Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk datang menolong. Beberapa jam kemudian mereka berhasil mengangkat jenazah satu demi satu untuk dibaringkan di balai desa. Mereka kenali wajah mayat-mayat itu: tiga anggota parlemen, dua tokoh partai.
Esoknya polisi mengusut. “Waktu Bapak-bapak menemukan korban, apakah semuanya sudah mati?”
Jawab seorang penduduk: “Yah, mereka mengaku belum mati, Pak. Tapi mereka kan politikus.”
Banyak lelucon tentang politikus, sering pedas. Sikap ini bisa tak adil (tak semua politikus menjijikkan), tapi bisa benar. Yang jelas, tak tiba-tiba. Dalam cemooh demi cemooh itu tersingkap endapan pengalaman yang tak sedap.
Di Indonesia, sebagaimana bisa dilihat dari survei pendapat umum Kompas September 2019, lebih dari 66 persen responden merasa tak terwakili para anggota DPR. Citra lembaga ini “buruk”, menurut 62 persen pendapat. Di Australia, sebuah survei menunjukkan hanya empat persen warga negara menganggap politikus bisa dipercaya—tepatnya “hampir selalu” dapat dipercaya.
Di Eropa dan di Amerika, muncul gerakan rakyat yang tak mempercayai lagi partai dan parlemen. Movimento 5 Stelle di Italia, misalnya, yang bermula sebagai dagelan melawan partitocrazia (“partai-krasi”), disambut. M5S tak mau disebut sebagai “partai”, tapi ikut dalam pelbagai pemungutan suara. Dan menang. Di banyak tempat orang menganggap politikus setara dengan penjual mobil bekas—menawarkan sesuatu yang tak bermutu dengan pengeras suara yang berisik.
Tanpa kepercayaan kepada politikus—tokoh utama yang mewakili suara rakyat—sistem demokrasi goyah. Dalam dua-tiga tahun terakhir di rak buku terpampang judul-judul muram yang ditulis para pakar: Democracy in Crisis oleh Roland Rich (2017), Democracy and Its Crisis oleh A.C. Grayling (2018), Democracy in Crisis oleh Boris Vormann dan Christian Lammert (2019), The People vs. Democracy oleh Yascha Mounk (2018)....
Tentu, seperti dikatakan argumen yang klasik, tak ada alternatif yang lebih baik. Ketidakpercayaan kepada politikus dalam demokrasi pada dasarnya tak berbeda dengan ketidakpercayaan yang bisa berkembang kepada pemimpin politik dalam sistem apa pun. Raja dimakzulkan, khalifah dibunuh, diktator disubversi. Di Afrika ada perlawanan yang lebih halus: kata sebuah pemeo, bila pembesar lewat, rakyat membungkuk—dan kentut. Di Tiongkok, pernah meletus krisis kepercayaan paling dahsyat: dalam “Revolusi Kebudayaan” di tahun 1960-an, jutaan pemuda mengikuti seruan Mao Zedong agar para pembesar Partai Komunis diganyang—sebuah seruan yang diucapkan sang pendiri Partai sendiri, yang semula percaya bahwa Partai Komunis adalah pembawa suara kaum buruh dan tani.
Ada seorang pemikir politik, Sheila Benhabib, yang menyebut krisis itu “a tragic gap between the constituent power and instituted democracy”, gejala “keterpisahan yang tragis” antara kekuasaan para pemilih dan demokrasi yang terbentuk dalam lembaga-lembaga. Kata “tragis” menunjukkan sesuatu yang negatif, juga sesuatu yang mirip nasib.
Syahdan, di tempat demokrasi dilahirkan, Yunani, tiga milenium yang lalu, Sokrates menyalahkan “kedaulatan rakyat” karena demos, orang kebanyakan di pasar dan jalanan, tak bisa dipercaya untuk pegang kemudi kekuasaan. Saya kira -Sokrates keliru. Yang tak bisa dipercaya bukan demos, melainkan “krasi”: lembaga-lembaga yang ditegakkan dengan asumsi bahwa sebuah tata akan lebih baik ketimbang anarki, “tanpa-tata”.
Tata yang kini kita kenal dalam demokrasi adalah sistem perwakilan. Kata “wakil” berarti juga “pengganti” yang diasumsikan sanggup melakukan apa yang semestinya dilakukan mereka yang digantikan. Wakil hadir dari sebuah ketidakhadiran. Ia bukan duplikat. Ia punya dunia dan dinamikanya sendiri.
Maka keterpisahan dengan mereka yang diwakili sebenarnya wajar—hanya tak diakui. Wakil, dalam bahasa Inggris, disebut representative, dari kata “re” dan “present”—dan ini bisa menyesatkan. “Hadir”, sebagai sebuah peristiwa, tak bisa diulang (apalagi oleh orang lain) di waktu yang lain. Tak ada representasi tanpa transformasi. Apalagi kelak, ketika norma berganti, rakyat berubah.
“Rakyat” memang selamanya perlu dilihat sebagai “rakyat yang belum datang”. Tiap kali kata ini perlu ditilik kembali. Benedict Anderson melihat “bangsa”, nation, sebagai sebuah komunitas yang dianggit, an imagined community; bagi saya, “rakyat” demikian pula. Dalam sebuah risalah tentang politik, Deleuze menyebut fabulation yang positif dalam keadaan “rakyat” tak hadir, le peuple manque.
Dengan kata lain, tiap kali “rakyat” membentuk diri—dalam konteks yang berbeda-beda, bukan dari nol, bukan hanya obyek.
Maka tiap “tata” selalu mengandung “tanpa-tata”. Demokrasi selalu punya elemen anarki.
Tak selamanya anarki berarti amuk. Ia juga bisa tampak seperti goro-goro dalam wayang kulit yang tertib dan anggun: cemooh kurang ajar, gurauan yang tak menentu.
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo