Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTUH dua puluh lima jam bagi kapal perintis untuk berlayar dari Pelabuhan Biak, Papua, menuju Pulau Brass, pulau terluar Indonesia di ujung Samudra Pasifik, yang berjarak sekitar 278 kilometer. Kapal perintis yang dua kali dalam sebulan menyambangi Brass itu sarana transportasi umum satu-satunya. “Dari 111 pulau terluar, yang aksesnya paling sulit adalah pulau-pulau di Pasifik ini,” tutur Udhi Eko Hernawan, peneliti ekologi laut Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pada Kamis, 5 September lalu.
Ia mengatakan LIPI memilih pulau-pulau terluar yang paling sulit dijangkau untuk meriset sumber daya alam hayati dan nonhayati melalui Ekspedisi Nusa Manggala. “LIPI memiliki fasilitas berupa kapal riset Baruna Jaya VIII untuk menjangkau pulau-pulau di sebelah utara Pulau Papua tersebut,” ujar Udhi, yang menjadi koordinator Ekspedisi Nusa Manggala, yang berlangsung pada 16 Oktober-23 Desember 2018.
Udhi menuturkan, Ekspedisi Nusa Manggala mengusung empat tema riset, yakni ekologi, daya dukung lingkungan, sosial-humaniora, dan geomorfologi. Ada 55 peneliti dalam ekspedisi yang terbagi dalam tiga sesi (leg) pelayaran. Selain dari pusat-pusat penelitian di LIPI, ada periset asal perguruan tinggi, seperti Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang; Universitas Khairun, Ternate; dan Universitas Halu Oleo, Kendari. Ada pula peneliti dari lembaga riset, seperti Pusat Hidrologi dan Oseanografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut serta Coral Triangle Center.
Sesi pertama (leg-1) bermula dari Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara menuju Pulau Yiew di Kabupaten Halmahera, Maluku Utara, dilanjutkan ke Pulau Budd di Kabupaten Sorong, Papua Barat, lalu ke Pulau Fani di Kepulauan Asia, Papua Barat; Pulau Brass dan Pulau Fanildo di Kepulauan Mapia, Kabupaten Supiori, Papua; dan ber-akhir di Biak. Adapun leg-2 dilakukan di Papua, yaitu di Pulau Liki, Kabupaten Sarmi; Pulau Bepondi, Kabupaten Biak Numfor; dan Pulau Miossu, Kabupaten Supiori. Sedangkan leg-3 diadakan di Pulau Reni, Pulau Rutum, dan Pulau Dorekar di Kepulauan Ayau, Raja Ampat, Papua Barat.
Hadiyanto, koordinator peneliti dalam leg-1, mengatakan Pulau Brass dan pulau-pulau lain di Kepulauan Mapia, yakni Pulau Brass Kecil, Fanildo, Fanildo Kecil, dan Pegun (Mapia), membentuk gugusan karang cincin atau atol yang unik karena terletak di perairan lepas sehingga mempengaruhi tipe karangnya. “Karang di luar atol cenderung merunduk atau merayap untuk meminimalkan tekanan arus. Sedangkan di dalam atol yang arusnya tenang karang cenderung bercabang dan tegak ke atas,” kata peneliti taksonomi dan ekologi cacing laut (polychaeta) di P2O LIPI itu.
Atol Mapia, Hadiyanto menjelaskan, memiliki luas 37.760 hektare dengan luas laguna sekitar 3.000 hektare dan kedalaman 5-22 meter. Adapun atol terbesar di Indonesia berada di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, yang luasnya 220 ribu hektare. Namun, dia menambahkan, sebagai atol yang kecil dan terisolasi, ekosistem pesisir di Mapia tergolong lengkap dan beragam.
Hadiyanto menegaskan bahwa fokus riset terumbu karang di Kepulauan Mapia adalah tutupan karang. Mereka menemukan tutupan karang hidup di Mapia berkisar 55-70 persen, yang berarti dalam kondisi baik. Sebelumnya, berdasarkan pemantauan P2O terhadap 108 lokasi di seluruh Indonesia, sebanyak 23 persen terumbu karang berkondisi baik.
Aspek keanekaragaman jenis terumbu karang, menurut Hadiyanto, juga dikaji. Namun jenis-jenis karang di Atol Mapia itu masih dalam proses identifikasi sehingga jumlah total spesiesnya belum dapat dilaporkan. Karang hias beragam warna dan bernilai tinggi ditemukan di dalam Atol Mapia. “Contohnya karang otak (Lobophyllia sp.) berwarna merah muda dan hijau, karang sarang burung (Seriatopora hystrix) yang berwarna ungu, Mycedium sp. yang berwarna ungu menyala, serta Caulastrea sp., Galaxea sp., dan Cynarina lacrymalis,” ucapnya, membocorkan sedikit temuan.
Selain menemukan terumbu karang, Hadiyanto mengimbuhkan, periset mendapati beragam flora dan fauna di dalam Atol Mapia. Flora yang teramati antara lain empat spesies lamun, yakni Thalassia hemprichii; Cymodocea rotundata; Halophila ovalis; dan Halodule pinifolia. Tutupan lamun tersebut di atas 70 persen alias berkategori baik sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004.
Hadiyanto mengatakan ikan karang yang dijumpai lebih dari 60 spesies. Salah satunya ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) berukuran lebih dari 60 sentimeter, yang masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature dan Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Peneliti juga menjumpai hiu sirip putih (Triaenodon obesus) berukuran satu meter, yang berstatus hampir terancam.
Yang menarik lagi, menurut Hadiyanto, adalah penemuan seluruh atau tujuh spesies kima alias kerang raksasa yang dimiliki Indonesia, yaitu Tridacna gigas, Tridacna squamosa, Tridacna derasa, Tridacna -maxima, Tridacna crocea, Hippopus hippopus, dan Hippopus porcellanus. “Masyarakat sekitar menginformasikan bahwa dugong juga sering dijumpai, tapi dalam penelitian ini tidak ditemukan,” tutur Hadiyanto, yang sedang menempuh studi doktoral di Marine Biology University of Western Australia, Perth. Kemungkinan dugong hidup di sini cukup tinggi karena makanannya, yakni lamun, berlimpah.
Zainal Abidin, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, mengatakan ekspedisi ini merupakan kegiatan penelitian untuk menggali data serta informasi sumber daya alam hayati dan nonhayati di kawasan pesisir pulau-pulau kecil terluar. “Tujuannya untuk memberikan rekomendasi pengelolaan pulau-pulau terluar sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan karakteristik sumber daya alamnya,” ujar Zainal saat peluncuran film dokumenter Kisah 8 Pulau Terluar di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan, 14 Agustus lalu.
Menurut Hadiyanto, rekomendasi yang mereka ajukan adalah pengembangan kawasan konservasi perairan di Kepulauan Mapia. Hal itu didasari aspek keanekaragaman, keaslian, keterwakilan, keunikan, kelangkaan, ukuran, keterjangkauan, dan keefektifan ekosistem pesisir di Mapia. “Mengenai luas area dan batas-batas untuk kawasan konservasi, itu perlu penelitian lebih lanjut,” kata Hadiyanto melalui surat elektronik kepada Tempo, Rabu, 11 September lalu.
DODY HIDAYAT, MOH. KHORY ALFARIZI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo