negara? "STMI sebagai sekolah kedinasan tidak di bawah Departemen P dan K, dan karena itu tak ada ujian negara," kata sumber TEMPO di Departemen P dan K. Menurut sumber itu, Departemen Perindustrian bertanggung jawab semuanya, dari mengatur uanK kuliah, kurikulum, sampai pelaksanaan ujian. STMI tidak sama dengan PTS (perguruan tinggi swasta) yang dikoordinasikan oleh Kopertis dan dibina oleh P dan K. Tentang STMI menjamin lulusannya ditampung di Departemen Perindustrian dibantah Tjipto. "Dekan lama, Ir. Subroto, pernah ditanya orangtua mahasiswa ke mana disalurkan lulusan STMI. Pak Broto bilang, bisa saja bekerja di Deprin. Tapi tak ada janji penempatan itu," kata Tjipto. Kriteria sekolah kedinasan, menurut sebuah sumber, semua lulusan tersalurkan, misalnya, STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) di bawah Departemen Keuangan, atau Akabri. Jadi, STMI memang tak jelas, kedinasan tidak, swasta pun bukan. ~Agus ~Basri dan Sri Pudy~astuti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus