Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

BNPB: Belajar dari Tsunami Aceh, Bencana Alam Bukan Hukuman Tuhan

Kepala BNPB mengatakan, belajar dari tsunami Aceh ia menilai bencana alam bukan hukuman Tuhan tetapi kejadian yang harus disikapi secara rasional

27 Desember 2019 | 10.04 WIB

Kapal nelayan yang terdampar di depan Hotel Medan, Banda Aceh, akibat terbawa tsunami, pada 1 Januari 2005. Tsunami menyeret perahu jauh ke daratan, lebih dari satu kilometer. Dok.TEMPO/Hariyanto
Perbesar
Kapal nelayan yang terdampar di depan Hotel Medan, Banda Aceh, akibat terbawa tsunami, pada 1 Januari 2005. Tsunami menyeret perahu jauh ke daratan, lebih dari satu kilometer. Dok.TEMPO/Hariyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, belajar dari tsunami Aceh ia berkesimpulan bencana alam bukanlah hukuman Tuhan, tetapi merupakan kejadian alam yang berulang.

“Keyakinan saya ini datang dari apa yang terekam di Gua Eek Lunttie di Aceh Besar,” ujar Doni didampingi Asisten II Setda Aceh, Teuku Dadek saat kunjungan ke Aceh, Kamis, 26 Desember 2019.

Menurut dia, Gua Eek Lunttie di Aceh Besar merekam paling tidak 14 kali kejadian gempa dan tsunami seperti yang terjadi pada 2004 lalu di Aceh, dan sudah terjadi sekitar 7500 tahun silam.

"Gua Eek Lunttie adalah rekaman terbaik terhadap kejadian gempa dan tsunami Aceh yang berulang, dan dijadikan sebagai iktibar bahwa gempa dan tsunami adalah kejadian alam yang harus disikapi dengan rasionalitas dan budaya siaga," katanya.

Hal ini, menurutnya, bukanlah sebuah hukuman apalagi kutukan, akan tetapi merupakan bencana alam yang perlu disikapi dengan sikap siaga agar tidak jatuh korban.

"Kita harus jaga alam maka alam akan jaga kita,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Berdasarkan kunjungannya ke berbagai wilayah di Indonesia, Donni mengambil kesimpulan bahwa bencana itu terjadi berulang, bahkan bisa terjadi di satu tempat yang sama.

Akan tetapi yang paling penting, kata dia, adalah bagaimana masyarakat diberitahu dan adanya kesungguhan pemerintah untuk menyiapkan masyarakat agar siaga.

Menurut Donni salah satu upaya yang dilakukan BNPB untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat adalah melalui program Keluarga Tangguh Bencana (Katana) yang akan dikuatkan hingga ke desa-desa.

“Program Katana yang diluncurkan di Aceh juga merupakan satu strategi kita melakukan kesiapsiagaan bencana. Saya saat tsunami Aceh berada di Lhokseumawe dan hari kedua sudah berada di Banda Aceh lalu di Meulaboh, dari sana saya berkeyakinan kalau orang Aceh saat itu punya pengetahuan seperti orang Simuelue, maka tidak akan banyak korban,” jelasnya.

Masyarakat Simeulue, salah satu kabupaten yang terletak di kepulauan di Aceh, mengenal tsunami dengan sebutan "Smong" karena pulau tersebut pernah mengalami kejadian serupa. Ketika gempa dan tsunami 2004 terjadi warga langsung menyelamatkan diri ke daerah yang lebih tinggi sehingga jumlah korban jiwa lebih sedikit dibandingkan daerah lainnya di Aceh yang terdampak tsunami.

Ia juga mengatakan bahwa peletakan batu pertama pembangunan Geopark Gua Eek Lunttie di Aceh Besar dibuat acara khusus, sebagai upaya memberitahukan kepada dunia bahwa kejadian gempa dan tsunami Aceh adalah peristiwa berulang. ”Dari sana kita bangun kesiapsiagaan supaya tidak jatuh korban” ujar Doni Monardo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus