Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ELON Musk tak pernah berhenti bermimpi. Setelah sukses me¡©revolusi transportasi dengan mobil listrik, membuat armada roket ulang-alik, serta merancang sistem transportasi antarplanet dan kolonisasi Mars, kali ini pendiri perusahaan mobil listrik Tesla Motors dan eksplorasi luar angkasa SpaceX itu ingin membuat dunia menikmati Internet cepat. Caranya lewat jaringan ribuan satelit di orbit bumi.
Sebelum mimpi itu terwujud, Musk harus mendapatkan izin dari Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat. Proposal proyek pun sudah dikirimkan pada November tahun lalu. Jika disetujui, SpaceX dapat meluncurkan 4.425 satelit kecil ke orbit rendah bumi. Armada mikrosatelit itu akan ditempatkan pada ketinggian 1.100-1.300 kilometer dalam 83 jalur orbit, masing-masing berisi 50-75 satelit. Walhasil, setiap sudut di bumi dapat dijangkau oleh satelit SpaceX.
Di depan Senat Amerika Serikat awal bulan lalu, Wakil Presiden SpaceX Patricia Cooper mengatakan satu purwarupa bakal diluncurkan akhir tahun ini dan beberapa lagi menyusul awal tahun depan. Menggunakan roket ulang-alik Falcon 9, peluncuran besar akan dilakukan sepanjang 2019. "Satelit yang tersisa akan diluncurkan bertahap hingga 2024," kata Cooper seperti dilansir CNBC.
Proyek besar itu rupanya juga tengah dirancang Google, Boeing, dan Samsung. Perusahaan komunikasi OneWeb, yang digawangi sejumlah mantan pegawai Google, juga merancang konstelasi 648 satelit di ketinggian 1.200 kilometer. Sebagian kapasitas satelit sudah terjual. OneWeb berencana memperbesar rancangan konstelasinya dengan sekitar 1.900 satelit tambahan.
Jaringan Internet memanfaatkan satelit bukan ide baru. Lebih dari dua dekade lalu, beberapa perusahaan teknologi sudah mencobanya, tapi teknologi penerbangan kala itu belum secanggih sekarang. Ongkosnya pun terbilang mahal. Teledesic, misalnya. Pada 2003, perusahaan yang disokong pendiri Microsoft, Bill Gates, ini membatalkan peluncuran sekitar 800 satelit karena teknologinya belum mumpuni. Setelah itu, Gates tak pernah melirik proyek tersebut lagi.
SpaceX bisa dibilang lebih beruntung. Menurut Elon Musk, proyek Internet satelit itu bisa berjalan lebih dari lima tahun dan akan menghabiskan dana US$ 10 miliar atau sekitar Rp 133 triliun. Musk tentu sudah menghitung segala kemungkinan yang ada. Pertaruhan besar Musk itu bisa kembali tiga kali lipat jika semua berjalan sesuai dengan rencana.
Menurut ahli satelit dan radar Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, proyek ambisius Musk itu adalah masa depan. Apalagi, dengan teknologi yang ada saat ini, jaringan sistem Internet bisa dibangun menggunakan satelit mikro dalam jumlah banyak yang beroperasi di ketinggian 500-800 kilometer. "Satelit berfungsi sebagai hub atau repeater (receiver dan transmitter) Internet," ucap Josaphat, yang juga profesor radar di Chiba University, Jepang, lewat surat elektronik kepada Tempo pada awal Mei lalu.
Dengan bobot mencapai hitungan ton, biaya peluncuran dan operasional satelit menjadi sangat mahal. Josaphat dan timnya merancang satelit mikro berbobot 150 kilogram yang dapat beroperasi di orbit rendah bumi sehingga biayanya lebih murah. Proyek ini sudah berjalan dan merupakan hasil kerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). "Satelit mikro mudah diganti dan pemakaian energinya kecil," ujar Josaphat.
Penggunaan satelit mikro untuk jaringan Internet bukan tanpa kelemahan. Dibutuhkan unit lebih banyak sehingga pengelolaan ruang angkasa akan semakin rumit, risiko kecelakaan bertambah besar, dan terjadi interferensi frekuensi. "Juga menambah jumlah sampah di ruang angkasa," katanya.
Kekhawatiran Josaphat cukup beralasan. Pada saat ini saja terdapat 4.256 satelit yang mengorbit bumi. Dari jumlah itu, hanya 1.419 unit yang masih berfungsi. Sebagian besar milik Amerika Serikat. Satelit nonaktif yang tersisa lantas menjadi sampah antariksa, melayang bersama puing-puing satelit yang belum terbakar di atmosfer. Diperkirakan ada lebih dari 750 ribu sampah antariksa berukuran setidaknya 1 sentimeter yang mengelilingi bumi. "Yang berukuran lebih dari 10 sentimeter berkisar 20-25 ribu potong," ujar Tiar Dani, peneliti astronomi Lapan Bandung.
Sampah antariksa umumnya jatuh secara alami dan terbakar di atmosfer dalam kurun sepuluh tahun. Peningkatan aktivitas matahari juga membuat atmosfer memadat dan membuat obyek di orbit seperti direm. "Makin lama makin turun ke bumi," ucap Dani.
Banyaknya sampah antariksa itu membuat eksplorasi ruang orbit bumi semakin sulit. Dengan kecepatan rata-rata 40 ribu kilometer per jam, efek benturan obyek berukuran kurang dari 1 sentimeter setara dengan ledakan granat yang dapat memicu kerusakan serius pada satelit.
Ancaman serius dari sampah antariksa ini pernah dialami satu dari tiga satelit milik Lapan, Tubsat, A-2, dan A-3, yang ada di zona orbit rendah. Badan Pertahanan Udara Amerika (NORAD) pernah memberi peringatan adanya sampah antariksa yang mendekati Tubsat. Lapan hanya bisa pasrah karena satelit yang diluncurkan pada 2007 itu tak punya mesin pendorong. "Tapi sejauh ini kondisinya aman," kata Dani.
Hugh Lewis, ahli teknik antariksa dari University of Southampton, Inggris, pernah melakukan simulasi dampak serius penambahan lalu lintas satelit dalam periode 200 tahun. Hasilnya, peluang tabrakan antarsatelit meningkat hingga 50 persen. Tabrakan menambah jumlah puing antariksa di orbit. Akibatnya, risiko insiden di masa depan juga meningkat. "Jaringan satelit yang diluncurkan tahun depan jumlahnya banyak. Ini berdampak besar pada lingkungan antariksa karena naiknya risiko kecelakaan," ujar Lewis seperti ditulis The Guardian.
Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi yang mengikat ihwal penempatan satelit di orbit rendah. Peraturan yang dibuat Persatuan Telekomunikasi Internasional hanya mengatur satelit di orbit geostasioner. "Aturan itu hanya untuk jatah posisi orbit, mencegah tabrakan, dan operasional tak saling mengganggu," kata Robertus Heru Triharjanto, peneliti Pusat Teknologi Satelit Lapan.
Menurut dia, untuk mencegah insiden di orbit rendah, mesti ada aturan untuk para operator. Mereka seharusnya merancang sistem agar satelit bekasnya keluar dari orbit supaya terbakar di atmosfer bumi. "Jika masih ada sisanya, diatur agar jatuh di laut," ujarnya.
Gabriel Wahyu Titiyoga, Anwar Siswadi (bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo