Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umumnya dokter di Indonesia menggunakan benang jahit sintetis untuk menutup luka pembedahan. Benang itu diimpor dari Cina, India, dan Eropa dengan harga mahal. Harga satu paket yang terdiri atas 10 kemasan dengan panjang 70 sentimeter sekitar Rp 2 juta. Karena sintesis, tentu saja benang itu tak bisa menyatu dengan jaringan tubuh.
Biasanya benang itu berasal dari sutra yang sangat kuat dan liat, dari kapas yang kurang kuat dan mudah terurai, atau dari poliester yang merupakan bahan sintetis yang kuat dilapisi teflon. Selain itu, ada benang nilon yang berdaya tegang besar atau benang yang terbuat dari polipropilen.
Sebagai gantinya, dokter menggunakan benang jahit berbahan usus hewan yang mudah larut. Namun benang jaringan ini bisa menimbulkan peradangan jika tak steril atau kandungannya tak sesuai dengan kulit manusia atau hewan yang sedang dibedah.
Berangkat dari masalah-masalah dalam pembedahan itulah lima mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, menciptakan benang operasi berbahan baku getah tanaman jarak (Jatropha multifida). Kelimanya adalah Siti Nurjannah, Andri Julianto, Yumeida Noor Ilma, Ahmad Aufal Marom, dan Mohamad Rifan. Mereka membuktikan bahwa getah jarak mengandung senyawa antinyeri dan antiradang. "Orang tua kita menggunakan getah jarak untuk mengobati luka," kata Siti Nurjannah, dua pekan lalu.
Siti menjelaskan, getah jarak juga mampu menutup luka dengan cepat. Benang jahit dari getah jarak lebih efektif menyembuhkan luka dibandingkan dengan benang jahit sintetis. Benang jahit buatan mereka merupakan campuran getah jarak, polivinil alkohol, asam glikolat, akuades, dan asam sitrat.
Bahan dicampur, lalu diaduk selama 30 menit di dalam magnetic stirrer dengan panas 70 derajat Celsius hingga homogen. Larutan dicetak, kemudian didiamkan selama 24 jam hingga kering. Benang tersebut telah melalui uji kualitas dengan uji tarik, uji FT-IR, dan uji kelarutan. Secara fisik, benang ini terlihat bening dan lentur.
Benang buatan mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan itu sudah melalui uji tarik dengan beban seberat 8 newton. Hasil itu menyatakan benang getah jarak lebih kuat dibandingkan dengan benang komersial, yang hanya mampu menahan beban 5,2 newton. Hasil uji FT-IR, metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik, menunjukkan gugus fungsi karbonil, gugus alkana, dan gugus hidroksil yang ada pada benang itu mempunyai sifat mudah terbiodegradasi campuran zat secara alami.
Artinya, menurut Siti, benang ini bisa melebur di dalam tubuh tanpa menimbulkan efek negatif atau beracun. Sedangkan uji kelarutannya menyatakan benang akan larut sempurna setelah 12 hari. Kini benang ini tengah disempurnakan untuk memenuhi syarat sifat fisik sesuai dengan SNI 16-3346-1994 tentang "Benang Operasi Terserap Sekali Pakai" dan USP 29-NF 24 tentang standar produk benang. "Kami juga akan mengadakan uji simpan, uji kedaluwarsa, dan uji reaksi," katanya.
Kelima sekawan ini mendaftarkan hasil penelitiannya pada Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Karya Cipta. Program tahunan itu diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mahasiswa perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Siti berharap kelak Indonesia tidak perlu mengimpor benang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo