Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DELAPAN jam melacak jejak Mochamad Basuki, tim Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya mencokok Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur ini. "Dia ditangkap di sekitar Malang," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Selasa pekan lalu.
Komisi antikorupsi memburu Basuki karena ia diduga menyuruh dua ajudannya, Rahman Agung dan Santoso, menerima uang suap. Senin siang pekan lalu, tim KPK menangkap tangan kedua orang itu ketika menerima uang Rp 150 juta di ruang kerja Basuki. Penyetor uang adalah Anang Basuki Rahmat, orang dekat Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur Bambang Hariyanto. Sejam setelah operasi tangkap tangan itu, KPK mencokok Bambang di rumahnya.
Menurut Basaria, uang tersebut merupakan pemberian kedua dari Bambang. "Ada janji pemberian Rp 600 juta per tahun," ujar Basaria. "Diberikan setiap tiga bulan." Uang pelicin itu diduga untuk melancarkan persetujuan Dewan atas anggaran dan rencana kerja Dinas Pertanian.
Setelah penangkapan itu, lima petugas berompi KPK menggeledah ruang kerja Mochamad Basuki. Sekitar pukul 12.30, tim KPK menyegel ruangan politikus Partai Gerindra itu. Sejumlah media online memberitakan penangkapan dan penyegelan itu. Beberapa wartawan juga menelepon Basuki untuk meminta konfirmasi. Setelah berita penyegelan itu beredar, Basuki mematikan telepon selulernya.
Basuki tak benar-benar memutus komunikasi. Sedari siang, ia berkali-kali mengontak seorang advokat, Muhammad Sholeh. Namun Sholeh tak mengangkat panggilan telepon dari nomor yang tak dia kenal itu. "Basuki akhirnya menelepon dengan nomor pribadi," kata Sholeh. Tersambung sekitar pukul 17.30, Basuki meminta Sholeh menjadi pengacaranya. Basuki pun meminta Sholeh segera ke rumahnya di Jalan Gede Baru III, Surabaya.
Sewaktu Sholeh tiba di rumah Basuki, beberapa petugas KPK sedang berbincang dengan istri sang anggota Dewan. Mereka mencari tahu keberadaan Basuki. Menurut cerita sang istri kepada Sholeh, Basuki meninggalkan rumah pukul 14.30. Sejak itu, sang istri tak bisa menghubungi telepon Basuki.
Sekitar pukul 19.00, jejak Basuki mulai terang. Tim KPK mendapat informasi bahwa Toyota Yaris merah yang biasa dipakai Basuki berada di Surabaya. Penelusuran jejak mobil itu membawa tim KPK ke sebuah vila di Jalan Pringgan, Lowokwaru, Malang. Sesampai di vila itu, tim KPK tidak buru-buru masuk.
Sekitar pukul 23.30, Yaris tersebut hendak meninggalkan vila. Tahu Basuki berada di mobil itu, tim KPK mencegatnya. Basuki ditangkap bersama sopirnya. Keduanya digelandang ke kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur. Pagi harinya, Basuki menelepon kembali Sholeh untuk memberi tahu penangkapan itu.
Setelah mencokok Basuki, keesokan harinya tim KPK menangkap Kepala Dinas Peternakan Rohayati. Pada 26 Mei lalu, menurut Basaria Panjaitan, Basuki terendus menerima uang Rp 100 juta dari Rohayati. "Uang itu diduga uang untuk memperlancar pembahasan peraturan daerah," ucap Basaria.
BAU suap untuk Mochamad Basuki tercium tim KPK sejak awal Maret lalu. Menurut seorang penegak hukum, Basuki terpantau sering "bersafari" ke sejumlah dinas. Ada delapan satuan kerja perangkat daerah yang menjadi mitra Komisi Perekonomian DPRD.
Di samping memantau Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian, Komisi B yang dipimpin Basuki mengawasi Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Sang penegak hukum menuturkan, penyidik KPK tengah menelisik informasi seputar upeti Rp 600 juta per tahun dari tiap dinas untuk Komisi B DPRD. Setoran tersebut biasanya dipecah menjadi Rp 150 juta per tiga bulan. "Sengaja dipecah agar sulit dipantau," ujar si penegak hukum.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan penyidik KPK sedang menelusuri sejak kapan Basuki meminta upeti ke dinas-dinas. "Masih kami dalami apakah itu baru terjadi tahun ini atau sejak tahun-tahun sebelumnya," kata Febri.
Tim KPK telah melacak aliran duit ke Basuki paling tidak dalam dua bulan terakhir. Menurut Basaria Panjaitan, pada akhir Mei lalu, misalnya, tim KPK mencium jejak setoran Rp 50 juta dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Pada periode yang sama, terendus aliran duit Rp 100 juta dari Dinas Perkebunan.
Sewaktu memeriksa tersangka Bambang Hariyanto, penyidik KPK mendapat info tentang setoran Rp 150 juta dari Dinas Pertanian ke Basuki pada awal tahun ini. Uang tersebut diduga merupakan setoran untuk triwulan pertama tahun anggaran 2017.
Seorang penegak hukum lainnya menerangkan, suap untuk Basuki tidak dihitung per proyek atau setiap pembahasan peraturan daerah. "Dia biasanya minta dibayar di muka. Janjinya, semua urusan dinas di Dewan bakal lancar," ucap sumber ini.
Kepada Rohayati, yang baru enam bulan menjabat Kepala Dinas Peternakan, misalnya, Basuki berjanji memuluskan pembahasan revisi Peraturan Daerah Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif. Sebelum Basuki "turun tangan", rencana revisi aturan itu terkatung-katung sejak awal 2014.
Karena suap tak langsung berkaitan dengan anggaran proyek, menurut penelusuran KPK, pejabat Dinas biasanya memakai jurus "gali lubang tutup lubang". Dinas mengambil jatah untuk Basuki dari pos anggaran yang tidak mendesak. Untuk menutupi bolong itu, Dinas menggelembungkan anggaran proyek lainnya.
Setiap kali transaksi, menurut pantauan KPK, Basuki tidak pernah menerima langsung uang setoran. Basuki biasanya memerintahkan ajudannya, Rahman atau Santoso, menemui penyuap di tempat yang disepakati. Kemudian Basuki akan mengutus sopirnya untuk mengambil uang tersebut. Imbalannya masing-masing akan mendapat uang "tutup mulut", Rp 500 ribu per transaksi.
Bambang dan Rohayati mengunci mulut ketika ditanyai wartawan sebelum dan setelah pemeriksaan mereka di KPK. Tempo juga menghubungi kepala dinas lain yang bermitra dengan Komisi B. Namun sebagian besar tak menjawab panggilan atau tak membalas pesan pendek yang dikirim Tempo.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur Ardi Prasetiawan, misalnya, tak mau berkomentar banyak. Ia mengaku tak tahu-menahu soal setoran Rp 50 juta yang terpantau tim KPK. Adapun Kepala Dinas Perkebunan Samsul Arifin mengatakan akan kooperatif jika diperiksa KPK. "Kalau ada apa-apa, saya yang bertanggung jawab, bukan bawahan," ujar Samsul.
Di samping membidik pejabat dinas, radar KPK mengarah kepada kolega satu komisi Basuki. Penyidik KPK menelisik peran anggota DPRD lainnya karena mendapat informasi bahwa Basuki tak menikmati sendiri uang upeti. Karena itulah, Rabu pekan lalu, tim KPK menggeledah rumah politikus Partai Kebangkitan Bangsa, Kabil Mubarak.
Sebelumnya, Kabil adalah Wakil Ketua Komisi B DPRD. Awal Mei lalu, ia pindah ke Komisi C DPRD. Tim KPK menyita sejumlah dokumen dan menyegel dua unit brankas di rumah Kabil di Sidoarjo, Jawa Timur. Kabil belum bisa dimintai konfirmasi. Dia tak mengangkat telepon dan tak membalas pesan pendek.
Bersamaan dengan penggeledahan rumah Kabil, KPK menggeledah ruang kerja dan rumah Basuki. Tim KPK menemukan uang Rp 78 juta dari dalam brankas di kantor Basuki. Menurut seorang penegak hukum, duit dalam brankas tersebut diduga merupakan uang "kas" Komisi B, sisa uang upeti yang dibagi-bagi Basuki. "Sedang kami dalami untuk apa uang itu," tutur Febri Diansyah. Selain itu, menurut Febri, KPK telah menerima pengembalian uang Rp 100 juta dari orang yang mengaku suruhan Basuki.
Anik Maslacha, Wakil Ketua Komisi B pengganti Kabil, mengaku tak tahu ada bagi-bagi duit upeti di komisinya. "Saya anggota baru," ujar Anik seraya mematikan telepon. Beberapa pentolan Komisi B lainnya tak membalas pesan pendek yang dikirim Tempo. Sejak Selasa pekan lalu, pimpinan dan anggota Komisi B tak ada di Indrapura Satu-alamat gedung DPRD Jawa Timur. Mereka sedang melakukan kunjungan ke Yogyakarta. Agenda resminya: studi banding peraturan daerah tentang pariwisata.
Kuasa hukum Basuki, Muhammad Sholeh, mengatakan sampai akhir pekan lalu dia belum bisa bertemu dengan kliennya. Sewaktu menelepon pada Senin sore lalu, menurut Sholeh, Basuki mengatakan tidak terlibat dalam suap apa pun. "Dia mengaku difitnah," kata Sholeh.
Syailendra Persada (jakarta), Jayantara Mahayu (surabaya), Nur Hadi (sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo