Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Budi Daya Baru Ikan Mahal

Para peneliti berhasil menemukan teknik mengembangbiakkan ikan kerapu tikus. Selama ini, ikan kerapu tak pernah dibudidayakan, padahal permintaan pasar terus meningkat dan harganya makin mahal.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARNANYA putih berbintik hitam, dagingnya putih bersih dan empuk, makanannya ikan kecil dan udang, dan sebagian orang percaya, ia dapat membuat awet muda. Itulah ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Ikan jenis ini hidup di pantai-pantai karang di seluruh Indonesia. Dewasa ini, kerapu tikus makin sulit dicari, meski nilai ekonomisnya sangat tinggi. Yang masih kecil, yang panjangnya sekitar 5 sentimeter, umpamanya, laku dijual sebagai ikan hias dengan harga Rp 5 ribu per ekor. Di pasar internasional, khususnya Hong Kong dan Taiwan, permintaan terhadap kerapu tikus ini juga terus meningkat. Menurut data The Market Analysis of Live Reef Fish Market in Hong Kong and China pada 1998, kebutuhan pasar terhadap ikan jenis ini mencapai 21 ton dengan harga US$ 60 per kilogram. Kebutuhan ini diramalkan meningkat sampai 58 ton dengan harga US$ 100 per kilogram—dengan asumsi kondisi ekonomi di kedua negara tersebut stabil. Karena itulah, Japan International Agency Corporation (JICA) tak bosan meneliti cara untuk mengembangbiakkan kerapu. Soalnya, pertumbuhan ikan kerapu secara alamiah terlalu lambat—apalagi terus diburu—untuk mengejar permintaan yang makin meningkat. "Setelah melakukan penelitian selama lebih dari tiga tahun, akhirnya kami menemukan teknik pembenihan dan pemeliharaan kerapu," kata Ketut Sugama, salah seorang anggota tim peneliti JICA. Pada awal percobaan, para peneliti JICA menciptakan lingkungan terkontrol dalam hatchery (tempat penetasan) sebagai media pembenihan dan pemeliharaan kerapu. Teknik ini ternyata kurang berhasil. Produksi ikan kerapu tidak pernah stabil dan tingkat kelangsungan hidupnya sangat rendah, yakni kurang dari satu persen. Dari 100 ribu-150 ribu telur, hanya 98-783 yang berhasil ditetaskan. JICA kemudian mengembangkan teknik baru dengan cara sebagai berikut: mula-mula, induk kerapu direndam dalam bak yang telah disucihamakan dengan cairan albazu yang berbahan aktif yodium dan kalium permanganat, selama satu jam. Tujuan proses suci hama ini untuk membasmi bakteri dan mengobati, kalau ada, bagian tubuh kerapu yang luka. Setelah itu, induk kerapu tikus yang beratnya 1,3-2 kilogram (betina) dan 2,5-4 kilogram (jantan) dipelihara dalam bak berkapasitas 10 ton dengan sistem air mengalir. Setelah tiga sampai enam bulan, pasangan kerapu bertelur. Telur-telur itu diseleksi dan dipilih hanya yang akan dibuahi saja, kemudian disimpan sampai fase embrio. Setelah diseleksi, telur yang terpilih kemudian dipindahkan ke dalam bak inkubasi agar tidak mengalami kerusakan fisik akibat air yang mengalir. Bak inkubasi diatur sedemikian rupa agar memiliki kadar garam air laut antara 31-34 ppt dan bersuhu 26,8-28,9 derajat Celsius. Penyimpanan di bak inkubasi dilakukan selama 16-18 jam, sampai telur siap untuk ditetaskan. Setelah telur menetas dan berada dalam bak inkubasi, bibit dirawat dengan baik. Para peneliti, misalnya, menebarkan pakan pelet penuh nutrisi dan vitamin agar kualitas bibit terjaga. Bibit yang berusia empat bulan dan ukurannya mencapai 6-20 sentimeter kemudian dipindahkan ke keramba jaring apung. Berkat cara ini, hasilnya ternyata membaik. Kelangsungan hidup ikan kerapu meningkat tiga persen—belakangan malah menjadi tujuh persen. I Gusti Oka, 33 tahun, seorang petani ikan, mengisahkan pengalamannya setelah menerapkan teknik baru itu. Hanya dalam waktu tiga bulan, ia berhasil meraup keuntungan Rp 50 juta. Jumlah ini didapat dari hasil penjualan bibit ikan kerapu tikus yang panjangnya 5 sentimeter dengan harga Rp 5 ribu per ekor. Dalam setahun, ia menghitung bakal meraup Rp 135 juta. "Soal pemasaran tidak ada masalah, karena banyak orang yang mencarinya di sini," kata Oka. Namun, budi daya induk kerapu sebenarnya masih menghadapi ancaman alamiah. Induk ikan, misalnya, sangat rentan terhadap serangan parasit seperti Benedia, Neobendenia, Cryptocarn, Caligus, dan Haliotrema. Untuk budi daya skala besar, petani juga mesti menyediakan pakan yang hingga kini masih dalam taraf uji coba di Lokasi Penelitian Perikanan Gondol. Jadi, ikan kerapu tidak cukup hanya diberi pakan berupa ikan-ikan kecil dan udang. Agar panen maksimal, perkembangan jenis kelamin kerapu juga harus terus diperhitungkan sehingga terjadi keseimbangan rasio jumlah ikan berjenis kelamin jantan dan betina dalam bak penampungan induk. Seandainya para petani mampu mengatasi berbagai kendala itu, keuntungan yang sudah berada di depan pelupuk mata itu bakal berada dalam genggaman. Wicaksono dan Koresponden Denpasar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus