Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPE adalah salah satu makanan favorit orang Indonesia. Hanya, makanan berbahan pokok kedelai ini punya kandungan impor yang tinggi. Dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu, 13 Januari lalu, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan mengatakan produksi kedelai dalam negeri hanya memenuhi separuh kebutuhan nasional, yang mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain lahan yang terbatas dan keengganan petani menanam kedelai, faktornya adalah pola penanaman kedelai yang biasanya dilakukan di antara dua musim tanam padi dalam setahun. Karena itu, panen kedelai berlangsung hanya setahun sekali. Kondisi inilah, kata Anhar, yang mendorong Batan menciptakan bibit kedelai unggul yang diberi nama Sugentan 1 dan Sugentan 2. Sugentan merupakan akronim dari Super Genjah Batan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut peneliti Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Batan, Arwin, lahan pertanian kedelai bersaing dengan padi. Biasanya, petani lebih suka menanam padi daripada kedelai karena keuntungannya lebih besar. Dalam periode penanaman padi, terdapat waktu sekitar dua bulan ketika area persawahan kosong lantaran menunggu musim tanam padi berikutnya. Kalau lahan ditanami palawija lain, waktu tanam tak cukup. “Ini peluang yang bisa dimanfaatkan untuk kedelai dengan umur singkat, yaitu jenis Super Genjah,” tuturnya.
Peluang inilah yang dicoba diisi oleh para peneliti Batan dengan mengembangkan bibit kedelai yang punya umur tanam singkat melalui teknologi nuklir sinar gama. “Salah satu teknologi nuklir bisa mempersingkat masa tanam kedelai sampai umur di bawah 70 hari,” ujar Arwin. Menggunakan bibit temuan ini, petani bisa mengisi waktu kosong di antara dua musim tanam padi itu dengan menanam kedelai.
Ilustrasi: djunaedi
Penelitian untuk mendapatkan bibit unggul kedelai Sugentan 1 dan Sugentan 2 dimulai pada 2012 melalui varietas Argomulyo milik Kementerian Pertanian. Para peneliti memperbaiki beberapa sifat bibit awal menggunakan radiasi gama dengan dosis 250 gray (1 gray = 1 joule per kilogram). “Butuh waktu enam-tujuh tahun untuk mendapatkan varietas unggul ini,” ucap Arwin.
Arwin menambahkan, bibit kedelai ini memiliki beberapa keunggulan. Dengan pola tanam yang baik, pemupukan berimbang, dan musim yang tepat, potensi hasil maksimal Sugentan 1 sebanyak 3,04 ton dan Sugentan 2 mencapai 3,01 ton per hektare. Hasil kedelai Sugentan jauh lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, yang hanya 1,5 ton per hektare. Selain itu, kandungan protein kedelai Sugentan 40 persen lebih tinggi daripada kedelai impor dengan lemak 15 persen lebih rendah.
Namun Arwin menyadari bahwa keuntungan yang didapatkan sedikit jika menanam kedelai di lahan sempit. Harganya juga kalah bersaing dengan kedelai impor. Ini yang menyebabkan petani kurang bergairah menanam kedelai dan lebih senang menanam jagung sebagai tanaman sela. Dalam soal ini, kata dia, pemerintah bisa mengurangi kebijakan impor dan menjaga harganya agar lebih baik daripada kedelai impor. “Perlu kebijakan menahan impor agar bisa diisi produk dalam negeri. Jangan dibalik.”
Varietas bibit kedelai ini sudah diusulkan kepada Kementerian Pertanian pada 2020. Menurut Arwin, Sugentan 1 dan 2 telah lulus sidang pengujian dan mendapat rekomendasi. Sekarang keduanya tinggal menunggu surat keputusan dari Menteri Pertanian untuk bisa dilepaskan ke publik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo